Tinta Media - Sejenak kita merenung, kehidupan manusia dimulai dari bayi, remaja, dewasa, kemudian tua. Semua berjalan alami, tidak bisa menghindar, apalagi menghentikan. Pada muaranya, siklus akhir dan tak salah adalah kematian yang akan menimpa siapa saja dan kapan saja.
Proses dari siklus ini sering tak disadari. Inilah yang sering melalaikan manusia untuk segera melakukan kebaikan. Karena merasa masih kecil, dibiarkan tanpa pendampingan, mengalir begitu saja. Memasuki remaja, merasa punya banyak waktu luang, bersenang-senang, tak peduli hingga menghabiskan banyak kesempatan emas untuk persiapan meraih masa depan. Padahal, di titik inilah bisa banyak manfaat baik untuk diri sendiri maupun sekitar yang bisa didapatkan. Di saat tenaga masih prima, pikiran jernih dan sehat tentu akan maksimal dalam amalan.
Hingga akhirnya memasuki masa tua, tinggal penyesalan dan pengandaian yang mustahil bisa mengulangi kembali. Tenaga lemah, berbagai penyakit telah singgah, tidak bisa dicegah. Pendengaran yang tak lagi jelas, penglihatan mulai kabur dan lainnya. Kesadaran yang hadirnya terlambat, tak banyak yang bisa diperbuat selain meratap.
Dari Amru bin Maimun bin Mahran, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. berkata kepada seorang pemuda dan menasihatinya, “Jagalah lima hal sebelum lima hal. (1) Mudamu sebelum datang masa tuamu, (2) sehatmu sebelum datang masa sakitmu, (3) waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu, (4) kayamu sebelum miskinmu, (5) hidupmu sebelum matimu.
Sesungguhnya kita tak punya banyak waktu. Serasa masih ingat sewaktu duduk di bangku sekolah, tetapi faktanya sudah berkepala empat.
Sering manusia berandai-andai, "Seandainya aku kaya akan bersedekah, jika sehat aku akan rajin beribadah, nanti saja kalau sudah tua aku bertaubat."
Masih banyak lagi pengandaian. Sebenarnya semua itu tak lebih dari bisikan setan untuk menyesatkan. Ketika muncul pikiran demikian, harus dibalik. "Jika tidak ibadah sekarang, siapa tahu ini adalah terakhir melaksanakannya."
Dengan mengingat mati, akan muncul dorongan kuat bagi kita untuk melaksanakan berbagai ketaatan, melembutkan hati agar tidak menyimpan berbagai sifat su’udzan, iri, hasat, sombong, dan sifat lain yang menunda serta merusak amal.
Sudah sekian banyak menyaksikan orang mati, sesaat takut karena belum punya bekal, tetapi hal itu tak berlangsung lama. Suasana lingkungan yang tidak menjadikan syariat sebagai tolak ukur perbuatan, membuat kita sering merasa asing jika harus taat. Ini menunjukkan bahwa kita perlu lingkungan yang baik agar mudah melaksanakan ketaatan. Lingkungan yang baik adalah ketika aturan dari sang Mahabaik, Allah Swt. diterapkan dalam semua lini kehidupan.
Allah Swt. menciptakan kehidupan beserta aturan-Nya, sehingga tidak sulit bagi manusia menjalani hidup. Ibarat sebuah perjalanan yang sudah ada rutenya, jika tidak digunakan, perjalanan hidup terasa berat, rumit, serta menyengsarakan, seperti saat ini ketika kita mengabaikan aturan-Nya.
Terbukti ketika siklus yang Rasulullah saw. bawa diterapkan, selama 14 abad kehidupan manusia, baik muslim maupun nonmuslim dipenuhi kebaikan. Jiwa mereka tenang dan akalnya puas. Tidakkah kita merindukan siklus kebaikan itu terulang kembali? Allahu a’lam.
Oleh: Umi Hanifah
Sahabat Tinta Media