Tinta Media - "Kepemimpinan itu ibarat tongkat estafet kepemimpinan itu bukan meteran pom bensin," ujar Pak Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam peluncuran rancangan rencana pembangunan jangka panjang nasional 2025-2045. (Kanal Youtube KompasTV).
Pernyataan ini saya setuju, kepemimpinan itu mestilah berkelanjutan dan tidak dari nol. Program-program yang dilanjutkan haruslah dalam rangka mensejahterakan rakyat. Tapi, dengan standar pelaksanaannya berdasarkan syariat Islam. Sebagaimana Firman Allah S.W.T "Sesungguhnya agama yang diridhai Allah adalah Islam".
Pada kesempatan sebelumnya bakal calon Presiden koalisi perubahan Pak Anies Baswedan menyebut tujuan pemilu bukan untuk menengok ke belakang. Pemilu menurut Anis adalah ajang untuk berhenti sejenak dan menentukan arah masa depan bangsa jadi tidak usah khawatir.
Pernyataan Pak Anis juga, saya setuju. Tapi, pergantian kepemimpinan seyogyanya arah yang dituju adalah meraih ridho Allah S.W.T. Tentu diterapkannya Islam sebagai ideologi akan terwujud.
Dalam ideologi Islam, kepemimpinan itu adalah bentuk kegiatan politik. Sudut pandang yang kita pakai adalah standarnya Islam, jadi politik Islam yang digunakan. Politik dalam Islam adalah melayani urusan rakyatnya.
Proses kepemimpinan merupakan kegiatan politik maka upaya berkesinambungan "tongkat estafet" itu, harusnya tetap pada jalurnya. Agar mencapai tujuan dan langkah yang benar maka perlu sistem yang benar dan pemimpin yang bertakwa.
Dalam kepemimpinan yang bertakwa ini dibutuhkan seorang pemimpin yang memenuhi syarat. Maka Islam telah memberikan aturan dalam memilih pemimpin. Syarat seorang pemimpin itu harus dipenuhi. Syarat tersebut, yakni: Islam, laki-laki, berakal, baligh, merdeka, mampu dan adil.
Dalam konteks syarat pemimpin, apa yang disampaikan Robert K. Greenleaf dalam bukunya yang berjudul Servant Leadership."Yang namanya kepemimpinan bukanlah jabatan yang itu diperebutkan, apalagi dalam rangka untuk menumpuk-numpuk harta untuk mendapatkan kepentingan pribadi". Bila melakukan menumpuk harta hal ini bertentangan dengan syarat adil. Lawan dari adil adalah zalim.
Surat al-maidah ayat 45 dan 47, Allah S.W.T berfirman "Barangsiapa yang berhukum tidak dengan Hukum Allah maka ia adalah orang yang fasik. Barang siapa yang berhukum tidak dengan Hukum Allah maka ia adalah orang yang zalim.
"Jadi apabila saat ini ada calon-calon pemimpin secara kasat mata baik ramah santun cerdas punya kapasitas tapi ia enggan untuk menerima hukum Allah maka ia termasuk orang-orang yang fasik dan orang-orang yang zalim,"
Rasulullah S.A.W bersabda," seorang Imam adalah pemelihara. Seorang Imam bagaikan seorang penggembala dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas pemeliharaan itu".(Hadist Riwayat Muslim ).
Kita sebagai Muslim seharusnya ketika mendapat amanah kepemimpinan menjadikan Islam sebagai pemahaman, standar kita menilai dan tolok ukur atas kebijakan yang dibuat.
Allah berfirman dalam Surah Al-‘Araaf: ayat 96 yang artinya:“Dan sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan".
Apa yang terjadi saat ini tidak terlepas dari pandangan hidup umat Islam yang masih menerapkan sistem sekuler, kapitalisme. Korupsi yang semakin gila-gilaan, lgbtq, perzinahan, kenakalan remaja dan lain sebagainya terjadi akibat tidak diterapkannya syariah Islam secara kaffah dan pemimpin yang bertakwa.
Sebagaimana yang telah dicontohkan Baginda Rasulullah S.A.W dan para Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan roda pemerintahan. Menjadikan dakwah dan jihad sebagai politik luar negerinya, memenuhi kebutuhan pokok rakyat, menegakan hukum tanpa tebang pilih dan lain-lain.
Maka kepemimpinan itu harus dikembalikan dan diterapkannya Islam sebagai ideologi dengan institusi khilafah. Dengan begitu Allah S.W.T turunkan berkah ke negeri ini.[]
Oleh: Muhammad Nur
Sahabat Tinta Media