Tinta Media - Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bandung Yayat Hidayat menyatakan bahwa masih banyak masyarakat Kabupaten Bandung yang belum mengetahui jadwal, tahapan, dan cara Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), sehingga meminta dinas pendidikan untuk lebih gencar melakukan sosialisasi PPDB ini agar masyarakat tidak bingung. (AyoBandung.com, Senin (19/06/2023).
Fakta berikut merupakan salah satu dari karut-marutnya pelaksanaan PPDB. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menjelaskan setiap tahunnya selalu menerima banyak pengaduan terkait masalah pelaksanaan PPDB. Masalahnya macam-macam, mulai dari sistem zonasi, sistem error, informasi teknis PPDB yang belum merata, teknis pendaftaran yang belum sepenuhnya dipahami masyarakat, daya tampung, serta persoalan lainya. (Kpai.go.id)
Menurut Inspektur Jenderal Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Irjen Kemendikbud) Daryanto, bahwa penyebaran daerah yang mengalami masalah PPDB banyak terjadi di setiap daerah di Indonesia. Di antara masalah yang dominan diadukan adalah pengaduan seputar ketidakadilan dan zonasi. Siswa dan Orang tua merasa dirugikan dengan pembatasan jarak. Juga ada yang mengadukan keberadaan slot jatah untuk orang-orang tertentu yang dirasakan tidak adil.
Tujuan adanya sistem zonasi adalah menghadirkan pemerataan akses pada layanan pendidikan, serta pemerataan kualitas pendidikan nasional. Namun, kenyataannya jauh panggang dari api. Kalaupun sistem zonasi ini dihilangkan, tidak akan mampu memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak negeri.
Ustazah Iffah Ainur Rochmah memaparkan dalam Muslimah Media Channel (MMC) terkait "Sengkarut sistem zonasi PPDB" bahwa pendidikan terbaik bagi anak-anak negeri ini membutuhkan political will secara mendasar dari negara.
Masalahnya, apakah negara sekarang memiliki political will yang mengedapankan kualitas pendidikan anak-anak negeri?
Pertanyaan itu muncul mengingat pentingnya masalah piticsl will ini untuk menghasilkan generasi unggulan, generasi yang mampu membangun peradaban.
Ternyata, jawabannya sama sekali tidak. Bahkan kalau kita lihat, masyarakat menganggap sekolah favorit atau tidak favorit itu identik dengan sekolah yang mampu menghantarkan anak-anaknya menuju ke perguruan tinggi favorit, kemudian setelah lulus mendapatkan pekerjaan atau karier yang baik.
Inilah niat pandangan publik tentang sekolah, bahwa sekolah itu untuk mendapatkan pekerjaan. Sekolah bukan untuk membangun kepribadian, bukan pula untuk menghasilkan generasi unggul, generasi pemimpin, generasi pembangun peradaban.
Problem mendasar ini tidak lain karena negara hari ini menetapkan dasar dan tujuan pendidikan yang diikuti dengan kurikulum pendidikan yang sekuler. Bukankah di dalam UU. No. 20 tahun 2003, tujuan pendidikan adalah menciptakan insan seutuhnya yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan seterusnya? Di manakah perwujudannya? Apakah asas pendidikan, tujuan pendidikan, dan kurikulum pendidikan itu sejalan?
Faktanya, kurikulum pendidikan sekarang hanya menjadikan generasi kita generasi yang sekuler. Mereka bisa saja diberikan pengetahuan dan informasi tentang ajaran agama, tetapi orientasi masa depan mereka itu bukanlah pembentukan pribadi yang bisa mendapatkan Rida Allah Swt. dan memberikan pengabdian untuk tegaknya hukum-hukum Allah, yaitu terwujudnya peradaban yang berdasarkan Rida Illahi.
Bahkan, tidak sama sekali. Ini karena yang ditanamkan, mulai dari materi ajar, cara mengajarkannya, sampai tata kelola bagaimana pendidikan itu dijalankan di negeri ini adalah orientasi-orientasi materialistik.
Terlebih lagi, hari ini Indonesia berada dalam iklim global. Maka, anak-anak negeri ini disetting untuk menjadi anak-anak yang kompetitif, bagaimana mereka harus berhadapan dengan Tenaga Kerja Asing (TKA), bagaimana mereka harus mempunyai skill yang tidak kalah dengan TKA.
Kalau hanya semacam itu, bagaimana mereka bisa memanfaatkan iklim global internet of things hari ini untuk mendapatkan keungungan materialistik sebesar-besarnya bagi diri mereka?
Itulah orientasi pendidikan hari ini. Suka atau tidak suka, kita harus mengakui bahwa pendidikan hari ini orientasinya adalah orientasi materialistik karena kurilulumnya sekuler.
Pemerintah mengatakan bahwa sistem zonasi sekolah berfungsi untuk menghilangkan diskriminasi, menghilangkan kasta sekolah favorit atau tidak favorit, tetapi nyatanya tidak bisa dimungkiri bahwa pemerintah tidak bersungguh-sungguh dalam menyiapkan fasilitas, infrastruktur, persiapan tenaga kependidikan untuk bisa membuat semua sekolah memiliki kualitas yang sama. Lebih mendasar dari itu, pemerintah juga ternyata tidak mengubah sama sekali orientasi pendidikan yang sekuler bahkan materialistik itu.
Karut-marutnya sistem zonasi sekolah ini semoga mampu menyadarkan diri kita, serta menyadarkan publik bahwa kita membutuhkan sistem pendidikan yang benar-benar berpihak pada pembentukan kepribadian Islam anak-anak negeri ini.
Anak-anak harus mendapatkan kesempatan sekolah terbaik, yakni sekolah yang menyiapkan mereka menjadi insan yang bertakwa kepada Allah Swt. sekaligus yang memiliki skill memadai untuk menghadapi tantangan kehidupan. Ini bukan untuk memperkaya diri sendiri, bukan untuk orientasi materialistik, tetapi untuk mewujudkan 'izzah umat Islam dan untuk mewujudkan peradaban mulia tegak kembali di muka bumi.
Inilah anak-anak bangsa negeri yang membutuhkan kembali tegaknya sistem Islam dalam naungan Khilafah, karena hanya sistem khilafahlah yang akan memberlakukan sistem pendidikan Islam dengan asas, tujuan, dan kurikulum pendidikannya berdasarkan Islam. Dari sini, lahirlah generasi-generasi cemerlang seperti pada masa, yaitu pribadi-pribadi unggul yang mampu menghasilkan peradaban mulia dengan tegaknya Islam sebagai mercusuar dunia.
WalLaahu a'lam bi ash-shawwab.
Oleh: Nia Kurniasari
Sahabat Tinta Media