Tinta Media - Belum lama ini beredar pemberitaan yang lagi-lagi mempermalukan wajah dunia pendidikan. Sebanyak 23 perguruan tinggi bermasalah ditutup izin operasionalnya oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) (kompas.com, 27/5/2023).
Berdasarkan pengaduan oleh masyarakat serta pemeriksaaan tim evaluasi kinerja, kampus-kampus tersebut dilaporkan telah melakukan praktik terlarang berupa pembelajaran fiktif, jual beli ijazah, maupun penyimpangan beasiswa KIP Kuliah (tangerang.tribunnews.com, 27/05/2023).
Lukman, Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek), tidak menyebutkan nama-nama perguruan tinggi yang mendapatkan sanksi dengan alasan menjaga perasaan mahasiswa, alumni, maupun masyarakat.
Plt. Dirjen Diktiristek, Prof. Nizam menyampaikan bahwa hingga 25 Mei 2023, ada 52 aduan masyarakat terkait kampus bermasalah. Dia juga menyampaikan bahwa selain 23 kampus yang telah dicabut izin operasionalnya, ada 29 kampus yang masih dalam peninjauan (kalderanews.com, 6/6/2023).
Selanjutnya, jika kesalahan kampus masih bisa diperbaiki, maka kampus-kampus itu akan mendapatkan pembinaan dari Kemendikbud Ristek, tetapi jika tidak bisa, maka dengan terpaksa harus ditutup (suaraburuh.com, 31/05/2023).
Menurut salah satu guru besar UPI, Prof. Iwan Syahman, pencabutan izin operasional perguruan tinggi biasanya berdasarkan beberapa alasan spesifik diantaranya adalah: 1) tidak memenuhi syarat akademik, 2) tidak memiliki fasilitas memadai; 3) tidak melaksanakan kegiatan akademik dengan baik; dan 4) tidak memiliki kurikulum yang sesuai (opinikampus.com, 29/03/2023).
Fakta miris dunia pendidikan ini sebenarnya merupakan fenomena gunung es yang mengerikan. Bagaimana tidak, pemberitaan serupa telah banyak terkuak pada tahun-tahun sebelumnya.
Kasus jual beli ijazah oleh Direktur PDAM Bone dan kelompoknya terkuak belum lama ini (detik.com, 17/02/2023), kasus serupa terjadi jauh sebelumnya dan terindikasi melibatkan staf khusus Kemenristekdikti (pontas.id, 5/12/2018), 18 lembaga pendidikan diperiksa oleh Kementrian Ristek dan Dikti juga untuk kasus yang serupa (rumahpengetahuan.web.id, 25/5/2015).
Ini hanya contoh kecil. Jika ingin dicari lagi, berita-berita serupa sangat mudah ditemukan di berbagai media. Belum lagi berbicara problematika lain tentang pembelajaran fiktif, penyimpangan berbagai dana pendidikan, pelanggaran etika di kalangan akademis, dan sebagainya.
Dunia pendidikan yang seharusnya menampakkan kebaikan, hari ini tidak lagi terlihat berwibawa. Fakta-fakta yang tampak di masyarakat justru sangat memalukan. Hal ini tentu saja akan menumbulkan multiplier detrimental effect. Yang jelas, krisis kepercayaan akan muncul terhadap dunia pendidikan. Masyarakat tidak lagi menemukan nilai luhur yang mereka harapkan di dunia pendidikan.
Selama ini, dunia pendidikan dianggap sebagai sumber pencetak generasi yang cakap dalam keilmuan dan bermoral. Namun, dengan adanya berbagai temuan yang mencoreng muka dunia pendidikan ini menjadikan pendidikan sama saja dengan tempat-tempat lain yang penuh dengan keburukan dan kejahatan. Lantas, ke mana lagi masyarakat akan mempercayakan anak-anak mereka?
Problem ini tentu saja harus dipikirkan matang-matang, ditemukan akar masalahnya, dan segera diselesaikan jika tidak ingin generasi masa depan hancur. Masyarakat sebenarnya telah merasakan banyak ketidakberesan dalam pelaksanaan pendidikan.
Hari ini, masyarakat dengan jelas dapat melihat betapa mahal harga pendidikan tinggi. Namun, banyaknya lulusan pendidikan tinggi ini ternyata tidak menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat, tetapi justru menambah masalah yang sudah ada. Ditambah lagi, upaya kapitalisasi pendidikan membuat kompetisi antar kampus menjadi sangat tinggi.
Kampus negeri maupun swasta berlomba menyerap mahasiswa untuk memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah, maupun untuk mensupport finansial kampus. Kampus-kampus ini juga menawarkan berbagai macam program untuk menjaring mahasiswa, mulai program reguler, ekstensi, perkuliahan akhir pekan, dan seterusnya.
Sebagaimana pandangan kapitalis yang menjadikan pendidikan adalah komoditas bisnis, maka berbagai kampus melakukan banyak hal untuk “menjual” apa pun yang bisa mereka jual.
Celah yang muncul antara kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan keharusan mereka untuk terus bekerja demi untuk pemenuhan biaya pendidikannya menjadikan orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan hanya memikirkan keuntungan materi memandangnya sebegai “peluang usaha”.
Maka, muncullah penawaran ijazah tanpa harus kuliah. Mereka yang memiliki jabatan di kementerian tidak mau ketinggalan mengambil untung dengan menyalahgunakan kekuasaan untuk menjadi perantara pengurusan ijazah palsu ini.
Inilah buah dari sistem yang menstandarkan semua pada materi dan memisahkan agama dari kehidupan. Dengan alasan kesulitan hidup, manusia tidak lagi mengindahkan nilai diri mereka di hadapan Allah. Mereka membabi buta menyelesaikan masalah mereka dengan melanggar hukum-hukum Allah, melakukan penipuan.
Dengan landasan materi pula, kita melihat pendidikan hari ini telah jauh berbelok dari tujuan awalnya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan melahirkan generasi yang bertakwa menjadi semata-mata mencetak robot-robot pekerja untuk pabrik-pabrik para pengusaha.
Buruknya penyelenggaraan pendidikan ini tentu menjadi bukti pula gagalnya pemerintah dalam mengatur rakyatnya. Bagaimanapun, pendidikan adalah kebutuhan mendasar manusia. Maka, pemenuhan akan kebutuhan ini menjadi tanggung jawab negara atas seluruh masyarakat. Munculnya permasalahan-permasalahan hari ini di dunia pendidikan tentu saja tidak serta-merta. Ada kondisi yang membuatnya mungkin dan bahkan mendukung untuk terjadi.
Permasalahan tidak terstandarisasinya kampus-kampus ini bukan hanya masalah manajeman pengelolaan, apalagi masalah individu-individunya. Ini adalah permasalahan sistemik. Maka, berusaha memperbaikinya secara parsial juga akan sia-sia, bahkan membuang tenaga tanpa ada hasilnya. Permasalahannya akan tetap sama dan berulang-ulang.
Kekuatan sebuah sistem mampu memaksa manusia-manusia yang hidup di bawah hegemoninya menjadi seperti landasan sistem itu. Maka, sangat penting untuk menyadari keburukan sistem kapitalis yang menaungi kehidupan masyarakat hari ini, termasuk sistem pendidikan.
Sistem rusak ini harusnya segera diganti dengan sistem yang benar yang berasal dari Allah, Zat yang menciptakan manusia, yaitu sistem Islam. Sistem Islam tidak hanya akan mengatur dunia pendidikan, tetapi mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, dan seterusnya.
Dengan pengaturan sistem pemerintahan yang benar, berbagai kebijakan yang lahir untuk dunia pendidikan pun juga akan baik dan practical. Dengan pengaturan sistem ekonomi yang benar, support berbagai sumber daya untuk ketersediaan fasilitas dunia pendidikan juga akan menjadi riil, bukan lagi hanya mimpi yang tidak bisa digapai dan dirasakan oleh semua kalangan.
Begitu pun dengan pengaturan sistem sosial yang sahih, menjadikan pilar kontrol terhadap dunia pendidikan ini akan hidup. Masyarakat akan dengan mudah melakukan fungsi pengawasan terhadap berjalannya pelaksanaan pendidikan.
Pelaksanaan sistem Islam yang didasarkan pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. manjadikan manusia-manusia yang lahir dari dunia pendidikan merasa takut untuk berbuat maksiat karena mereka sadar secara penuh bahwa Allah Maha Mengawasi. Maka, mereka juga tidak akan berbuat zalim kepada sesamanya maupun lingkungan, sehingga akan meminimalisir perbuatan-perbuatan penipuan yang tumbuh subur bak jamur di musim hujan dalam sistem pendidikan kapitalis hari ini. Wallahu a’lam bish-shawab.
Oleh: Fatmawati
Sahabat Tinta Media