"Tadz, aku merapat ikut aksi ke mabes ya.. ust Irwan ada udzur 🙏"
"Siap, Alhamdulillah"
[Dialog WA dengan Ketua Korlap GNPR, Ust Ferry Koestanto]
Tinta Media - Rupanya, pernyataan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang akan mengusut kasus KM 50 ketika ada novum pada 28 Agustus 2022 lalu, selalu diingat oleh umat Islam. Pernyataan tersebut diyakini menjadi pintu untuk membuka tabir tragedi pembantaian 6 laskar FPI di KM 50.
Karena itulah, pada Rabu (17/5) kemarin, ribuan umat Islam yang dikoordinir oleh Gerakan Nasional Pembela Rakyat (GNPR) mengadakan aksi di depan Mabes Polri. Ada dua tuntutan akasi ini, yakni usut tuntas tragedi KM 50 dan tangkap Fadil Imran.
Saat tiba di Masjid Al Ahzar, sholat dzuhur berjama'ah telah usai. Penulis segera mengambil air wudlu, agar bisa segera sholat dzuhur dan merapat ke lokasi aksi.
Ternyata, pasca sholat dzuhur aksi yang diawali longmarch dari Masjid Al Ahzar ke Mabes Polri belum dimulai. Kesempatan itu penulis gunakan untuk rehat, minum es kelapa. Qadarullah, penulis bertemu dengan dua peserta aksi dari Garut, dan akhirnya ngobrol sambil menikmati es kelapa muda.
Sesampainya di lokasi aksi, yakni di depan gedung Museum Polri, ternyata penulis bertemu sejumlah tokoh yang tidak asing dan selalu bertemu dalam sejumlah agenda keumatan. Ada Bang Rizal Fadillah, Bang Marwan Batubara, Bang Eggi Sudjana, Bang Edy Mulyadi, Bang Damai Hari Lubis, Ust Eka Jaya, Habib Muhammad, KH Abdul Kohar al Qudsi, Bang Aziz Yanuar, dan masih banyak lagi. Bahkan, saat hendak naik panggung penulis bertemu dengan Rekan Gunawan Parikesit yang jauh-jauh datang dari Lampung, juga Bunda Merry di barisan emak-emak terlihat hadir. Setelah audiensi di Mabes Polri, penulis juga melihat Kolonel Sugeng Waras di mobil komando, dan sejumlah tokoh-tokoh lainnya.
Qadarullah, penulis diberi kesempatan oleh panitia untuk menyampaikan orasi diatas panggung. Saat audiensi, penulis juga diberi kepercayaan sebagai perwakilan peserta aksi, bersama 10 tokoh lainnya untuk masuk ke kantor Mabes Polri, yang diterima bagian divisi humas Mabes Polri.
Ada beberapa hal yang perlu penulis sampaikan ulang melalui tulisan ini, baik sebelumnya telah penulis sampaikan dalam orasi, penyampaian audiensi, juga sejumlah pernyataan dari orator dan delegasi audiensi lainnya.
Pertama, kami berterima kasih kepada Kapolri Bapak Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang telah berjanji akan membuka peluang untuk mengusut kembali kasus KM 50 melalui novum, sebagaimana telah disampaikan kepada komisi 3 DPR RI, pada tanggal 28 Agustus 2022 lalu. Pernyataan Kapolri ini patut diapresiasi, karena dengan begitu umat Islam dapat terus mengontrol kasus ini dengan cara terus menagih janji Kapolri.
Meskipun, dengan atau tanpa janji Kapolri, umat Islam akan terus menuntut kasus ini diusut tuntas. Mengingat, umat Islam meyakini bahwa kasus KM 50 bukanlah peristiwa tembak menembak antara 6 laskar FPI melawan petugas Polda Metro Jaya. Melainkan, pembantaian terhadap 6 laskar FPI oleh aparat negara, sebagaimana telah disimpulkan oleh TP3 melalui penerbitan Buku Putih Pelanggaran HAM berat peristiwa KM 50.
Kasus KM 50 diyakini seperti kasus Duren Tiga. Pada mulanya, kasus duren tiga dikabarkan oleh Kabag Penum Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan sebagai peristiwa 'tembak menembak' antara Brigadir Joshua Hutabarat dengan Bharada Richard Eliezer Pudihang yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Josua Hutabarat. Setelah dilakukan penyidikan ulang menggunakan pendekatan Scientific Crime Investigation, barulah terungkap ternyata peristiwa Duren Tiga bukanlah peristiwa Tembak Menembak melainkan pembunuhan berencana yang didalangi oleh Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo.
Kami meyakini, kasus KM 50 bukanlah peristiwa tembak menembak antara 6 laskar FPI dengan aparat sebagaimana diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang berujung vonis Onslag (lepas). Melainkan yang terjadi sesungguhnya telah terjadi kejahatan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat negara sebagaimana disimpulkan dalam buku putih TP3.
Sehingga, kasus ini sejatinya belum pernah diadili. Karena kejahatan pelanggaran HAM berat harus diadili oleh Pengadilan HAM, bukan pengadilan biasa seperti yang terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memvonis lepas Fikri Ramadhan dan Yusmin Ohorella.
Kedua, karena ini kejahatan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat negara, kami menduga kuat banyak pejabat negara yang terlibat, baik di lingkungan Polri, BIN hingga Presiden RI Joko Widodo. Dugaan ini harus diverifikasi melalui sebuah penyelidikan yang menggunakan pendekatan Scientic Crime Investigation, seperti yang digunakan untuk mengungkap kasus Duren Tiga, yang akhirnya terungkap dalang pembunuhan berencana itu adalan Ferdy Sambo, pejabat Kadiv Propam Polri sekaligus Ketua Satgasus Merah Putih.
Memang upaya ini tidak mudah, butuh energi besar dan keberanian, hingga kasus ini bisa dituntaskan. Namun percayalah, kami tidak akan lelah untuk terus mendampingi institusi kepolisian untuk mengusut kasus ini, baik di era Pak Listyo Sigit Prabowo, maupun Kapolri pengganti lainnya.
Ketiga, sambil menunggu proses investigasi lebih lanjut, semestinya secara etik Fadil Imran yang saat itu menjadi Kapolda Metro Djaya diberi sanksi, bukan malah dipromosikan menjadi Jenderal bintang tiga dan menduduki posisi Kabaharkam Polri. Secara pidana, pernyataan Fadil Imran yang tidak konsisten saat rilis kasus KM 50 juga harus diproses sebagai satu kejahatan Obstruction Of Justice.
Paling tidak, sambil menunggu kasus KM 50 diproses secara menyeluruh melalui pendekatan Scientic Crime Investigation, proses hukum terhadap Fadil Imran akan mampu sedikit memberikan kelegaan dan mengkompensasi kesedihan dan kemarahan keluarga korban, atas kematian anggota keluarga mereka.
Penulis kira, tiga poin utama inilah yang patut diketahui publik. Sejalan dengan sikap keluarga korban, kita semua sudah ikhlas dan ridlo 6 laskar FPI syahid di jalan Allah SWT, mati dalam keadaan menjaga ulama dan membela agama Allah SWT.
Namun, kita semua jelas tidak akan pernah ridlo terhadap para pembunuh sadis yang masih berkeliaran, baik yang melakukan, yang menyuruh lakukan, yang turut serta melakukan, yang membuat skenario, yang mendanai, yang memberikan perintah eksekusi, yang memberikan wewenang untuk mengeksekusi, yang memberikan persetujuan baik secara tegas maupun diam atas semua rencana dan eksekusi jahat terhadap 6 laskar FPI. Kalaupun tidak dituntaskan di pengadilan dunia, di era rezim ini, kita pasti akan menuntutnya era rezim selanjutnya hingga pada pengadilan akherat. [].
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Sastrawan Politik
[Catatan Advokasi Aksi 17-5 Di Depan Mabes Polri]
https://heylink.me/AK_Channel/