Tinta Media - Berdasarkan data UNICEF, Indonesia menduduki peringkat ke-8 di dunia dan ke-2 di ASEAN dengan jumlah pernikahan dini terbanyak. UNICEF mencatat bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-8 tertinggi dengan angka absolut “pengantin anak” sebesar 1.459.000 kasus. Secara nasional, terdapat 11,2% anak perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun, dan 0,5% dari anak perempuan tersebut menikah pada saat mereka berusia 15 tahun (Kumparan.com, 22/06/2023).
Syarat nikah diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2019. Aturan ini menyebutkan dengan jelas bahwa laki-laki dan perempuan boleh menikah jika sudah berusia 19 tahun. Sayangnya, kemudian banyak anak yang mengajukan dispensasi agar bisa nikah dini sebelum berumur 19 tahun. Dispensasi ini diberikan dengan menjalani sidang di pengadilan. Di tahun 2022 saja, terdapat 50.673 kasus pengajuan dispensasi nikah yang mayoritas dilatarbelakangi keadaan hamil di luar nikah.
Adapun Kota Tangerang, meskipun mengalami penurunan pengajuan angka dispensasi nikah di tahun 2022, tetapi bukan tidak mungkin fenomena ini bagaikan gunung es yang puncaknya saja terlihat, tetapi yang tidak terlihat ternyata lebih banyak.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Aris Adi Leksono mengatakan bahwa faktor ekonomi dan kemiskinan, nilai budaya, perilaku remaja, dan ketidaksetaraan gender menjadi penyebab merebaknya fenomena pernikahan dini dalam masyarakat. Benarkah demikian?
Polemik pernikahan anak ini ramai diaruskan melalui Program Kependudukan PBB (UNFPA). UNICEF juga menilai pernikahan di bawah umur banyak membawa dampak buruk bagi anak-anak. Memang benar terjadi kedaruratan berupa peningkatan kasus pernikahan anak di bawah umur di Indonesia. Namun, alih-alih sekadar membuat aturan terkait batas umur pernikahan, seharusnya kita berfokus pada alasan peningkatan angka tersebut terjadi.
Sayangnya, polemik ini hanya berujung dengan dikambinghitamkan pernikahan di usia dini.
Pada dasarnya, perkara ini berawal dari kesalahan dalam mendefinisikan anak. Pemerintah telah melakukan langkah progresif dengan meningkatkan batas usia minimal anak menikah menjadi 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki, melalui UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Disusul dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.
Upaya ini semata dalam rangka untuk mempersulit proses pernikahan usia anak. Bagaimana dengan anak yang hamil di luar nikah, anak yang harus putus sekolah karena punya anak duluan? Menurut teori HAM, setiap anak berhak untuk menentukan apakah dirinya akan hamil atau tidak. Maka, menyeruaklah teori aborsi sebagai kuratifnya hamil di luar nikah. Mereka berpendapat bahwa penting untuk melakukan kampanye KRR (Kesehatan Reproduksi Remaja) sebagai upaya mengajari anak seks yang aman dan bertanggung jawab. Innalillaih wa inna ilaihi rajiun.
Tentu konsep ini berbeda dengan definisi anak dalam Islam. Dalam Islam, kita mengenal istilah kanak-kanak, tamyiz, dan baligh. Kanak-kanak merupakan masa di saat anak masih bergantung pada walinya untuk memenuhi semua kebutuhan hidup, serta belum mampu membedakan baik dan buruk suatu perkara. Tamyiz adalah masa di saat anak sudah memiliki kemandirian serta mampu membedakan apakah sesuatu bermanfaat bagi dirinya atau tidak. Adapun baligh, yaitu habisnya masa kanak-kanak yang ditandai dengan bermimpi (ihtilam) bagi laki-laki dan haid bagi perempuan.
Baligh menjadi pertanda mulai dibebankannya taklif hukum syariat padanya, termasuk dalam urusan pernikahan. Dengan definisi tersebut, maka dalam Islam batasan seseorang boleh menikah adalah ketika dia sudah mencapai masa mampu, baik secara biologis, emosi, maupun akalnya.
Menjawab Dalih Feminis atas Upaya Kriminalisasi Pernikahan Usia Anak
Beberapa poin yang menjadi kekhawatiran golongan tertentu atas maraknya perkawinan dini antara lain, meningkatkan angka kematian ibu dan anak, peningkatan angka kemiskinan, penurunan kualitas SDM, marak terjadi KDRT, terganggunya fisik dan psikologi anak.
Dalam menjawab kontradiksi ini, kita harus kembali kepada akidah kita bahwa ketika Allah menetapkan suatu perkara, maka Dialah yang paling mengetahui atas segala sesuatunya. Begitu pula dengan syariat pernikahan, pasti mampu memberikan kemaslahatan bagi manusia. Maka, kita harus melihat ini sebagai permasalahan yang terpisah.
Pertama, aktivis HAM, perempuan, dan anak selalu menggunakan dalih banyaknya penelitian yang menunjukkan adanya korelasi antara pernikahan dini dengan tingginya angka kematian ibu dan bayi. Menurut UNFPA, terdapat beberapa kejadian medis yang kerap terjadi pada anak yang mengandung atau melahirkan terlalu dini seperti, obstetric fiscula, prolapse rahim, pendarahan, kelahiran bayi premature, dan bahkan kematian. Tentu semua data itu tidak bisa kita abaikan, tetapi harus kita teliti siapa yang menjadi responden dari semua penelitian tersebut.
Penelitian itu banyak dilakukan di negara-negara dunia ketiga yang tingkat pertumbuhan ekonominya lemah dan kesejahteraannya rendah. Tentu nutrisi yang diterima oleh responden penelitian di negara miskin atau berkembang berbeda dengan responden di negara maju.
Ketika seorang perempuan sudah menstruasi, maka organ reproduksinya telah disempurnakan oleh Allah. Nutrisi yang cukup sangat dibutuhkan oleh mereka dalam masa-masa aktif seksualitas. Terlebih lagi jika memasuki masa kehamilan, semakin banyak nutrisi yang dibutuhkan. Nutrisi ini hanya bisa dipenuhi jika tingkat kesejahteraan masyarakat tinggi.
Ini berhubungan dengan poin kedua, bahwa sesungguhnya kemiskinanlah yang menyebabkan tingginya angka kematian ibu dan anak, bukan pernikahan dini itu sendiri. Untuk persoalan kemiskinan, tentu merupakan permasalahan kompleks yang seharusnya diselesaikan oleh negara dengan semua perangkatnya. Sumber keuangan negara kapitalis yang berupa pajak dan hutang tidak akan mampu menyejahterakan rakyat. Ini berbeda dengan konsep ekonomi dalam Islam
Ketiga, pernikahan anak juga dianggap sebagai penyebab rendahnya tingkat pendidikan perempuan, sebab pada akhirnya mereka memilih putus sekolah dibanding melanjutkan pendidikan. Padahal justru sebaliknya, pendidikan yang minim terhadap anaklah yang membuat mereka tidak memiliki kesiapan dalam memasuki tahapan baligh.
Tak dimungkiri, generasi kini mengalami masa kelambatan berpikir, sementara fisik mereka digempur dengan kondisi yang mempercepat kedewasaan biologis. Di rumah, orang tua tidak mendidik anak menjadi pribadi yang mandiri. Semua mesti dikerjakan orang tua dengan dalih bahwa mereka masih kanak-kanak, padahal anak sudah beranjak SMA.
Di sisi lain, sekolah atau institusi pendidikan tidak mendidik anak dengan pemahaman yang utuh dalam menjalani kehidupan. Yang terjadi di sekolah hanyalah transfer pengetahuan, bukan penancapan pemahaman bahwa ilmu tersebut harus mampu diaplikasikan untuk menyelesaikan problematika kehidupan.
Sementara, di lingkungan tempat hidup, anak-anak dicekoki dengan berbagai paparan yang mempercepat pendewasaan mereka secara seksual. Konten pornografi dan pornoaksi begitu mudah diakses anak-anak. Begitu pula tontonan ditelevisi berupa sinetron remaja tentang percintaan dan juga reality show yang merendahkan kehormatan perempuan.
Keempat, pernikahan dini disebut sebagai alasan maraknya KDRT. Anak yang menikah dini dianggap mudah terdesak oleh pasangan yang usinya lebih tua dan tidak mampu membela dirinya. Pada faktanya, KDRT tidak hanya menimpa pasangan yang menikah dini, tetapi juga pasangan yang cukup usia.
Tindak KDRT tidak lepas dari minimnya bekal pasangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Baik yang berusia dini atau yang cukup usia, keduanya tidak memiliki kecakapan dalam berkomunikasi, mengurusi rumah tangga, bersikap terhadap pasangan, dan menejemen konflik. Sebab, semua itu memang tidak pernah diajarkan di sekolah maupun oleh orang tua mereka.
Kelima, tuduhan bahwa pernikahan dini bisa mengganggu fisik dan psikologi anak adalah salah. Kesiapan fisik dan psikologi bisa dibentuk dari didikan orang tua dan sekolah. Kurikulum yang tepat mampu menghasilkan generasi emas yang dewasa secara fisik maupun mental, sehingga ketika tiba saatnya baligh, maka anak sudah siap dengan semua konsekuensi taklif hukum syariat.
Solusi Komprehensif dalam Islam
Dalam Islam tidak dikenal istilah pernikahan dini. Ketika syarat-syarat pernikahan telah terpenuhi, maka pernikahan itu sah. Adapun masalah yang dianggap muncul dari maraknya pernikahan anak adalah dimensi lain dari rumitnya permasalahan umat saat ini.
Di dalamnya kita melihat permasalahan ekonomi berupa kemiskinan, permasalahan sosial, pendidikan, bahkan permasalahan politik. Tentu butuh solusi komprehensif untuk menyelesaikannya.
Islam merupakan agama sempurna yang memiliki solusi khas dalam menyelesaikan problem manusia. Tuduhan dampak pernikahan dini tadi seharusnya diselesaikan, bukan dengan membatasi umur pernikahan, tetapi dengan menyiapkan sistem solid untuk mencegah dampak itu terjadi.
Masalah kemiskinan bisa diselesaikan negara dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, meliputi pengelolaan SDA, pendayagunaan zakat pada pos-posnya, serta peningkatan aktivitas ekonomi riil. Bidang sosial dan pendidikan bisa diselesaikan dengan kurikulum pendidikan bershaksiyah Islam, pencegahan penyebaran konten pornografi di dunia maya maupun nyata.
Wallahu’alam bishshawwab.
Oleh: Endang Rahayu, Apt.
(Pembina Yayasan Parenting Sakinah)