Karhutla Membara, Buah Penerapan Sistem Kapitalisme - Tinta Media

Rabu, 05 Juli 2023

Karhutla Membara, Buah Penerapan Sistem Kapitalisme

Tinta Media - Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops PB) BPBD Kalimantan Selatan melaporkan, hingga Sabtu (24 Juni 2023), kembali terjadi kebakaran hutan di  Kalimantan. Luas kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Kalsel mencapai 163,15 hektar yang menimpa tujuh kabupaten, di antaranya Kota Banjar Baru, Tanah Laut, Banjar Tapin, Hulu Sungai Utara, Balangan dan Tebalong. (Kumparan, 25 Juni 2023).

Selain di wilayah Kalimantan, karhutla juga terjadi di Riau, melanda Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis sejak pertengahan Juni lalu. Habitat gajah Sumatera yang terbakar mencapai 10 hektar.

Ginman Hasibuan, Kepala Besar Konservasi SDA Riau mengatakan, Karhutla ini dipicu adanya aksi pembukaan lahan dengan cara membakar, untuk perkebunan kelapa sawit. Hingga saat ini, tim satgas masih berjibaku untuk memadamkan api.

Terjadinya karhutla di berbagai wilayah Indonesia tentu membawa kerugian bagi masyarakat yang terdampak. Kerugian yang ditimbulkan selain kesehatan dan ekonomi, juga dapat menyebabkan kematian. Sementara, tindakan yang dilakukan pemerintah tidak menyentuh akar persoalan.

Menurut Boy Even Sembiring, karhutla ini bukan ulah manusia saja, tetapi ada peran negara sebagai pembuat kebijakan. Kebijakan ini di antaranya mencakup pemberian izin yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah terkait pemanfaatan lahan, pembukaan perkebunan dan kebijakan lainnya, yang berimbas pada pembakaran hutan. 

Dalam pasal 51 ayat (1) dan ayat (2), Peraturan Presiden no 104 tahun 2015 malah melegalkan keterlanjuran perkebunan di kawasan hutan, bahkan fungsi lindung dan konservasi. Sejatinya, karhutla ini adalah problem sistemis akibat  penerapan sistem ekonomi kapitalisme.

Dalam sistem kapitalisme, hutan dan lahan dianggap sebagai milik negara, bukan milik rakyat. Karena itu, negara berwenang menyerahkan kepemilikan ini kepada pihak swasta atau korporasi untuk mengelola manfaat hutan yang ada. Tentu saja mindset korporasi mendapat keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengeluarkan modal yang besar. 

Membakar hutan merupakan cara mudah dan sesuai target bisnis para korporat. Karena itu, akar persoalannya adalah penerapan sistem kapitalisme, yang telah  membiarkan kaum kapital mengeruk untung dari petak umpet kebakaran hutan, sementara negara hanya bertindak sebagai regulator yang memuluskan penguasaan lahan oleh korporat melalui kebijakan negara.

Solusi

Bencana kebakaran hutan dan lahan bisa diakhiri secara tuntas manakala menerapkan sistem Islam. Hutan gambut tropis Indonesia yang terluas di dunia ini memiliki fungsi ekologis dan hidrologis, termasuk sebagai paru-paru dunia yang dibutuhkan oleh puluhan juta. Karenanya, hutan pada umumnya melekat karakter harta milik umum. 

Rasulullah saw. bersabda, "Kaum muslimin berserikat  dalam tiga perkara, yaitu padang rumput (hutan), air, dan api." (HR. Abu Daud).

Dalam hal ini negara adalah pihak yang bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian hutan. 

Rasulullah saw. bersabda, "Imam adalah ibarat pengembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab  terhadap gembalaannya (rakyatnya). (HR. Muslim)

Artinya, apa pun alasannya negara haram bertindak sebagai regulator bagi kepentingan korporasi dalam mengelola hutan. Sebaliknya, negara wajib bertanggung jawab  langsung dan sepenuhnya  dalam pengelolaan hutan, termasuk pemulihan fungsi hutan yang sudah rusak, serta antisipasi pemadaman bila terbakar. 

Selain itu, penyerahan pengelolaan hutan pada pihak korporasi hingga berujung pada pembakaran dan kerusakan hutan akan menjadi sumber bencana bagi jutaan orang yang diharamkan Islam. 

Rasulullah saw. bersabda, "Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). 

Sementara, hak kompensasi tidak dikenal dalam Islam, karena pemanfaatan secara istimewa atau himmah hanyalah pada negara dengan tujuan untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. 

Rasulullah saw. bersabda, "Tidak ada himmah (hak pemanfaatan khusus kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya." (HR. Abu Daud).

Jika terjadi kembali kebakaran hutan dan lahan, maka pemerintah segera menyelesaikannya. Hal ini karena sudah menjadi  kewajiban pemerintah untuk memperhatikan urusan rakyatnya di samping memelihara kemaslahatan mereka. Hal ini tentu didukung oleh sistem pendidikan guna membangun kesadaran masyarakat dalam mewujudkan kelestarian hutan dan manfaatnya bagi generasi berikutnya. Hal ini hanya akan terwujud manakala diterapkan syariat Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian.
                          
Wallahualam bissawab.

Oleh: Astuti K
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :