Tinta Media - Otoritas Jasa Keuangan (OJK), melalui Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen Friderica Widyasari menyampaikan akan berupaya mempermudah akses keuangan bagi penyandang disabilitas atau difabel. Menurutnya, penyandang disabilitas juga berkontribusi pada perekonomian nasional. Sebab mayoritas mereka merupakan bagian dari sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Penyandang disabilitas, dimaknai sebagai orang yang memiliki hambatan personal terkait dengan kondisi
fisik karena organ tubuhnya yang tidak lengkap
sehingga tidak mendukung untuk tumbuh berkembang dalam berinteraksi
dengan lingkungan, bukan pada kecacatan mental.
Hambatan ini kian diperparah oleh kurangnya perhatian pemerintah terhadap para penyandang disabilitas, dengan tidak atau kurang menyediakan
fasilitas publik yang ramah pada penyandang disabilitas di pelayanan umum, sektor pendidikan, maupun sedikitnya lapangan pekerjaan bagi mereka. Sehingga mereka dianggap tidak memiliki kemampuan, tidak produktif dan bahkan menjadi beban yang merepotkan.
Hal ini juga, seolah menjadi bukti bahwa negara
telah melakukan peminggiran terhadap kelompok para penyandang disabilitas. Namun tatkala para penyandang difabilitas ini mampu menghasilkan nilai ekonomi melalui UMKM barulah negara meliriknya dan berupaya memfasilitasinya.
Ini adalah buah pemikiran kapitalisme, sebab kapitalisme selalu memprioritaskan produktifitas atau hanya melihat segala sesuatu dari nilai. Dengan kata lain, seberapa banyak anda dapat menghasilkan keuntungan? Jika anda tidak memberi keuntungan, anda tidak berharga dan tidak layak dihormati.
Pola pikir seperti ini pula yang meresap ke dalam segala hal dalam masyarakat kapitalis. Memicu diskriminasi posisi para penyandang disabilitas dalam akses pelayanan masyarakat dan akibat orientasi sistem kapitalisme saat ini hanya terfokus pada materi, tidak jarang masyarakat kapitalis juga menjadikan hak-hak para penyandang difabilitas dikomersilkan.
Jika merujuk pada Al-Qur'an dan asbabul nuzul turunnya surah Abasa adalah saat seorang sahabat yang
tunanetra mendatangi Rasulullah Saw dan meminta pencerahan agama atau pendidikan.
Akibat keterbatasannya dalam melihat (tunanetra) sahabat tersebut tidak mengetahui bahwa disaat itu Rasulullah Saw tengah berdakwah kepada para tamunya dari kalangan pembesar kafir Quraisy seperti Abu Jahl, Abas bin Abd al Muthollib, Walid bin Murighah dan Utbah bin Rabi’ah dengan harapan mereka akan tertarik dan
masuk Islam.
Tatkala Rasulullah Saw tengah serius menjelaskan mengenai Islam kepada
para tamunya, sahabat tersebut menyela pembicaraannya,dan meminta untuk diajarkan mengenai
Islam, hal itu membuat Rasulullah merasa tidak senang dan merasa terganggu dakwahnya, sehingga beliau
memalingkan wajahnya.
Dan turunlah surah Abasa sebagai peringatan Allah untuk memberikan teguran terhadap
Rasulullah Saw, agar lebih mengutamakan orang yang membutuhkan pendidikan daripada orang - orang yang angkuh tidak mau menerima Islam walaupun mereka adalah tokoh pembesar.
Dari riwayat ini kita bisa mendapat hikmah, selain membesarkan hati para penyandang disabilitas dan orang-orang yang terbatas lainnya, hak ini menunjukkan bahwa kedudukan berdasarkan materi tidak selamanya baik, boleh jadi seorang dengan segala keterbatasannya memiliki kedudukan yang lebih mulia di sisi Allah SWT.
Oleh karenanya, Islam sangat mengecam sikap dan tindakan diskriminatif terhadap para penyandang disabilitas. Sebab Islam tidak membeda-
bedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Baik hak, kewajiban dan peran yang sama dengan masyarakat lainnya di segala aspek kehidupan dan penghidupan. Semua manusia sama di hadapan Allah SWT. Yang membedakannya
hanyalah ketakwaannya kepada Allah SWT (QS.
Al-Hujarat [49]: 13
Oleh karena itu, kita perlu merespon positif upaya OJK dalam hal memberikan kesempatan untuk memberi kemudahan serta tidak membatasi para penyandang disabilitas. Namun yang perlu digarisbawahi adalah kemudahan tersebut tentunya bukan hanya dalam hal keuangan namun juga pelayanan lainnya tanpa ada diskriminasi dan tidak
melihat seseorang dari fisiknya.
Dan upaya pemberdayaan para disabilitas untuk menggali potensi mereka memang perlu, guna membangun kepercayaan diri serta mencapai kemandirian dan akan lebih tepat jika sesuai dengan kebutuhan dan potensi mereka.
Namun yang terpenting jangan sampai upaya pemberdayaan para penyandang disabilitas ini beralih menjadi mengekploitasi mereka dengan menjadikannya sebatas salah satu mesin penggerak perekonomian.
Sebab telah tampak dengan jelas bahwa sistem saat ini, mengandalkan eksploitasi individu dan melalaikan kewajiban negara dalam bertanggung jawab, memperhatikan serta mengurus kebutuhan para penyandang disabilitas ini.
Padahal di dalam Islam, para penyandang disabilitas wajib dan perlu mendapatkan perlindungan dan perhatian khusus. Dengan memberi akses yang ramah dan inklusif terhadap penyandang disabilitas. Seperti membuka akses pendidikan serta mendirikan lembaga atau instansi khusus melayani mereka.
Sebagaimana Abu Maryam al-Azdi, pernah berpesan satu hadis kepada Mua’wiyah. Hadist tersebut berisi ancaman bagi pemimpin yang lalai memenuhi kebutuhan para penyandang difabel. Riwayat ini dinukilkan dari Abu Dawud dan at-Tirmidzi
Atau khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang pernah menulis instruksi kepada pejabat Syam, beliau memerintahkan agar para tunanetra, pensiunan, atau sakit, dan para jompo didata sedemikian rupa guna memperoleh tunjangan. dan Instruksi ini dijalankan dengan baik.
Dengan di dukung negara yang beraqidah Islam, dengan jaminan terselenggaranya pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai Islam yang sesuai Al-Qur'an dan Sunah sehingga mampu melahirkan individu- individu yang berkepribadian islam yang akan memecah sekat pemikiran sempit dan individualis seperti pemahaman sekuler saat ini.
Sehingga melahirkan masyarakat yang memiliki rasa kepedulian kepada sesamanya bukan berdasarkan manfaat, melainkan demi keridhoan Allah ta'ala. Oleh karena itu jika ingin dapat menerima para penyandang disabilitas tanpa perlakuan diskriminatif kita perlu mengambil sudut pandang anti-kapitalis.
Dan dengan adanya sikap ramah dari negara dan masyarakat tentunya pemberdayaan bagi kelompok difabel akan lebih mudah, termasuk dalam menciptakan kemandirian dan terpenuhinya hak-hak kesamaan bagi mereka.
Dan semua itu tentunya hanya ada dalam sistem islam yang kaffah sebab hanya ada di sistem Islam, pemimpin yang serius meriayah (mengurus) rakyatnya sebab itu dilakukan berdasarkan ketakwaan bukan sekedar pemanfaatan karena jika menyalahi amanah para pemimpin dalam Islam memahami tanggungannya dunia akherat.
Wallahu 'alam bissawab.
Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang