Tinta Media - Kelangkaan minyak goreng ternyata masih terjadi di tengah masyarakat. Jikalaupun ada, harganya sangat mahal. Beberapa waktu yang lalu, Pemerintah mengeluarkan produk Minyakita untuk atasi kemahalan dan kelangkaan minyak goreng. Pengadaan ini diklaim sebagai pengadaan minyak curah bersubsidi.
Akan tetapi, kekisruhan saat distribusi terjadi. Beberapa waktu lalu, Minyakita dijual seharga Rp16.000 per liter di pasar tradisonal Jakarta. Harga tersebut berada di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan, yaitu senilai Rp14.000 per liter.
Dilansir dari IDXChannel.com(29/5), disampaikan bahwa selain mahal, Minyakita dijual bersyarat atau bundling, artinya pedagang yang membeli minyak dari distributor harus membeli produk lainnya. Kondisi seperti ini jelas memberatkan konsumen, apalagi dengan kondisi ekonomi yang sangat terbatas.
Klaim pemerintah yang mejadikan Minyakita sebagai solusi mahalnya bagi rakyat kecil ternyata kurang berhasil. Buktinya, Minyakita masih mahal dan untuk mendapatkannya ada syarat yang harus dipenuhi.
Kegagalan ini menunjukkan adanya kesalahan regulasi distribusi dan lemahnya kontrol pemerintah atas jalannya rantai distribusi. Terbukti harga Minyakita justru melambung di atas harga eceran tertinggi.
Kondisi ini wajar terjadi karena masyarakat sedang diatur oleh sistem kapitalisme yang berorientasi pada materi. Para korporat menjadi penguasa yang sesungguhnya dalam sebuah negara, sedangkan negara sendiri hanya berperan sebagai regulator kebijakan dan tidak memiliki kekuatan di mata para kapitalis.
Para pakar menyatakan bahwa kisruh minyak goreng diakibatkan karena penimbunan oleh para mafia minyak. Hal tersebut juga diakui oleh Muhammad Lutfi yang pada saat itu masih menjabat sebagai Meteri Perdagangan. Beliau Mengatakan bahwa negara tidak bisa mengontrol para mafia minyak goreng dan harus menyerahkan pada harga pasar (Kompas.com). Dengan demikian, permasalahan minyak goreng saat ini adalah pasokan yang langka dan tingginya harga. Semua ini disebabkan buruknya tata kelola negara yang kalah di hadapan mafia minyak goreng.
Hal tersebut tidak akan terjadi jika negara mengambil peran sebagai raa’in (pengurus). Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari,
“Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.”
Setiap Pemimpin adalah yang mengurusi kepemimpinannya, penjaga terpercaya dengan tugas dan apa saja yang di bawah pengawasannya. Mekanisme seperti ini tidak akan terwujud kecuali pada negara yang mau menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam wadah negara Islam.
Sebagai negara periayah, tentu negara Islam akan mengatur agar distribusi minyak goreng sebagai bahan pangan mudah diakses oleh rakyat. Aturan ini dapat diberlakukan dengan menerapkan syariat Islam yang mengatur mekanisme pasar dan nonpasar.
Dari aspek nonpasar, negara wajib memastikan ketersediaan bahan untuk produksi minyak goreng. Dalam hal ini, negara akan memberi perhatian kepada petani sawit melalui biro pertanian dari Kemaslahatan Umat dan Biro Subsidi dari Baitul Maal. Perhatian ini bisa berupa intensifikasi dan penggunaan sarana produksi yang lebih canggih. Selain itu, bisa dilakukan ekstensifikasi pertanian untuk meningkatkan luasan lahan pertanian yang diolah sehingga potensi hasilnya akan semakin besar.
Adapun dari aspek pasar, negara wajib mengawasi berjalannya pasar agar sesuai syariat Islam. Dalam distribusi, negara wajib menghilangkan semua hal yang mengacaukan pasar, seperti tindakan penimbunan, intervensi harga oleh para kartel, monopoli, dan sebagainya.
Semua perbuatan tersebut menyebabkan kelangkaan barang dan gejolak harga. Dalam sitausi seperti itu, negara akan memberi sanksi ta’zir kepada siapa pun yang mengancam berjalannya mekanisme pasar dan memerintahkan mereka untuk mengeluarkan barang-barang yang ditimbun.
Negara juga akan memastikan supplay dan demand pasar terpenuhi. Pada kasus tidak tercukupi permintaan, negara boleh memasok barang tersebut sebagai bentuk intervensi pasokan agar kondisi pasar kembali seimbang.
Hal ini pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ketika wilayah Madinah kekurangan bahan makanan akibat paceklik. Beliau memasok bahan pangan dari Basrah dan sekitarnya.
Khalifah Umar menulis surat kepada Abu Musa yang isinya
"Bantulah umat Muhammad saw. Mereka hampir binasa.’’
Setelah itu Beliau juga mengirimkan surat yang sama kepada Amru bin Ash di Mesir. Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, tertdiri dari bahan makanan dan bahan pokok berupa gandum.
Negara juga tidak akan mematok harga sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah kapitalisme saat ini. Islam memerintahkan agar harga barang diserahkan kepada mekanisme pasar. Dengan konsep ini, harga barang akan terjangkau oleh semua rakyat.
Memang mematok harga hanya akan merusak kestabilan harga barang di pasar.
‘’Siapa saja yang melalukan intervensi pada suatu harga-harga kaum muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukannya dengan tempat duduk dari api pada hari kiamat kelak.” (HR. Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi).
Seperti inilah negara Islam menjamin ketersediaan bahan pangan untuk warga negaranya. Bukanlah hal yang sulit menyediakan minyak goreng sesuai kebutuhan warga negara. Demua itu mudah asalkan masyarakat diatur dengan sistem Islam, bukan distem kapitalisme.
Wallahu alam.
Oleh: Sulistiana, S.Farm.
Sahabat Tinta Media