Tinta Media - Sikap Presiden Jokowi ikut cawe-cawe (ikut campur) dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024 dinilai Direktur Pamong Institute Wahyudi Al Maroky bisa jadi legalitas bagi aparat di bawahnya.
"Begitu dia bersikap melakukan cawe-cawe politik, maka itu bisa menjadi legalitas bagi aparat yang ada di level bawahnya,," tegasnya dalam Diskusi Online Jokowi Cawe-cawe, Ada Apa? Ahad (4/6/2023) di kanal Youtube Media Umat.
Bung Roky panggilan akrabnya menjelaskan ketika Jokowi tidak netral, maka aparat yang di bawahnya punya persepsi bahwa ternyata boleh melakukan _cawe-cawe_ kepada pihak-pihak yang bisa didukungnya atau yang menjadi pesanan presiden.
"Jadi kalau pak Jokowi melakukan cawe-cawe.atau memberikan sinyal kepada pihak tertentu maka otomatis level di bawahnya baik Gubernur, Bupati, Walikota sampai level kebawah lagi, itu tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti," tuturnya.
Dia mengatakan, resikonya cukup besar kalau berani melakukan cawe-cawe ke arah yang lain. Hal itu bisa dianggap sub ordinasi atau tidak loyal. "Resikonya bisa banyak hal, bisa dinon-jobkan, bisa digusur, bahkan diperkarakan, dikriminalisasi dan seterusnya," ujarnya
Menurutnya, yang dilakukan Jokowi bukan sinyal tetapi sudah terang-terangan, bahkan pernyataan sudah terlalu gamblang. "Boleh dibilang pernyataannya vulgar atau dengan bahasa lainnya telanjang di muka publik. Dan ini bagi aparatur pemerintah di bawahnya tidak ada pilihan lain kecuali akhirnya harus melakukan tegak lurus untuk mengikuti instruksinya itu," cetusnya.
Direktur Pamong Institute ini memberikan ilustrasi, pernyataan Jokowi tersebut akan memberikan dampak yang besar kepada struktur di bawahnya. Diantara 570-an kabupaten/kota maupun 38 provinsi yang akan melakukan cawe-cawe juga, dalam bentuk yang soft ataupun vulgar.
"Itu hal yang kedua tetapi yang pasti mereka tidak berani melakukan perbedaan dengan cawe-cawe pak Jokowi yang posisinya sebagai kepala pemerintahan," imbuhnya
Lebih lanjut ia menyatakan kultur seperti ini dalam praktek pemerintahan sangat buruk dan berdampak besar kepada praktik-praktik selanjutnya. Selain itu l, juga bisa dimanfaatkan oleh aparat di bawahnya untuk melakukan deviasi jauh lebih parah daripada yang di atas.
"Coba dilogika, kalau di atasnya saja boleh, begitu pula di bawahnya," ujarnya.
Karena, menurutnya yang kena adalah langsung masyarakat dan biasanya benturan di tengah masyarakat itu jauh lebih keras daripada di kalangan elit politik, kalau di elit politik itu bisa saja beda sikap politik tapi bisa senyum-senyum, bisa ngopi bareng, bisa juga akhirnya deal bareng.
"Tapi kalau di masyarakat itu butuh waktu lama, karena melibatkan emosi yang sangat kental, polarisasi bahkan bisa membuat kutub yang berhadap-hadapan, nah ini harus segera di akhiri," tandasnya. [] Rahmadi Al Fatih