Impor Beras Kembali Dibuka, Petani Mengelus Dada - Tinta Media

Minggu, 02 Juli 2023

Impor Beras Kembali Dibuka, Petani Mengelus Dada

Tinta Media - Bagaikan ayam mati di lumbung padi, peribahasa di atas menggambarkan kelamnya nasib petani di negeri gemah ripah loh jinawi. Pasalnya, buruknya sistem pertanian dalam negeri menyebabkan kran impor beras kembali dibuka. Bahkan, tragedi el nino menjadi alasannya. Padahal, fenomena ini bisa diantisipasi dengan menambah stok beras sejak setahun lalu, sehingga tidak akan terjadi kekosongan beras ketika terjadi kekeringan.

Beberapa pengamat kebijakan publik mengindikasikan bahwa impor beras dilakukan karena adanya kepentingan pemilu tahun depan. Sebagimana pemilu 2019 lalu, kejadian yang sama juga terjadi, yaitu impor beras sebanyak 2,2 juta ton.

Dikutip katadata.co.id, 17/6/2023, pemerintah mengimpor beras dari India sebesar 1 juta ton. Kebijakan ini dilakukan agar pencapaian Cadangan Beras Pemerintah (CBP) stabil, baik stok dan harganya. Padahal, sebelumnya Badan Pangan Nasional (Bapenas) telah menugaskan Bulog untuk mengimpor 2 juta ton sepanjang tahun 2023. Jadi, total pemerintah mengimpor beras sebanyak 3 juta ton.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira mengungkapkan bahwa impor ini tanpa perencanaan karena berdampak  merugikan petani dalam jangka panjang. Seharusnya Bulog mampu menambah ketersediaan beras sejak setahun lalu karena kekeringan ekstrim sudah bisa diprediksi sebelumnya.

Jebakan Liberalisasi Pangan

Sebelum tahun 1994, Indonesia tercatat sebagai negara pengekspor pangan. Namun, setelah tahun 1994, negara agraris ini menjadi pengimpor pangan. Ini disebabkan pemerintah dan negara-negara yang tergabung dalam organisasi WTO telah meratifikasi perjanjian liberalisasi perdagangan, khususnya liberalisasi industri pertanian pada tahun 1995. 

WTO mengeluarkan Agreement of Algiculture (AoA) yang berpijak pada tiga pilar, yaitu perluasan akses pasar, pemotongan subsidi ekspor, dan pengurangan dukungan domestik. Semenjak itu, kebijakan pemerintah terkait pertanian mengalami perubahan. 

Indonesia wajib  meliberalisasi pasarnya secara bertahap. Akhirnya, pasar dalam negeri dipenuhi dengan produk impor dengan barang berkualitas dan harganya lebih murah. Lambat laun, kondisi tersebut mematikan petani lokal.

Kondisi ini diperparah lagi dengan terjadinya krisis moneter tahun 1998. Ekonomi negara runtuh dan akhirnya mencari pinjaman kepada IMF  (Internasional Moneter Fund). Jebakan utang ini menyebabkan pemerintah wajib mengikuti prasyarat yang diajukan IMF, antara lain meliberalisasi industri perdagangan, termasuk komoditas pertanian, khususnya pangan. 

Sejak tahun 1998, Indonesia resmi mencabut subsidi pupuk, melepas tata niaga pupuk, benih unggul, dan pestisida, sehingga banyak petani menderita dengan meningkatnya biaya produksi. Sedangkan ketika panen, harganya kurang bersaing dikarenakan banyaknya beras impor murah yang membanjiri pasar. Para petani merugi dan memilih untuk tidak menanam padi lagi.

Pada tahun 2010, Indonesia bergabung dengan perjanjian ACFTA (ASEAN China Free Trade). Imbasnya, produk China membanjiri pasar. Lagi-lagi impor tersebut membunuh petani secara perlahan. Akhirnya, semakin ke belakang pemerintah semakin melepas satu-persatu subsidinya sehingga ketergantungan akan impor semakin tinggi. Tak ayal, harga pangan hasil petani lokal melambung tinggi, kalah bersaing dengan produk impor.

Alhasil, negara agraris tak mampu lagi punya ketahanan pangan nasional yang kokoh. Ini disebabkan oleh rakusnya negara kapitalis. Melalui organisasi dunia, PBB, IMF, ACFTA, mereka menindas negara berkembang. Liberalisasi sektor pertanian telah merenggut kebahagiaan petani lokal, sehingga banyak petani yang ganti profesi dan menjual lahannya. Alhasil, minimnya generasi penerus dalam bidang pertanian diambang mata. Astaghfirullah.

Sebuah Ironi 

Kebijakan impor pangan dilakukan oleh menteri perdagangan, setelah melakukan perundingan dalam kabinet. Kebutuhan pangan yang mendesak akibat kekeringan ekstrim menjadi alasan mengimpor 3 juta ton beras. 

Padahal, jika pemegang kebijakan di negeri ini berpihak kepada rakyat, tentunya akan mencari solusi yang terbaik, misalnya memperbaiki sistem industri pertanian, mulai dari pengadaan benih, tata niaga pupuk, pestisida, sampai alat-alat pertanian modern. 

Dari skill SDM, para petani diberikan pelatihan dan dana yang dibutuhkan agar proses produksi meningkat drastis. Ini sebagai antisipasi jika terjadi bencana paceklik, tentunya jika pemimpin negeri ini beriktikad menjadi pelayan rakyat bukannya pro oligarki, serta tidak sekadar mencari manisnya keuntungan impor semata.

Islam Satu-satunya Solusi Tuntas

Sistem Islam adalah sistem kehidupan yang unik. Dalam sistem ini, negara Islam bertanggung jawab menerapkan aturan-aturan Islam secara utuh. Negara mengatur urusan umat dalam negeri ataupun luar negeri, sehingga semua masyarakat mendapat jaminan hidup layak dan sejahtera.

Demikian juga sektor  perdagangan. Islam menjamin ketersediaan kebutuhan pokok dan distribusi ke tengah masyarakat. Sejarah telah membuktikan pula bagaimana ampuhnya aturan Islam menangani musim paceklik. 

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, kekeringan ekstrim melanda pada tahun 18H. Masa paceklik terjadi selama 9 bulan. Pada saat itu, di Madinah masih terkendali karena persediaan tercukupi. Begitu daerah sekitar Madinah kekurangan pangan, mereka mendekat ke Madinah. Akhirnya, sebagai pemimpin, Umar turut merasakan kelaparan dan tidak lagi memakan makanan seperti biasa. 

Setiap hari Khalifah Umar menyembelih onta untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat. Sedangkan Umar lebih memilih memakan roti dan minyak saja sampai kulitnya yang kemerahan berubah kehitaman. Kemudian Khalifah Unar menulis surat kepada beberapa gubernur di wilayah yang surplus pertaniannya agar membantu Madinah.

'Amru bin Al 'Ash ra, gubernur Mesir mengirimkan bantuan makanan dan bahan pokok berupa gandum. Abu Musa Al Asy'ari, gubernur Basrah juga mengirimkan bantuan ke Madinah. Abu  Ubaidah membawa 4.000 hewan tunggangan dipenuhi oleh makanan, kemudian dibagikan ke perkampungan sekitar Madinah. 

Demikianlah ketika sistem Islam diterapkan untuk mengatur kehidupan. Permasalahan bisa diatasi dengan tuntas tanpa menimbulkan persoalan berikutnya, sebagaimana tanggung jawab seorang pemimpin yang amanah, rela kelaparan, dan lebih mementingkan kepentingan umatnya. 

Gambaran ketahanan pangan nasional negara Islam sangat kokoh, sehingga bisa menjadi cadangan ketika diperlukan oleh wilayah yang paceklik. Inilah kemandirian pangan yang mewujudkan kesejahteraan. 

Dalam sistem pertanian, negara Islam akan melakukan beberapa hal: 

Pertama, ekstensifikasi pertanian. Ini dilakukan dengan memanfaatkan tanah mati yaitu tanah yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun. Maka, tanah tersebut akan diberikan kepada siapa saja yang mampu menghidupkannya. 

Kedua, intensifikasi pertanian dengan pengadaan alat-alat pertanian yang canggih. Pemerintah juga memberikan bantuan modal, benih, pupuk, pestisida, sehingga petani bisa memproduksi padi dengan baik sampai tercipta swasembada pangan. 

Ketiga, menciptakan sistem distribusi yang baik agar tidak terjadi penimbunan dan monopoli pihak yang tidak bertanggungjawab.

Demikianlah bagaimana hajat hidup rakyat terpenuhi ketika menggunakan aturan Islam. Setiap individu dapat merasakan kesejahteraan walaupun kondisi bencana kekeringan. Ini menjadi bukti bahwa pemimpin dalam Islam adalah pengurus rakyat yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah Swt.

Sebagaimana hadis Rasulullah saw.

" Seorang imam adalah pemelihara urusan rakyat, ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya". (HR. Bukhari dan Muslim).

Wallahu a'lam bissawab.

Oleh: Irma Hidayati, S.Pd.
Pegiat dakwah

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :