Tinta Media - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutus gugatan sistem pemilu proporsional terbuka dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Dalam putusannya, MK menolak permohonan uji materi terkait sistem Pemilu tersebut, dan menyatakan Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. (15/6/2023).
Namun, setelah pembacaan putusan tersebut MK dikabarkan bakal melaporkan Advokat Denny Indrayana ke organisasi advokat yang menaunginya. Hal itu disampaikan salah satu Hakim MK Saldi Isra.
"Kami di rapat permusyawaratan hakim sudah mengambil sikap bersama bahwa kami Mahkamah Konstitusi agar ini bisa menjadi pembelajaran untuk kita semua, akan melaporkan Denny Indrayana ke organisasi advokat yang Denny Indrayana berada," kata Saldi Isra (15/6/2023).
Putusan MK soal pemilu dengan sistem proporsional terbuka ini, tidak lepas dari manuver Deny Indrayana yang beberapa saat lalu mengaku mendapatkan informasi bahwa hakim MK akan memutus sistem pemilu dengan sistem proporsional tertutup, hingga informasi formasi 6 hakim menyetujui dan 3 hakim mengajukan disenting opinion. Andai saja tidak ada ribut-ribut soal isi putusan MK, boleh jadi putusan MK saat ini bukanlah dengan sistem proporsional terbuka.
Hari ini, Deny Indrayana menyatakan bersyukur informasi yang diterimanya keliru. Padahal, sejatinya Deny Indrayana sedang mensyukuri manufernya berhasil menggiring opini publik, bahkan membuat Hakim MK tak berdaya, hingga akhirnya harus memutus perkara dengan sistem proporsional terbuka dengan menolak permohonan pemohon dalam putusannya.
Namun sayangnya, hakim MK bersikap kolokan dan kampungan, akan melaporkan Deny Indrayana ke organisasi advokat tempatnya bernaung. Hakim yang mulia, yang semestinya berbicara dengan keagungan putusannya, tidak ngember, hari ini telah menjatuhkan marwah dan wibawanya dengan mengadakan konferensi pers yang isinya akan melaporkan Deny Indrayana.
Kalaulah benar akan ada tindakan melaporkan Deny Indrayana, hal itu tak perlu dilakukan oleh hakim MK. Apalagi, menurut Saldi Isra rencana pelaporan ini telah melalui rapat permusyawaratan hakim MK. Seperti mau membuat putusan saja.
Padahal, seorang hakim harus menjaga harkat dan kehormatan, serta menjunjung tinggi wibawanya sebagai manusia yang dipanggil 'yang mulia', yang memiliki predikat sebagai wakil Tuhan. Hakim dibatasi dalam berinteraksi, dan berbicara kepada publik hanya dengan putusannya.
Berbeda dengan advokat, yang memiliki predikat sebagai Officium Nobile, memang harus banyak bicara ditengah masyarakat. Advokat atau pengacara bekerja dengan berbicara dan menulis. Justru dipertanyakan jika ada orang yang berprofesi advokat tidak berbicara dan tidak menulis.
Risalah pembelaan disajikan dalam tulisan lalu dibacakan. Pendalaman fakta persidangan adalah dengan berbicara di persidangan. Pendek kata, seorang advokat memang dituntut untuk banyak berbicara dan menulis, untuk melaksanakan profesinya.
Sementara hakim justru harus ja'im, jaga wibawa, tidak ember, irit statemen dihadapan publik. Bahkan, saluran suaranya kepada publik adalah melalui produk putusannya.
Lalu, apa urusannya Saldi Isra bicara dihadapan publik untuk memperkarakan Deny Indrayana? Apa tidak ada lagi juru bicara MK? Apa tidak ada organ MK yang bisa melaporkan Deny Indrayana? Mengapa pula harus hakim MK yang melaporkan? Mengapa pula harus mengadakan rapat permusyawaratan, memangnya mau membuat putusan?
Lagipula, hakim MK semestinya menghormati profesi advokat. Tidak sependapat boleh, tapi tidak elok seorang hakim berkonflik di depan publik dan melaporkan penegak hukum lainnya (advokat) ke organisasi yang menaungi.
Ah, makin ga jelas saja Republik ini. MK yang diharapkan menjadi hakimnya hakim, mahkamahnya mahkamah, ternyata bersikap kolokan, kampungan. Kalau ingin eksis di publik, merespons persoalan lewat media, tanggalkan saja jubah hakim, jadi rakyat sipil biasa atau kalau mau bebas berbicara jadilah advokat seperti Denny Indrayana. [].
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat