Tinta Media - Nama tiktoker Bima Yudho Saputro mencuat di media sosial, usai mengkritisi kondisi jalan rusak di Lampung. Meski kritikan tersebut sempat dilaporkan ke polisi oleh salah seorang advokat, tetapi polda Lampung menghentikan penyelidikan kasus Bima tersebut karena tidak ada unsur pidana. (CNNIndonesi, 06/05/2023). Hal ini merupakan suatu kewajaran dilakukan, mengingat memang banyak sekali jalan yang dilalui rakyat masih dalam kondisi rusak parah.
Pembuatan infrastruktur jalan adalah hajat hidup manusia yang harus diperhatikan oleh negara. Tidak hanya jalan lintas nasional yang menghubungkan antar provinsi saja yang diperhatikan, tetapi juga tingkat kabupaten, kecamatan, dan bahkan kampung sekalipun. Negara bertanggung jawab membangun infrastruktur jalan tersebut, di antaranya agar memperlancar gerak perekonomian suatu daerah dan juga meminimalisir penyebab kecelakaan lalu lintas akibat rusaknya jalan.
Banyak daerah yang masih buruk kondisi perekonomiannya akibat tidak terjangkau dari pusat perkotaan dan juga buruknya jalan menuju suatu daerah yang berpuluh tahun tidak mendapatkan perhatian. Bahkan, saat terjadi bencana alam seperti banjir, ada suatu daerah yang sulit memasok bantuan ke daerah tersebut sehingga penduduk tersebut terjebak kelaparan lantaran tidak ada akses jalan ke sana.
Inilah yang dikeluhkan warga Lampung, salah satunya bernama Ria 38 tahun. Ia mengatakan bahwa jalan di Lampung tengah tersebut sudah sepuluh tahun rusak dan belum diperbaiki. Begitu pun dengan pernyataan seorang supir mobil, yakni Hasan. Ia selalu mengangkut makanan pokok yang harus melewati jalan berlubang setiap hari. Jika tergenang air akibat hujan, maka mobil akan terguling jika tidak berhati-hati.
Sebenarnya keluhan masyarakat terhadap jalan rusak bukan hanya terjadi pada masyarakat Lampung saja. Setiap daerah tidak luput dari jalan yang rusak. Bahkan, sudah sangat sering terjadi kecelakaan lalu lintas sampai merenggut nyawa. Ada juga jalan berlubang sampai-sampai ditanam pohon pisang. Hal itu dilakukan lantaran sulitnya rakyat mendapatkan empati atau respon cepat dari penguasa agar segera diperbaiki.
Cara-cara seperti itu kadang bukan langkah awal, agar persoalan masyarakat segera berakhir dan mendapatkan solusi. Bahkan, sudah sering rakyat memberikan aspirasi, tetapi diabaikan berkali-kali, bahkan dibatasi dengan kawat berduri.
Dari sini, mestinya kita bertambah sadar bahwa bukan demokrasi namanya apabila terdapat penguasa yang bertanggung jawab dan amanah terhadap kepemimpinannya. Sistem demokrasi ini memang membentuk individu yang berkuasa menjadi abai terhadap rakyat dan lebih mementingkan kesenangan anak istri dan memperkaya rumahnya.
Tak jarang, pembuatan jalan ini diprioritaskan hanya untuk kepentingan para pejabat perekonomian pengusaha saja, seperti perbaiki jalan yang menghubungkan proyek tambang batu bara, emas, dan sebagainya.
Selain itu, perbaikan jalan juga ditujukan untuk memperindah kota dan memuluskan jalan para wisatawan dengan alasan untuk memajukan perekonomian. Belum lagi ambisi para investor, baik asing maupun swasta yang mengambil alih pembangunan jalan tol sampai menggusur rumah warga. Padahal, fakta menyedihkan bahwa masuk jalan tol itu tidak bermodal gratisan.
Sayang sekali, jika diperhatikan, tidak ada keuntungan bagi rakyat biasa, apalagi yang hidupnya tinggal di pedesaan. Jalan batu runcing dan berlubang-lubang itu sudah biasa dirasakan. Inilah derita saat demokrasi dipertahankan. Demokrasi membuat ramah-tamah penguasa hanya pada musim pemilu saja. Setelah itu, rakyat dibiarkan hidup apa adanya, dengan kesabaran yang membaja menerima setiap kebijakan para penguasa, sekalipun merugikannya.
Sudah saatnya masyarakat tidak lagi beralasan menerima demokrasi dengan mengandalkan jargon "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". faktanya secara kontekstual jargon ini telah berubah menjadi "dari pengusaha, oleh pengusaha, dan untuk pengusaha".
Ini terjadi karena pesta pemilihan penguasa dan pejabat dalam demokrasi ini tidak terlepas dari pengaruh sponsor, yakni para pengusaha yang mensuport dengan sejumlah harta sehingga terjadilah simbiosis mutualisme. Dengan demikian maka pesta pemilihan penguasa bukan untuk rakyat, melainkan untuk menjalin kongkalingkong penguasa dengan pengusaha.
Jika faktanya begini, maka bukan tidak mungkin saat rakyat mengalami kesulitan, misalnya dalam hal jalan yang rusak, perekonomian yang sulit, bangunan sekolah yang tidak layak, mahalnya biaya rumah sakit dan ribuan kesulitan lainnya yang membutuhkan perhatian negara, akan terjadi pengulangan pola yang sama, yakni menangis darah dulu, lalu "viral" baru diperhatikan. Karena sudah menjadi tabiatnya demokrasi bahwa "viral" seakan menjadi satu-satunya metode agar rakyat mendapatkan solusi.
Demokrasi Bukan Solusi
Penulis mengajak mulai hari ini, mari memahami demokrasi ini sampai ke akar-akarnya. Jika ditelaah, maka demokrasi ini bukan hanya sekadar teknis pemilu saja. Namun, ia adalah sebuah sistem atau konsep politik yang lahir dari konflik sosial Eropa Barat yang bukan beragama Islam.
Demokrasi juga lahir dari akidah sekuler yang memisahkan agama dengan kehidupan, serta memisahkan agama dengan politik. Sehingga, wajar setiap urusan politik yang tidak dituntun oleh cahaya agama Islam, maka akan mendatangkan kerusakan pada individu, masyarakat. Kebijakan yang dikeluarkan oleh negara selalu berujung ketidakadilan.
Penguasa dalam sistem demokrasi memandang bahwa jabatannya hanya untuk menumpuk kekayaan, bukan mendekatkan diri pada rakyatnya. Misalnya, memiliki rumah mewah, kendaraan dinas, baju mewah, gorden mewah, dan fasilitas mewah dan lainnya. Bahkan, untuk tunjangan gorden para pejabat saja sampai menelan dana yang sangat fantastis. Sedangkan untuk dana infrastruktur lebih sedikit daripada dana tunjangan dan gaji para pejabat.
Karena itu, wajar jika dikatakan bahwa dana untuk infrastruktur tidak mencukupi, sehingga mencari dana dari pihak swasta yang berujung pada komersialisasi dan privatisasi jalan publik.
Sistem Islam, Metode Sahih untuk Mendapatkan Solusi
Berbeda dengan sistem Islam, amanah menjadi penguasa bukan dari rakyat, tetapi dari Allah Swt. Aturan yang diterapkan bukan dari akal manusia, tetapi dari Allah, Sang Pencipta.
Dalam negara yang menerapkan sistem Islam, kesejahteraan rakyat sangat diperhatikan. Maka, setiap dana dari negara, akan disalurkan untuk kepentingan kemaslahatan rakyat. Jika uangnya dikorupsi, maka sama dengan pencurian.
Dalam Islam, hukum mencuri bukan dipenjara, tetapi potong tangan jika telah sampai nisabnya (lihat Al Ma'idah:38). Dengan demikian maka akan memberikan efek jera dan juga dapat menebus dosa.
Jika kelalaian yang dilakukan penguasa, maka majlis umat (wakil rakyat) akan menjalankan fungsinya, yakni mengoreksi atau mengkritik penguasa. Yang jelas, penguasa dalam sistem Islam tidak antikritik.
Lihatlah kesederhanaan Khalifah Umar bin Khattab dalam mengarahkan pejabatnya. Sebagaimana kisah seorang pejabat pada masa Khalifah Umar bernama Mujasyi' bin Mas'ud. Saat Khalifah Umar mendengar bahwa Khadirah, istri Mujasyi' memperbaharui rumahnya, maka Khalifah Umar mengirimkan surat kepada Mujasyi' yang berbunyi:
"Dari hamba Allah Amirul Mukminin kepadamu, Mujasyi' bin Mas'ud, semoga keselamatan terlimpah kepadamu. Adapun sesudahnya telah sampai berita kepadaku, bahwa Khadirah, istrimu memperbaharui rumahnya. Jika suratku ini telah sampai, maka janganlah kamu meletakkannya, sebelum kamu menurunkan gorden-gordennya."
Seketika itu juga Mujasyi' memerintahkan kepada kaumnya yang saat itu berada di dekatnya. Mereka diperintahkan bangkit dan mencabut gorden-gordennya dan melemparkannya ke tanah. Padahal, tidak ada yang salah pada istri Mujasyi'. Ia membeli dengan uang sendiri, halal dan hukumnya mubah dalam Islam. Hanya saja, pelajaran yang dapat kita ambil adalah Khalifah Umar ingin mengajarkan kesederhanaan hidup, tidak bermewah-mewah saat ada rakyatnya yang susah, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai bentuk kesulitan lainnya.
Termasuk saat ada jalan yang rusak. Di kisah lain, Khalifah Umar menangis karena mendapatkan berita bahwa seekor hewan terperosok di salah satu jalan yang rusak. Lalu dengan cepat beliau memperbaikinya karena takut akan tanggung jawabnya di hadapan Allah Swt.
Penguasa seperti ini dibentuk oleh sistem Islam, bukan demokrasi. Sementara, demokrasi sampai hari kiamat pun tidak akan membawa kebaikan pada individu, masyarakat, dan negara karena lahir dari sistem thaghut yang menepis agama dalam mengurusi politik bernegara.
Allah Swt. melarang untuk mengambil sistem thaghut sebagaimana firman Allah yang artinya,
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak bertahkim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu. Syaitan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya." (QS. An Nisa : 60)
Walhasil, dalam sistem Islam tidak perlu menunggu "viral" dulu, baru diperbaiki. Akan tetapi, penguasa dalam sistem Islam diawasi oleh dua hal. Pertama ketakwaannya kepada Allah, kedua adanya majelis umat (wakil umat) yang senantiasa mengontrol kinerja penguasa agar tidak menyimpang dari hukum Islam atau melalaikan amanahnya. Bahkan, Khalifah Umar juga pernah mengapresiasi seorang yang telah berani menjawab saat Khalifah Umar bertanya, "Jika aku salah, maka dengan apa kalian akan mengoreksiku?" maka seseorang itu berkata "Dengan pedangku." Khalifah bukan menangkapnya, tetapi malah membenarkannya. Beginilah penguasa yang seharusnya dalam Islam.
Wallahu a'lam bi ash shawwab.[]
Oleh: Ismalisa, S.Pd.I
Sahabat Tinta Media