LBH Pelita Umat: Khilafah Tak Sepatutnya Dipersoalkan - Tinta Media

Minggu, 25 Juni 2023

LBH Pelita Umat: Khilafah Tak Sepatutnya Dipersoalkan

Tinta Media - Ketua LBH Pelita Umat dan Mahasiswa Doktoral Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. menegaskan bahwa Khilafah tak sepatutnya dipersoalkan. 

“Mengkaji ajaran Islam, Khilafah sepatutnya tidak dipersoalkan,” tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (24/6/2023).

Ia memberikan pendapat hukum (legal opini) terkait narasi buruk Khilafah sebagai ajaran Islam.

Pertama, bahwa merujuk Ijtima MUI yang menyatakan Khilafah dan jihad adalah bagian dari ajaran Islam. “Termasuk pembahasan Khilafah terdapat dalam kitab-kitab fiqih, kitab-kitab tafsir, Kitab-kitab Matan dan Syarh Hadis, kitab tarikh,” jelasnya.

“Bahkan Salah seorang ulama Nusantara yang salah satu karyanya pernah menjadi pegangan wajib perguruan menengah dan perguruan tinggi Islam di Indonesia dan Malaysia, yakni H. Soelaiman Rasjid bin Lasa, juga berbicara tentang Khilafah di bukunya Al-Fiqh al-Islami (Fiqh Islam),” tambahnya.

Kedua, bahwa Khilafah bukan ideologi dan paham melainkan Sistem Pemerintahan Islam, merujuk pendapat H. Soelaiman Rasjid bin Lasa di bukunya Al-Fiqh al-Islami (Fiqh Islam), yang menyatakan "Al-Khilafah adalah suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran agama Islam, sebagaimana yang dibawa dan dijalankan oleh Nabi Muhammad saw. semasa hidup beliau, dan kemudian dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab. Usman bin Affan, dan Ali bin Abu Talib). Kepala negaranya dinamakan ‘khalifah’…Kaum Muslim (ijma’ yang mu’tabar) telah bersepakat bahwa hukum mendirikan Khilafah adalah fardu kifayah atas semua kaum Muslim (H. Soelaiman, Fiqh Islam, Penerbit Sinar Baru Algesindo, cet. ke-80, Bandung, hlm. 494-495)," paparnya.

Ketiga, bahwa sepatutnya mengkaji atau kajian terkait ajaran Islam dalam hal ini sistem Pemerintahan Islam yaitu khilafah sepatutnya tidak dipersoalkan. “Jika dipersoalkan, sepatutnya harus adil yaitu mempelajari sistem pemerintahan lain semisal dari kapitalisme, demokrasi, parlementer, presidensial juga turut dipersoalkan,” tegasnya.

Keempat, bahwa kegiatan keagamaan tidak wajib izin dan tidak wajib pemberitahuan. “Pemberitahuan. Perlu diketahui tidak semua kegiatan harus ada izin dan pemberitahuan," tegasnya.

Menurutnya, Ada 3 (tiga) jenis pembagian yaitu pertama, wajib izin seperti kegiatan keramaian, misalnya pesta kembang api, konser dll (Berdasarkan pasal 510 KUHP). 

Kedua, Wajib pemberitahuan dan tidak wajib izin, yaitu kegiatan menyampaikan pendapat dimuka umum seperti unjuk rasa, demonstrasi, pawai. (Pasal 10 ayat (1) UU No.9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum).

Ketiga, Tidak wajib pemberitahuan dan tidak wajib izin, yaitu kegiatan keagaaman dan akademik kampus. (Pasal 10 ayat (4) UU No.9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum).

Menurutnya, menjalankan agama atau beribadah atau menyakini ajaran agama adalah hak asasi. “Hak asasi itu artinya hak yang telah ada semenjak manusia lahir, atau hak yang telah ada meskipun tidak ada negara,” tegasnya.

Dalam konsep hukum, menurut Chandra membicarakan “hak” dengan padanan kata “right” artinya “kebebasan yang diberikan oleh hukum”. 

“Bandingkan dengan konsep hukum ‘izin’ dengan padanan kata ‘pembolehan’, maka apabila menggunakan literatur yang ada, dimana ‘izin’ adalah ‘pembolehan’ dimana esensi sebelumnya merupakan ‘tidak boleh’,” paparnya.

Sehingga ia menganggap membicarakan hak tidak diperlukan “izin”. Sebuah konsep hukum yang tidak tepat apabila “hak” disandingkan dengan kata-kata “izin”. 

“Dengan merujuk kepada prinsip yang berbeda antara ‘izin’ dan ‘hak’ maka mempunyai konsekwensi hukum. Izin memerlukan ‘persetujuan’ dari pejabat yang ‘berwenang’, sedangkan hak tidak diperlukan ‘persetujuan’ dari manapun,” tandasnya. []Raras
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :