Tinta Media - Lagi dan lagi, berbagai kebijakan untuk menangani kemiskinan telah dicanangkan. Berbagai undang-undang juga sudah disahkan, tetapi nyatanya kemiskinan masih belum terselesaikan. Jangankan mampu menguraikan benang kusut permasalahan, yang terjadi justru menambah ruwetnya penanganan kemiskinan. Seperti baru-baru ini terjadi.
Dilansir dari ayopalembang.com (17/06/2023) Menteri Sosial (Mensos), Tri Rismaharini menyampaikan bahwa pihaknya telah menyoroti beberapa data penerima bantuan sosial (bansos) Kementerian Sosial (Kemensos) yang dihapus dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Data penerima bansos Kemensos dari DTKS tersebut diperbarui karena terdapat beberapa data dianggap tidak valid.
Berdasarkan pemantauan Kemensos, terdapat banyak kasus bahwasanya ketua RW atau kepala desa dipaksa oleh warga yang sebenarnya tidak terdaftar sebagai penerima untuk segera mendaftarkan nama mereka. Di sisi lain, warga yang seharusnya memenuhi syarat sebagai penerima bantuan malah tidak menerima bansos sama sekali akibat adanya manipulasi data penerima tersebut.
Akhirnya, untuk menangani masalah ini, Kemensos memutuskan untuk mencoret 5,8 juta data penerima dari DTKS. Dalam konferensi pers di Jakarta pada tanggal 13 Juni 2023, Risma menyampaikan bahwa pihaknya telah menyesuaikan sistem pendataan penerima bansos Kemensos berdasarkan peraturan yang ada pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.
Proses pengajuan data penerima bansos dimulai dari kepala daerah, kemudian diteruskan kepada gubernur, dan berakhir di tangan menteri dalam bentuk pengesahan. Dengan demikian, seharusnya jika data yang terverifikasi sudah benar pada tingkat lokal, maka tidak perlu dilakukan verifikasi ulang di tingkat pusat.
Tidak hanya berhenti sampai di situ, dari data 5,8 juta tersebut Kemensos juga menemukan 10.249 di antaranya adalah keluarga penerima manfaat (KPM) penerima bansos sembako/bantuan pangan nontunai (BPNT) yang sebenarnya tidak layak menerima bansos. Data tersebut didapatkan melalui sistem di Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) setelah dilakukan pemadanan data penerima bansos oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Berdasarkan data yang didapatkan, terdapat nama penerima bansos yang ternyata menjadi pejabat tertentu di sejumlah perusahaan. Mensos Tri Rismaharini mengatakan, ketika dicek di database, penerima tersebut terdaftar sebagai orang miskin. Pekerjaannya sebagai cleaning service hingga buruh. Akan tetapi, dalam sistem AHU mereka tercatat sebagai pejabat pada suatu perusahaan.
Menanggapi hal tersebut, Koordinator Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK), Pahala Nainggolan menilai bahwa sistem pendataan penerima bansos di Kemensos masih buruk. Hal tersebut terbukti dari ditemukannya ribuan pemilik perusahaan yang justru terdaftar sebagai penerima bansos. Pahala berpendapat bahwa persoalan ini timbul lantaran masih minimnya koordinasi antarlembaga.
Tak jarang para pengusaha menggunakan nama orang lain untuk menyamarkan asetnya. Pahala juga menyampaikan bahwa pihaknya akan menawarkan program yang dibuat oleh Stranas PK untuk menangani permasalahan tersebut. Nantinya setiap perusahaan wajib mencatat nama-nama pengendalinya ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Kewajiban tersebut.
Sebenarnya sudah sering ditegaskan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham. Namun, tetap saja banyak pengusaha yang mengabaikannya. Padahal, terdapat sanksi yang menanti (Republika, 15/06/2023).
Melalui terjadinya hal ini, kita dapat mengetahui bahwa persoalan bansos ini bagaikan benang kusut yang sulit ditemukan ujungnya. Alih-alih menyelesaikan masalah yang satu, tetapi malah menambah masalah di bagian yang lain.
Sudah sewajarnya kita mempertanyakan keseriusan negara dalam mengelola bansos ini. Bukan hanya mengenai kesalahan dalam pendataan, tetapi juga pada implementasi kebijakan bansos yang juga kerap diliputi permasalahan lain, seperti sembako yang tidak layak untuk konsumsi, penukaran sembako yang hanya dilakukan di suatu toko, hingga persoalan ajang bancaan korupsi dari level bawah hingga kementerian. Saling tuding dan lempar tanggung jawab antardeparteman dan antarlevel juga sering terjadi.
Ketidakprofesionalan ini tentunya akan merembet pada nasib rakyat miskin yang kemudian juga akan membuat PR pengentasan kemiskinan semakin sulit untuk diselesaikan.
Menyelesaikan permasalahan kemiskinan tidak cukup dengan hanya melihat hilirnya saja, tetapi juga perlu menguraikan permasalahan yang ada pada hulunya. Kemiskinan dapat terjadi dan akan terus terjadi karena pada hulunya terdapat penyakit yang tidak disembuhkan.
Hulu permasalahan tersebut adalah penerapan sistem kehidupan sekuler yang memisahkan antara agama dengan kehidupan. Dalam sistem ini, pejabat yang berkecimpung hanya berambisi untuk mengumpulkan materi. Tolak ukur segala perbuatannya hanya pada asas manfaat.
Sistem politik demokrasi menjadikan jabatan sebagai ladang mendulang harta, bukan ladang mengumpulkan pahala. Fokus kerja para pejabatnya hanya mencari pundi-pundi keuntungan untuk memperkaya diri dan keluarganya. Mereka hanya bekerja setengah hati. Mudah juga bagi mereka untuk melakukan kelalaian, bahkan mereka juga tidak ragu untuk melakukan kecurangan.
Sistem demokrasi juga memosisikan rakyat miskin sebagai beban yang akan menghabiskan banyak anggaran. Menjadi wajar jika sering kita dengar bahwa banyak pihak dari kalangan pejabat yang menganggap bahwa anggaran bansos sebagai penghambat bangkitnya ekonomi bangsa.
Jika kita telusuri lebih jauh, maka kita bisa melihat banyak fakta menunjukkan bahwa bansos bukanlah kebijakan solutif yang mampu mengentaskan kemiskinan. Ini karena membicarakan kemiskinan bukan hanya bicara soal sulitnya rakyat miskin dalam memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga sulitnya mereka dalam mencari pekerjaan.
Terbaru, dengan disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja, misalnya, telah benar-benar memudahkan perusahaan raksasa untuk mem-PHK para karyawannya. Di saat yang bersamaan, kebijakan berkaitan dengan tenaga kerja asing justru diberikan karpet merah. Hal ini tentunya akan membuat lapangan kerja bagi masyarakat semakin sempit dan kian sedikit. Kalaupun ada masyarakat yang memiliki usaha, iklim usaha yang ada tidak memihak kalangan bawah yang menyebabkan mereka juga mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Keterbatasan modal dan keterampilan usaha yang minim terpaksa harus mau berhadapan dengan regulasi yang sebenarnya tidak memihak mereka, seperti pajak-pajak yang terus menyasar UMKM.
Persoalan bansos juga tidak bisa kita lepaskan dari konsep APBN sistem ekonomi kapitalisme yang selalu mengalami defisit. Banyak pakar telah menyatakan bahwa polemik bansos berawal dari anggaran yang sedikit, sedangkan di saat yang bersamaan jumlah rakyat miskin juga semakin bertambah.
Andaikan kas negara tidak mengalami defisit, negara pasti bisa memberikan bantuan kepada seluruh rakyat tanpa pilih-pilih. Inilah yang menjadi faktor krusial penyebab APBN selalu defisit.
Selain itu, penyebab utama ekonomi negara tidak bisa stabil adalah menjadikan pajak dan utang sebagai sumber utama kas negara. Padahal, terdapat sumber yang jauh lebih besar jika dikelola dengan baik, yaitu sumber daya alam (SDA) di negeri.
Namun sayang seribu sayang, liberalisasi dan privatisasi menjadikan SDA sangat mudah untuk dicaplok asing. Walhasil, negara kehilangan sumber kas yang melimpah. Rakyat pun juga semakin terhalangi untuk memanfaatkan hasil SDA yang ada.
Membiarkan kehidupan terus berada dalam cengkraman sistem kapitalis akan membuat rakyat sulit mendapatkan kesejahteraan. Karena itu, dibutuhkan solusi yang mampu menyelesaikan masalah dari hulu hingga hilir. Dan hal ini hanya dapat terwujud dengan penerapan sistem Islam.
Dalam Islam, negara memiliki dua fungsi yang sahih, yaitu sebagai raain (penanggung jawab) dan junnah (pelindung rakyat). Rasulullah saw. menegaskan dalam sabdanya,
“Imam (Khalifah) raain (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad, Bukhari).
Selain itu, Rasulullah Saw juga pernah bersabda;
"Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).
Dengan adanya penerapan sistem Islam, maka pejabat yang ada di dalamnya akan bekerja dengan motivasi untuk meraih pahala yang sebesar-besarnya. Mereka akan bekerja secara profesional karena menyadari bahwa sekecil apa pun amalan yang mereka lakukan nantinya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.
Terlebih jika membicarakan pengentasan kemiskinan, Islam akan mewajibkan para penguasa untuk mengurus umat dan menyejahterakan mereka, dalam tatanan bawah para petugas akan cermat mendata siapa saja yang nantinya berhak mendapatkan bantuan dari negara.
Pendataan langsung dilakukan hingga level individu per individu. Kemudian, pada tatanan atasnya pun juga akan sangat profesional, jangan sampai ada kesalahan data.
Penerapan sistem ekonomi Islam akan menjadikan negara sebagai pengendali dalam melakukan pendistribusian harta bagi seluruh rakyat. Kepemilikan umum tidak boleh dikelola oleh segelintir orang sebab terdapat peraturan syariah yang mengharamkan harta milik umum dikuasai individu/swasta, tetapi harus dikelola oleh dan dikembalikan pada rakyat dalam bentuk seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan yang lainnya.
Selain itu, pemerintah pun juga mempunyai kewajiban untuk menyediakan lapangan pekerjaan agar setiap laki-laki bisa menjalankan kewajiban mencari nafkah dengan mudah.
Bansos nantinya hanya diperuntukkan bagi individu yang sudah tidak mampu atau tidak sanggup bekerja, seperti orang yang sudah lansia dan orang cacat yang tidak bisa bekerja; rakyat yang tidak memiliki wali untuk menafkahinya, ataupun memiliki wali, tetapi tidak mampu menafkahi hidupnya.
Masyaallah, sungguh luar biasa aturan Islam dalam mengatur kehidupan kita sebagai manusia. Sudah saatnya penguasa di negeri ini berkaca pada sistem Islam, sistem yang tidak hanya mengatur para penguasa, tetapi juga mampu menyejahterakan rakyatnya. Wallahu a’alam bi shawwab []
Oleh: Ananda, S.T.P.
Sahabat Tinta Media