Tinta Media - Dalam kacamata Islam tentang pernikahan, seorang muslimah berkewajiban menjadi ummu wa rabbatul bait yakni menjadi seorang ibu dan pengurus rumah tangga. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., yang diriwayatkan oleh Imam Muslim; "Seorang wanita adalah pengurus rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya."
Namun sayangnya, jeratan kapitalisme
dengan asas sekularisme yang menghujam di tengah kehidupan hari ini membuat
peran muslimah makin terkikis. Perannya yang begitu mulia seakan sirna
perlahan. Narasi-narasi liar yang digaungkan oleh feminisme berhasil membuat
para muslimah yang menyandang titel sarjana maupun tidak, merasa malu hanya
menjadi sosok ibu rumah tangga. Para muslimah digiring untuk menyibukkan diri
bekerja di luar rumah demi menyandang status sebagai wanita karir. Karena
ketika sudah menjadi wanita karir, ia akan merasa menjadi wanita mandiri tanpa
harus menyusahkan keuangan suami. Tidak sedikit juga yang berujung dengan
kesombongan, sampai ada yang merendahkan suaminya karena penghasilan yang didapat istri jauh lebih besar daripada penghasilan suami. Padahal dalam
pandangan Islam semua kebutuhan istri adalah tanggung jawab suami. Maka, istri
pun wajib bersikap qanaah dan ridha atas apa saja yang telah diberikan suami kepadanya.
Di sisi lain, banyak
muslimah yang nasibnya kurang beruntung ketika sudah menikah, mereka harus
bekerja di luar rumah bukan karena ingin menyandang status menjadi wanita karir
melainkan benar-benar ingin membantu perekonomian keluarga yang meliputi
kebutuhan sandang, pangan dan papan. Beban hidup yang berat ini berhasil
membuat para muslimah dengan rela memikul peran ganda, menjadi tulang rusuk
sekaligus tulang punggung keluarga.
Tidak bisa dimungkiri,
dampak terburuk perempuan yang bekerja di dalam dan di luar rumah adalah stres
yang berat hingga beban mental yang kuat. Tidak hanya lelah di badan namun
lelah di pikiran juga turut dirasakan. Sehingga pelayanan dalam rumah tangga
tidak maksimal. Keengganan melayani suami karena rasa lelah juga menjadikan
bibit-bibit perselingkuhan dan perceraian. Terbukti jumlah kasus perceraian
hari ke hari meningkat. Berdasarkan data Direktorat Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia per Juni 2023, data perceraian yang terkategori dalam
putusan perdata mencapai 4.360.081 kasus. Tidak jarang karena istri yang abai
dalam pelayanan terhadap suami, membuat suami gelap mata melakukan pelecehan
seksual yang korbannya sendiri adalah anak kandungnya. Suami merasa tidak
diperhatikan sementara istri merasa tidak kuat jika harus mengatur seluruh
aktivis di dalam dan di luar rumah.
Kondisi anak-anak pun terbengkalai
atau dalam pengasuhan orang lain, karena sosok guru di dalam rumah yakni ibu, sudah
merasa lelah dengan beban pekerjaan. Bukan lagi yang dipikirkan adalah
keluarga, melainkan materi dengan tujuan agar kebutuhan dan keinginan hidup
terpenuhi. Sehingga lahirlah generasi yang miskin adab dan jauh dari Islam.
Dalam Islam, ibu adalah
figur penting dalam menanamkan akidah dan adab kepada anak-anaknya agar tumbuh
menjadi pemuda yang mencintai Islam dan dakwah. Jika ibu sudah rapuh dan
kehilangan arah dalam pengasuhan, maka bisa dipastikan estafet peradaban juga
lumpuh.
Jika ingin menghancurkan
sebuah peradaban, maka rusaklah para wanitanya. Begitulah musuh-musuh Islam
menancapkan jargonnya. Jeratan kapitalisme sekularisme yang diusung negara hari
ini membuat muslimah terkungkung dengan hidup yang berat serta jauh dari agama.
Negara pun belum sepenuhnya bertanggung jawab atas kondisi rumah tangga
rakyatnya.
Menyikapi hal ini maka perlu adanya upaya dakwah pemikiran dari sekelompok orang untuk menyadarkan para muslimah agar kembali kepada fitrahnya sebagai ummu wa robbatul bait, dan dakwah juga tidak boleh berhenti sampai di sini. Pun, para pemegang kekuasaan juga harus disadarkan bahwa kerusakan sistem kapitalis sekularisme harus diganti dengan sistem Islam yang totalitas. Wallahua'lam.
Oleh: Reni Adelina
Aktivis Muslimah