Tinta Media - Terkait kasus dugaan korupsi Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) yang dihadapi KPK, Ketua LBH Pelita Umat sekaligus mahasiswa doktoral Chandra Purna Irawan, S.H.,M.H menyatakan KPK tidak melebihi kewenangannya.
“KPK telah sesuai hukum dan tidak melebihi kewenangannya," tuturnya kepada Tinta Media, Senin (31/7/2023).
Chandra meyakinkan pendapatnya dengan memberikan empat argumen. Pertama, merujuk pasal 198 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menjelaskan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
“Sedangkan proses penyidikan dilakukan oleh tim gabungan yang terdiri dari polisi militer (PM), oditur dan penyidik umum. Tetapi perlu diketahui tim gabungan dibentuk berdasarkan keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Hukum dan HAM (Kemenkumham),” imbuhnya.
Selama belum ada keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Hukum dan HAM (Kemenkumham), lanjutnya, maka KPK dapat memungkinkan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan Pasal 42 UU KPK yang berbunyi “Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.”
“Terlebih lagi KPK telah menyatakan sejak awal KPK telah melibatkan Pusat Polisi Militer atau Puspom TNI untuk melakukan penyelidikan hingga penyidikan kasus tersebut,” tandasnya.
Kedua, sambungnya, Basarnas merupakan lembaga nonkementerian dan bukan institusi militer, sehingga siapa pun pemimpinnya merupakan penyelenggara pemerintahan. Sehingga KPK memiliki kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tipikor yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara sesuai Pasal 11 ayat (1) huruf a UU 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Ketiga, perlu dilakukan audit apakah kerugian dugaan tindak pidana tersebut lebih banyak merugikan kepentingan umum atau kepentingan militer. Untuk menentukan apakah lingkungan peradilan militer yang berwenang memeriksa dan mengadili suatu perkara, diukur dari segi “titik berat kerugian” yang ditimbulkan tindak pidana itu,” jelasnya.
Ia melanjutkan, apabila titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kerugian lebih banyak pada kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Apabila titik berat kerugian ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada lebih banyak kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh Peradilan dalam lingkungan militer. Hal ini berdasarkan Pasal 200 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
“Keempat, kenapa KPK meminta maaf jika mereka sudah merasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan?” tutupnya.[] Abi Bahrain