Tinta Media - Aksi pembakaran Al-Qur'an di Swedia terulang lagi. Aksi tersebut dilakukan bertepatan dengan hari raya Iedul Adha. Pembakaran Al-Qur'an dilakukan di depan masjid Stockholm pada Rabu, 28/06/2023.
Tindakan tersebut dilakukan oleh Salwan Momika, pria asal Irak yang pindah ke Swedia. Atas nama kebebasan berpendapat dan kebebasan berekpresi, aksinya pun telah mendapatkan izin oleh pihak kepolisian Swedia.
Aksi tersebut menuai banyak kecaman dari berbagai negara di dunia, seperti Turki, Irak, Iran, Arab Saudi, termasuk Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia.
Dilansir dari AFP, Jumat (30/06/ 2023) Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengecam karena mengizinkan aksi pembakaran Al-Qur'an di masjid Stockholm, Swedia dan menegaskan akan melawan Islamofobia.
Tidak hanya itu, warga Irak pun mengecam aksi tersebut dengan protes menyerbu kedutaan besar Swedia yang berada di Baghdad. (Reuters, Kamis, 29/06/2023).
Sedangkan Indonesia mengecam aksi tersebut melalui akun Twitter resmi Kementrian Luar Negeri (Kemlu) RI dengan mengatakan bahwa aksi tersebut melukai perasaan umat Islam, Kamis (29/6/2023).
Jika kita cermati, aksi pembakaran Al-Qur'an di Swedia bukan terjadi saat ini saja. Sebelumnya pun pernah dilakukan oleh Rasmus Paludan, pemimpin partai sayap kanan Denmark, dan Stram Kurs. Mereka melakukan pembakaran alquyr'an berulang-ulang. Hal ini menunjukkan semakin nyatanya Islamofobia.
Aksi pembakaran Al-Qur'an terus berulang, tetapi tidak ada sikap tegas dari kaum muslimin dan para pemimpin, bahkan tidak satu pemimpin pun yang menunjukan pembelaan hakiki. Mereka hanya mencukupkan diri dengan mengecam tanpa tindakan nyata. Seharusnya ada tindakan tegas dan nyata hingga menjadikan pelakunya jera agar hal tersebut tidak terulang lagi, sebab tidak cukup hanya mengecam tanpa ada sanksi tegas dari pemerintah.
Namun, dalam sistem saat ini hal tersebut tidak dapat dilakukan, sebab sistem saat ini adalah sistem sekuler liberalisme, dengan mengatasnamakan hak asasi manusia (HAM), bebas melakukan apa saja. Karena itu, pemerintah tidak serius menangani masalah ini dan akan menjadi sebab terus terulang.
Hal ini karena tidak menjadikan pelaku jera atas perbuatannya. Mungkin seperti inilah potret kepemimpian dalam negara yang menganut sistem demokrasi, sekuler, liberalisme.
Berbeda dengan sistem Islam, negaralah yang paling bertanggung jawab menjaga agama dan Al-Qur'an serta mengajarkan rakyat untuk menunjukan pembelaannya.
Sistem Islam mengutamakan kepentingan rakyat, baik perkara kecil maupun besar karena hal tersebut adalah amanah yang akan dimintai pertagungjawaban di akhirat kelak.
Pemimpin dalam sistem Islam meriayah rakyatnya untuk tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam. Sebab, membakar Al-Qur'an dengan tujuan melecehakan adalah dosa besar.
Jika pelakunya adalah kafir dzimmiy dan terikat perjanjian dengan kaum muslimin, maka tindaknnya telah membatalkan perjanjian itu hingga hilang jaminan kemanan untuk si pelaku sehingga dapat dijatuhi hukuman mati. Demikianlah pendapat dari Imam asy-Syafii (Ash-Sharim al-Maslul'ala Syatim ar-Rasul , hlm 13).
Dalam sistem Islam, pemimpin mengarahkan rakyatnya untuk senantiasa taat kepada Allah Swt. Dengan begitu, tidak akan ada perbuatan yang seakan melecehkan agama, baik agama Islam maupun agama lainnya. Hanya sistem Islam yang mampu menghentikan penistaan dalam bentuk apa pun, sebab pemimpin dalam Islam merupakan perisai untuk rakyat.
Oleh: Nasiroh
Aktivitas Muslimah