Tinta Media - Lempar bola sembunyi tangan, begitulah kira-kira yang terjadi saat ini dalam penanganan jalan KM 171 yang longsor di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan akibat aktivitas pertambangan yang aktif di sekitar wilayah tersebut. Manisnya keuntungan batu bara dirasakan oleh mereka, tetapi pahitnya ditelan bulat-bulat oleh masyarakat. Memang miris, tetapi ini realita!.
Sudah delapan bulan berlalu, tetapi penanganan longsor jalan KM 171 Tanah Bumbu masih belum terlihat perbaikannya. Protes yang dilakukan rakyat seolah-olah masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Lantas, apa yang menjadi kendalanya?
Satu bulan terakhir media ternama di Kalimantan Selatan berupaya untuk melobi pihak sekretariat negara, tetapi hanya menteri PUPR Basuki yang merespon.
“Hal yang menjadi kendala utama dalam penangannya ialah belum adanya tindak lanjut atau kepastian dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara kementerian ESDM terkait pertanggungjawaban longsor yang terjadi.”
Namun hal yang patut kita soroti yaitu ketika ditanyakan seperti apa instruksi pemerintah atas tragedi KM 171? Sontak pihak kementrian PUPR tidak menjawab.
Hal ini menimbulkan tanda tanya besar bagi mereka yang peduli terhadap nasib rakyat.
Belum adanya titik terang mengenai penanganan longsor semestinya mampu membuka mata hati rakyat bahwa ada yang tidak beres dengan penerapan peraturan hari ini.
Perpu demi perpu dikeluarkan. Tujuannya mengatur hilir mudik pertambangan. Akan tetapi, nyatanya ketika persoalan di depan mata, sekelumit aksi belum juga dilakukan. Artinya, kerusakan di depan mata, tetapi nihil aksi dalam penyelesaian.
Negara sebagai institusi terbesar seharusnya tidak gagap dalam mengatur urusan masyarakat. Sebab, kewenangan terbesar ada di tangan negara. Jika negara sudah turun tangan mengatur, maka segala persoalan dengan mudah di-clearkan. Akan tetapi, ini hanya ilusi di negara yang mengadopsi sistem sekuler-kapitalis.
Pemisahan antara agama dan kehidupan sudah menjadi aktivitas masyarakat. Mereka mengadopsi hukum Islam ketika melaksanakan ibadah spiritual, perkwinan, dan hak waris. Terkungkung dalam lingkaran aturan buatan manusia menjadi momok menakutkan. Barang kali bagi sebagian orang yang awam dengan peraturan Islam, mengambil Islam sebagai solusi dalam penyelesaian masalah, termasuk masalah longsor di jalan KM 171 adalah sangat riskan.
Kasus jalan KM 171 hanya satu dari sekian banyak infrastruktur jalan yang rusak dan bahkan sudah berlangsung lama. Ini menjadi bukti lalainya negara dalam membiayai pembaharuan infrastruktur dan kurang tegasnya negara menindaklanjuti aturan pertambangan di negeri yang menerapkan sistem politik demokrasi.
Ini berbeda 360 derajat dengan penerapan sistem Islam. Dalam Islam, pemimpin ditempatkan sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan masyarkaat karena dalam Islam seorang penguasa atau pemimpin merupakan pelindung rakyat. Ia akan diminntai pertnaggungjawaban kelak di hari kiamat atas amanah kepimpinan yang diembannya. Karena itu, amanah kepemimpinan dalam Islam diberikan kepada individu yang berkompeten dan komitmen tinggi.
Khalifah Umar bin Khathab adalah seorang pemimpin dalam sistem Islam yang sangat memerhatikan keamanan dan kenyamanan infrastruktur rakyat. Beliau pernah mengatakan, "Seandainya seekor keledai terperosok karena jalanan yang rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah Swt. 'Mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya?'”
Dalam Islam, pembangunan jalan harus baik dan gratis dengan tujuan untuk melayani kemaslahatan publik. Tidak seperti sistem hari ini, pembangunan jalan untuk memuaskan nafsu para pemilik modal yang bengis.
Penerapan ekonomi Islam untuk pengaturan penggunaan sumber daya alam dalam membiayai pembangunan infrastruktur harus dijalankan. Islam mengatur negara untuk menyediakan anggaran mutlak dalam pembangunan infrastruktur termasuk jalan. Ada atau tidaknnya kekayaan negara, pengadaan infrastruktur tetap wajib dilaksanakan. Dengan penerapan syariat Islam, negara mampu menyediakan infrastruktur dengan kualitas terbaik secara gratis.
Wallahu A’lam Bishshawwab
Oleh: Rika Yuliana, S.IP
Aktivis Muslimah