HTI, KHILAFAH, MASA DEPAN INDONESIA DAN DUNIA - Tinta Media

Sabtu, 24 Juni 2023

HTI, KHILAFAH, MASA DEPAN INDONESIA DAN DUNIA


Tinta Media - Penulis merasa sedih sekaligus prihatin mendengar kabar ada aktivitas pengajian yang dibubarkan dengan dalih terkait HTI. Bahkan, kericuhan sempat terjadi dalam upaya pembubaran pengajian di Desa Sumbersuko, Purwosari, Pasuruan, Jawa Timur. (Selasa, 21/6).

Kalau yang dibubarkan itu aktivitas perjudian, tawuran, pelacuran, mabuk-mabukan, LGBT, balapan liar, atau sejumlah aktivitas kejahatan lainnya, tentu kita semua bisa maklum. Kejahatan memang tak boleh didiamkan, aktivitas kejahatan memang harus dibubarkan karena melanggar hukum.

Tanpa perlu di embel-embeli terkait dengan HTI, terkait tokoh HTI, semua kejahatan layak dibubarkan. Perjudian, tawuran, pelacuran, mabuk-mabukan, LGBT, balapan liar, atau kejahatan lainnya silahkan saja dibubarkan. Meskipun demikian, aktivitas pembubaran itu harus dilakukan atau setidaknya dibawah pengawasan aparat penegak hukum yang berwenang.

Hanya saja, begitu yang dibubarkan pengajian, kita semua tentu berfikir ada apa dengan bangsa ini? Apakah bangsa sebesar Indonesia ini sedang sakit? Sejak kapan pengajian dianggap kejahatan sehingga harus dibubarkan? Kenapa pula aparat penegak hukum tidak mencegah bahkan melakukan pembiaran terhadap tindakan main hakim sendiri ini?

Kalau pembubaran itu di nisbatkan pada HTI, apa salahnya HTI melakukan pengajian? Bukankah itu bukti bahwa HTI memang hanya berdakwah maka setelah BHP HTI dicabut mereka tetap berdakwah, tetap menjalankan pengajian?

Lain soal, kalau ternyata ada sejumlah aktivitas HTI terlibat dalam kejahatan Perjudian, tawuran, pelacuran, mabuk-mabukan, LGBT, balapan liar, atau kejahatan lainnya, lalu dibubarkan. Kita semua tentu setuju, perjudian, tawuran, pelacuran, mabuk-mabukan, LGBT, balapan liar, atau kejahatan lainnya dibubarkan meskipun tidak terkait dengan HTI.

Lalu muncul framing jahat, bahwa pengajian itu ada kaitannya dengan HTI yang dinyatakan terlarang. Sehingga, setiap aktivitas apapun bentuknya, meskipun bentuknya pengajian tetap harus dibubarkan karena terkait dengan HTI yang telah dinyatakan terlarang.

Mengenai hal ini, penulis ingin menyampaikan ulang fakta hukum kedudukan HTI yang tidak pernah dinyatakan sebagai organisasi terlarang. HTI hanya dicabut badan hukumnya.

Sekali lagi, perlu penulis tegaskan bahwa HTI hanya dicabut Badan Hukum Perkumpulannya. HTI hanya mendapat tindakan dari badan atau pejabat TUN (Tata Usaha Negara), berupa keputusan TUN (Beshicking) tentang pencabutan status BHP.

HTI berbeda dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). HTI mendakwahkan ajaran Islam Khilafah, tidak seperti PKI yang menyebarkan paham Komunisme yang diajarkan Karl Marx.

PKI jelas-jelas dinyatakan terlarang berdasarkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Dalam diktum keputusannya termaktub secara tegas pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang.

Adapun kronologis dan status hukum HTI sebagai berikut:

*Pertama,* pada tanggal 2 Juli 2014, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah terdaftar secara resmi menjadi Ormas Islam yang berbadan hukum perkumpulan dengan nomor registrasi AHU-00282.60.10.2014. Pendaftaran ini dilakukan setahun sejak terbitnya UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

*Kedua,* pada tanggal 10 Juli 2017, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan terhadap UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

*Ketiga,* pada hari Rabu tanggal 19 Agustus 2017, pemerintah melalui Kemenkum HAM menerbitkan SK Nomor AHU-30.A.01.08 Tahun 2017 tentang pencabutan SK Nomor AHU-00282.60.10.2014, tentang pengesahan status badan hukum HTI.

*Keempat,* pada tanggal 13 Oktober 2017, HTI menggugat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktur Jendral Administrasi Hukum Umum ke PTUN Jakarta, dengan registerasi gugatan bernomor 211/G/2017/PTUN.JKT.

Adapun Petitum (tututan) gugatan HTI sebagai berikut:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-30.A.01.08.Tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-00282.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, tanggal 19 Juli 2017, batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum Mengikat dengan segala akibat hukumnya;

3. Memerintahkan Tergugat Mencabut Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-30.A.01.08.Tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-00282.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, tanggal 19 Juli 2017;

4. Menghukum Tergugat membayar biaya yang timbul dalam perkara a quo.

*Kelima,* pada hari Senin, tanggal 7 Mei 2018, Majelis Hakim dengan susunan majelis :

1. Tri Cahya Indra Permana, S.H., M.H. sebagai Ketua Majelis;

2. Nelvy Chiristin, S.H., M.H. sebagai Hakim Anggota I;

3. Roni Erry Saputro, S.H., M.H.  sebagai Hakim Anggota II;

4. Kiswono, SH., MH selaku Panitera Pengganti;

Memutuskan perkara gugatan HTI Nomor bernomor 211/G/2017/PTUN.JKT, dengan amar putusan:

M E N G A D I L I

DALAM PENUNDAAN

Menolak permohonan penundaan surat keputusan yang diajukan oleh Penggugat;

DALAM EKSEPSI

Menyatakan eksepsi Tergugat tidak diterima untuk seluruhnya;

DALAM POKOK PERKARA

1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 455.000,- (empat ratus lima puluh lima ribu rupiah).

*Keenam,* pada tanggal 16 Mei 2018 HTI mengajukan Banding terhadap putusan nomor 211/G/2017/PTUN.JKT, ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta (PTTUN Jakarta) dengan nomor perkara : 196/B/2018/PT.TUN.JKT.

*Ketujuh,* pada tanggal 13 September 2018, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta, mengeluarkan putusan nomor : 196/B/2018/PT.TUN.JKT, dengan susunan Majelis Hakim:

DR Kadar Slamet, SH MHum, sebagai Ketua Majelis.

Djoko Dwi Hartono, SH, MH, sebagai Hakim Anggota.

DR Slamet Supartono, SH M
Hum, sebagai Hakim Anggota.

Jarwo Liyanto, SH MH, sebagai Panitera Pengganti.

Adapun amar putusannya:

MENGADILI

1. Menerima permohonan banding dari penggugat/pembanding;

2. Menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta putusan nomor 211/G/2017/PTUN.JKT, yang dimohonkan banding,

3. Menghukum Penggugat/Pembanding untuk membayar biaya perkara pada ke dua tingkat pengadilan yang untuk tingkat pengadilan banding ditetapkan sejumlah Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

*Kedelapan,* pada tanggal 19 Oktober 2018, HTI mengajukan Kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta nomor : 196/B/2018/PT.TUN.JKT.

*Kesembilan,* pada tanggal 14 Februari 2019, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Nomor: K/KTUN/2019, dengan susunan majelis hakim:

DR H. Supandi, SH MHum, sebagai Ketua Majelis.

Is Sudaryono, SH MH, sebagai Hakim Anggota.

Dr H M Hary Djatmiko, SH MS, sebagai Hakim Anggota.

Michael Renaldy, SH, sebagai Panitera Pengganti.

Adapun amat putusannya:

MENGADILI:

1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PERKUMPULAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA (HTI).

2. Menghukum Pemohon Kasasi membayar biaya perkara pada tingkat Kasasi sejumlah Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Dari 9 (sembilan) kronologi terkait HTI diatas, dari sejak pendaftaran BHP, pencabutan, gugatan PTUN, banding hingga putusan Kasasi, dimana letak terlarangnya? seluruh putusan pengadilan dari tingkat pertama hingga kasasi hanya menolak gugatan HTI, yang maknanya HTI resmi dicabut Badan Hukumnya.

Dalam SK Menkum HAM Nomor AHU-30.A.01.08 Tahun 2017 isinya hanya memuat tentang pencabutan SK Nomor AHU-00282.60.10.2014, tentang pengesahan status badan hukum HTI. Tak ada satupun diktum SK yang menyatakan HTI terlarang.

Karena itu, aktivitas pembubaran pengajian berdalih terkait HTI yang diframing sebagai organisasi terlarang jelas-jelas merupakan tindakan yang ilegal dan inkonstitusional. Sebuah tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum dan konstitusi.

Lalu, bagaimana dengan Khilafah? Apakah Khilafah terlarang? Khilafah memecahbelah? Khilafah merusak kesepakatan para pendiri bangsa? Khilafah ajaran sesat?

Mengenai hal ini, penulis kira tidak mengapa jika sekali lagi dan boleh juga ditegaskan secara berulang, bahwa Khilafah adalah ajaran Islam. Kerusakan negeri ini bukan disebabkan oleh Khilafah.

Korupsi yang menggila di negeri ini, bukan disebabkan oleh Khilafah, melainkan sistem demokrasi yang sekuler, politisi dan partai yang korup dan cawe-cawe oligarki dalam kekuasaan. Utang yang menggunung di negeri ini, bukan disebabkan oleh Khilafah, melainkan sistem demokrasi yang sekuler, politisi dan partai yang korup dan cawe-cawe oligarki dalam kekuasaan.

Perampokan kekayaan alam, dekadensi moral, ancaman disintegrasi Papua, lepasnya Timor Leste, kemiskinan, pengangguran, mafia tanah, dan seabreg masalah yang terjadi di negeri ini bukan karena negeri ini menerapkan Khilafah. Semua itu terjadi justru saat negeri ini menerapkan sistem demokrasi sekuler yang merusak, sebuah sistem pemerintahan warisan penjajah.

Yang berkhianat pada para pendiri bangsa adalah mereka para politisi khianat, partai korup, pemimpin penipu, oligarki yang mengangkangi kekayaan negeri ini. Merekalah yang harusnya dipermasalahkan, bukan para pejuang Khilafah.

Nah, penulis kira justru umat Islam di negeri ini harus Husnudz Dzan pada Khilafah yang merupakan ajaran Islam. Tidak mungkin, Allah SWT menurunkan ajaran Islam yang merusak.

Justru ditengah kebuntuan politik saat ini, diantara ketidakpastian masa depan Indonesia melalui Pemilu dan Pilpres, boleh jadi Khilafah justru akan menjadi solusinya. Bukan hanya solusi bagi Indonesia, bahkan akan menjadi solusi bagi dunia. [].

NB. Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak dan bukan mewakili organisasi.

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Anggota HTI



Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :