Tinta Media - Entah apa yang ada di pikiran seorang pengunjung kafe Mama Rossy yang sedang viral belakangan ini. Perasaan marah dan kecewa yang ditunjukkan tak kan mengubah status restoran tempatnya makan menjadi halal.
Dia merasa ditipu dengan pelayanan kafe karena memberinya pasta non halal sementara yang dipesannya adalah pasta halal dengan daging sapi. Naas, dia baru mengetahui hal tersebut saat kasir kafe menyodorkan bill pembayaran padanya. Kekecewaan bertambah saat pihak kafe melalui salah seorang karyawannya memberikan tanda permintaan maaf hanya dengan iming iming dessert gratis. Tentu perlakuan tersebut menambah kesal konsumen muslim tersebut.
Kasus di atas sejatinya memberi pelajaran terhadap kita sebagai seorang muslim. Pertama, identitas keislaman yang sama sekali tak dihargai ketika berada di dalam tempat yang tidak tepat. Dalam hal ini publik harus mengetahui, bahwa kafe Mama Rossy menyajikan makanan dari jenin halal (seperti daging sapi) dan non halal (pork). Kondisi tersebut menjadikan status kehalalannya dipertanyakan oleh banyak pihak, dilihat dari cara pengolahan, maupun alat yang dipakai memasak. Artinya, jikapun ada konsumen muslim yang datang untuk makan, pihak kafe Mama Rossy sangat mungkin menganggapnya sebagai kalangan muslim yang tidak terlalu peduli dengan kehalalan makanannya.
Kedua, kejadian di kafe mama Rossy seharusnya menggelitik nalar berfikir seorang muslim. Sebab jika diamati, kejadian serupa sebenarnya sering terjadi di negeri ini. Jika dipadankan dengan perasaan konsumen mama Rossy yang terhina dengan perlakuan pelayan yang menghidangkan makanan non halal , maka seharusnya perasaan serupa muncul saat umat islam disuguhi dengan aturan hidup selain islam (non halal).
Misalnya untuk membeli rumah dan kendaraan, umat digiring dengan budaya leasing, sementara dalam syariat, leasing tersebut adalah haram dan batil.
Kemudian, dalam hal pergaulan sosial, umat dicekoki dengan arus budaya K-Pop dan Barat dengan aurat yang terjaja dimana-mana, sembari mempromosikan gaya hidup mereka. Bukankah hal seperti itu pun terlarang dalam syariat?
Belum lagi dengan fenomena generasi muda yang terperangkap dengan gadget dan membuat mereka menjadi budak game dan pornografi, bisa dibayangkan akibatnya?
Ya, budaya sekulerisme liberal telah memperlakukan ummat islam negeri ini secara hina. Menjadikan identitas keislaman sebagai status KTP semata. Dan menganggap syariat sebagai momok yang menakutkan. Di sisi lain, bonus demografi di negeri ini menjadikan umat islam sebagai pasar yang menjanjikan.
Hasilnya adalah lahirnya generasi zombie yang hidup dengan bayang bayang sekulerisme liberal. Mereka menjalankan aktivitas kesehariannya di bawah kungkungan aturan yang merusak fitrahnya. Maka sangat wajar jika saat ini banyak pemberitaan yang memprihatinkan terkait anak muda, mulai dari tawuran, pergaulan bebas, hingga kejahatan yang tak lagi pantas mendapatkan pemakluman.
Sudah saatnya umat islam tersadar dan segera bangkit dari tidur panjangnya , kemudian bergegas melawan segala macam penghinaan yang menimpanya. Kembali kepada fitrah, dengan memperdalam Islam serta memperjuangkannya sebagai sebuah mabda yang akan menempatkan manusia pada kemuliaan dunia dan akhirat. Wallahu alam bishshowab.
Oleh: Ummu Azka
Sahabat Tinta Media