Tinta Media - Anggaran sebesar Rp5,2 miliar digelontorkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung, Jawa Barat, untuk pembiayaan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Serentak di 22 desa dengan 17 kecamatan dengan perkiraan 518 tempat pemungutan suara.
Adapun rincian pembiayaan tersebut adalah untuk penyediaan surat dan kotak suara, penjaringan dan penyaringan, kampanye, kelengkapan peralatan lainnya, honorarium subpanitia kecamatan, dan panitia pemilihan kepala desa tingkat desa. Juga honorarium badan permusyawaratan desa (BPD), honorarium kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), dan biaya pelatihan.
Semua pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bandung. Sementara, pembiayaan alat pelindung diri atau prokes, dibiayai dari dana desa. Selain itu, biaya pengamanan pilkades serentak terdapat di Satpol PP. Adapun dana yang diajukan untuk Pilkades disesuaikan dengan jumlah daftar pemilih sementara dan pemilih tetap.
Pelaksanaan Pilkades di 22 desa ditetapkan melalui empat tahapan, di antaranya persiapan, pencalonan, pemungutan suara, dan tahap penetapan. Pemerintah Kabupaten Bandung meminta partisipasi semua pihak untuk mewujudkan pilkades yang bersih, demokratis, aman, dan sukses, juga berharap agar Pilkades bisa terwujud dengan sukses tanpa ekses atau kejadian yang melampaui batas, lebih intens dalam berkomunikasi, dan bersinergi untuk menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban demi membangun kehidupan masyarakat yang rukun.
Melihat kondisi saat ini yang belum pulih dari keterpurukan ekonomi yang disebabkan pandemi, rasanya tidak pantas pemerintahan menganggarkan dana miliaran di tengah meningkatnya angka kemiskinan rakyat. seharusnya pemerintah fokus pada pembenahan masyarakat dalam manajemen kesehatan dan pendidikan, serta upaya pemulihan ekonomi nasional.
Seharusnya pemerintah meninjau kembali anggaran yang akan dikeluarkan untuk Pilkades. Jika ditinjau lebih teliti, anggaran dalam sistem pemilihan secara langsung ini begitu boros dan cenderung menyebabkan kerentanan sosial dan sangat rawan dalam penyalahgunaan anggaran. Apalagi jika modal dikeluarkan dari pemilik partai politik, maka dipastikan akan menjadi ajang adu kuat modal dengan melibatkan para cukong dan oligarki.
Adalah sebuah keniscayaan jika kontestasi politik yang begitu mahal akan melibatkan para pemilik modal dan dukungan penuh oligarki, sehingga menjadi politik transaksional, memperjualbelikan jabatan, dan kebijakan. Maka, tidaklah heran saat kebijakan itu hanya berputar pada kepentingan korporasi dan oligarki.
Seharusnya, ini menjadi catatan bagi kita sebagai rakyat agar tidak terjebak pada permasalahan yang sama. Karena pada riilnya, proses pemilihan secara langsung tidak pernah melahirkan pemimpin yang amanah.
Sekilas kita memutar balik pemerintahan yang baru terbentuk, apakah segala kebijakannya berpihak pada rakyat. Maka, sudah bisa diprediksi, saat kursi jabatan sudah diraih, rakyat kembali menjalani hidup dengan perih. Kita bisa memastikan, pejabat yang lahir dari sistem pemilu demokrasi tak akan bersungguh-sungguh dalam melayani urusan umat, tak mungkin melahirkan pemimpin yang mau menerapkan syariat Islam secara kafah. Sebab, pemimpin seperti itu tak mungkin lahir dari pemilu demokrasi yang asasnya sekularisme.
Sungguh, takkan ada hasil nyata dengan biaya miliaran rupiah dalam memilih seorang pemimpin. Semua itu akan terbuang dengan percuma, mengalir ke saku pejabat pemburu rente dan menzalimi APBN yang makin defisit. Karena sejatinya, pemilu tidaklah menyelesaikan permasalahan yang dialami rakyat, selama pemilu itu diadakan oleh sistem demokrasi.
Dalam sistem Islam, pemilu dilakukan saat ada pemilihan anggota majelis umat. Majelis umat dalam sistem Islam adalah merupakan wakil rakyat. Konteksnya untuk memberikan masukan bagi yang muslim dan sakwa (komplain) bagi nonmuslim. Oleh karenanya, pemilihan anggota majelis umat dipilih oleh rakyat sebagai wakil rakyat dan representasi mereka.
Namun, sebelum pemilu majelis umat, terlebih dahulu diadakan pemilu majelis wilayah. Tugas majelis wilayah itu sendiri adalah membantu memberikan informasi yang dibutuhkan wali dan menyampaikan sikap rela/rida ataupun komplain terhadap kekuasaan wali. Maka, jelas bahwa tugas majelis wilayah ini adalah terkait administratif yang tidak memiliki wewenang sebagaimana kewenangan yang dimiliki majelis umat.
Maka, dari sini kita dapat memahami bahwa anggota majelis wilayah dipilih langsung oleh rakyat. Setelah terpilih, maka anggota majelis wilayah memilih calon anggota majelis umat. Adapun dalam masa jabatan, bisa ditetapkan sesuai undang-undang atau atas kewenangan Kholifah.
Dalam sistem Islam, pemilu itu sendiri merupakan cara bagaimana memilih pemimpin. Pemilihan pemimpin akan dilaksanakan bila dipandang tepat dan dibutuhkan pada keadaan tertentu. Namun, pemilu tersebut tetap wajib terikat dengan nas-nas syariat dan tidak menyelisihinya.
Oleh sebab itu, pemilihan pemimpin dalam Islam tidak memerlukan biaya besar sampai miliaran, apalagi triliunan. Pemilihan dilakukan secara sederhana, tidak perlu dana ataupun obral wacana kepada rakyat jelata. Maka dari itu, hanya sistem Islam yang mampu mewujudkan seorang pemimpin yang mempunyai kapabilitas dalam memimpin dan menjadikan amanahnya sebagai sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Wallahu'alam bisshawab.
Oleh: Tiktik Maysaroh
Sahabat Tinta Media