Tinta Media - Bullying makin marak terjadi di lingkungan sekolah, mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah menenengah atas (SMA). Beberapa waktu lalu, siswa kelas 2 SD di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, tewas akibat dikeroyok oleh kakak kelasnya. Hal ini sungguh ironi.
Kasus perundungan di Indonesia semakin meningkat. Menurut data yang dihimpun oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia(KPAI), sepanjang tahun 2022 terdaat kenaikan kasus perundungan sebanyak 4 kali lipat, yakni sekitar 226 kasus.
Hal ini diprediksi terus meningkat dengan adanya penelitian yang dilakukkan oleh Mendikbudristek yang melibatkan 260 ribu sekolah dari jenjang SD-SMA/SMK. Terdapat sekitar 6.5 juta siswa dan 3,1 juta guru yang terlibat dalam survey itu menghasilkan bahwa terdapat 24,4% potensi perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah.
Negara pun tidak tinggal diam. Beberapa kebijakan pun dibuat agar mampu memberantas perilaku bullying di sekolah. Salah satunya adalah dengan penguatan karakter pelajar pancasila di dalam kurikuum pendidikan saat ini. Namun, nampaknya hal itu belum berhasil memberantas kasus bullying hingga ke akar-akarnya. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya potensi kasus bullying disekolah.
Maka dari itu, permassalahan yang terjadi bukanlah permasalahan pengokohan karakter semata, tetapi ini adalah permasalahan sistem kapitalis-sekuler yang diterapkana dalam kehidupan saat ini.
Kasus perundungan hanya merupakan serpihan rempeyek dari dampak sistem sekulerisme. Saat ini generasi dijauhkan dari hakikat penciptaannya sebagai manusia, sebagai hamba allah ta’ala yang taat dan terikat dengan syariat.
Ada beberpa penyebab maraknya kasus perundungan, di antaranya.
Pertama, kurikulum yang diterapkan dunia pendidikan saat ini tidak menjadikan akhlak dan akidah sebagai pondasi dasar. Kurikulum saat ini hanya berorientasi pada hasil, seperti bagaimana siswa dapat terserap di lapangan kerja dan bagaimana pelajar dapat masuk perguruan tinggi top, baik dalam negeri maupun dunia.
Maka dari itu, sistem pendidikan saat ini luput dari yang namanya pembentukan akidah, justru kurikulum pendidikan sistem saat ini sejengka demi sejengkal memisahkan agama dari pengajaran di sekolah.
Kedua pola asuh. Pendidikan dalam keluarga diwarnai dengan paham sekuler. Adanya kebebasan berekspresi dan berperilaku membuat anak-anak mudah mengakses konten-konten berbau pornografi dan kekerasan. Hal ini menjadi permasalahan yang dilematis bagi orang tua, karena tidak mampu mengawasi anaknya selama 24 jam.
Selain itu orang tua yang tidak memiliki ilmu terkait pengasuhan juga menjadi tantangan besar untuk mengasuh anaknya. Banyak orang tua karena tidak memiliki ilmu terkait pengasuhan, mereka cinderung agresif dalam mengasuh anaknya. Tak jarang, hal inilah yang ditiru anak di kehidupan sosialnya.
Karena itu, tak jaranng anak menjadi pelaku bullying justru karena terinspirasi dari tindakan orang tua. Tanpa disadari, anak tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang mudah tersulut emosi.
Ketiga kehidupan yang individualistis. Kehidupan individulistis yang bercokol di sistem sosial saat ini juga dapat mengikis kepedulian antarsesama. Inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya bibit-bibit pelaku perundungan. Ini karena matinya rasa empati pada generasi, tidak adanya rasa kasihan ketika melakukkan perundungan.
Selain itu, generasi saat ini juga tumbuh menjadi manusia “sumbu pendek” yang mudah sekali tersulut emosi. Tidak hanya itu, tekadang kekerasan verbal seperti mencela dan menghina, serta mengeluarkan kata-kata umpatan sudah menjadi hal yang biasa.
Inilah efek dari bercokolnya sisem sekuler-kapitalis yang mengakibatkan tatanan kehidupan semakin rusak.
Dari tiga poin di atas, jelaslah bahwa solusi dari pembullyan tersebut harus melibatkan tiga pihak, yaitu orang tua, masyarakat, dan pemangku kebijakan.
Perundungan adalah sebuah penyakit sosial yang harus dituntaskan sampai ke akarnya secara sistemik dengan mengganti sistem kehidupan kita yang sekuler-kapitalis ini menjadi ke sistem yang sahih, yaitu sistem Islam.
Sistem Islam menjadikan akidah Islam menjadi dasar dalam sistem pendidika dan kehidupan sosialnya, sehingga setiap orang akan menjadikan akidah Islam sebagai penuntun kehidupan mereka.
Jadi, tak heran jika sistem Islam mampu dan pernah melahirkan generasi yang cerdas secara pemikiran dan juga mulia secara kepribadian. Jika dirinci, ada 4 faktor yang menjadi kunci kesuksesan tersebut:
Pertama, keimanan sebagai landasan setiap perbuatan, sehingga mampu menjadi benteng dari perilaku yang jahat dan sadis.
Kedua, sistem pendidikan yang berlandaskan akidah Islam akan mampu mencetak generasi yang berkepribadian dan berakhlak mulia secara komunal.
Ketiga, dengan landasan akidah Islam dalam membangun keluarga, akan terbentuk orang tua yang memiliki pola asuh dan cara mendidik yang sesuai dengan syariat Islam.
Ketiga, menerpakan sistem pergaulan sosial berdaarkan syariat Islam sehingga melahirkan masyarakat yag bertakwa secara keseluruhan.
Keempat poin tersebut tidak bisa diterapkan jika tidak ada payung yang menaungi. Payung yang dimaksud adalah negara yang menerapkan Islam secara keseluruhan atau kaffah yang disebut khilafah islamiyah.
Oleh: Razzaqurnia Dewi
Sahabat Tinta Media