Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menjelaskan bahwa Coldplay adalah fenomena peradaban yang muncul dari akibat dari globalisasi dan peradaban materialisme.
“Kita sekarang berada di dalam situasi yang seperti seolah-olah dilematis, dalam arti satu sisi fenomena seperti Coldplay adalah fenomena peradaban yang muncul dari satu perkembangan, satu sisi akibat globalisasi dan sisi lain adalah peradaban materialisme. Dimana salah satu cirinya adalah hedonisme," ujarnya dalam Live Fokus: Coldplay dan Fenomena Hedonisme, Ahad (21/5/2023) di kanal YouTube UIY Official.
Dia mengatakan, dengan globalisasi membuat suatu jadi fenomena tunggal seperti makanan, pakaian maupun hiburan. Apa yang dimakan oleh orang di suatu negara sekarang ini sama juga yang dimakan orang dinegara lain. Kemudian fashion begitu juga merk-merk global dari jenis pakaian juga semakin tampak, serta hiburan, ada musik dan hiburan lainnya.
"Jadi ini adalah sebuah fenomena globalisasi yang tak terhindarkan seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang melanda dunia," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa umat saat ini berada dalam posisi dilematis, di satu sisi arus globalisasi memang tidak bisa dibendung, tapi disisi lain tentu juga umat waspada terhadap globalisasi. Bukan hanya membawa kesamaan di dalam makanan, pakaian atau hiburan, tetapi membawa nilai-nilai.
"Jadi value itu juga menjadi value yang global. LGBT itu sekarang menjadi fenomena global, bukan lagi fenomena nasional apalagi lokal, bahkan menjadi gerakan global. Globalisme nilai-nilai itu yang patut kita cermati, Islam sendiri sebenarnya juga agama global. Makanya Islam dikatakan sebagai agama universal,” jelasnya.
Sehingga, ia mengatakan, sekarang ini umat Islam sedang berhadapan antara risalah agama universal dengan materialisme universal. Karenanya memang unat tidak boleh tinggal diam terhadap fenomena itu. Disitulah sebenarnya peran yang disebut dengan amar makruf nahi mungkar semakin nyata. Justru disaat kebanyakan orang abai atau tidak lagi kritis terhadap berkembangnya nilai-nilai materialisme global.
"Situasi sekarang ini, Islam dalam posisi inferior (lemah), dalam arti Islam tidak diadopsi sebagai nilai global pun juga nilai nasional, hanya nilai personal. Ketika hanya menjadi nilai personal, maka Islam hanya akan mampu melakukan pertahanan individu paling jauh keluarga, tidak kepada masyarakat, negara apalagi dunia,” imbuhnya.
Ia menyatakan memang yang paling ideal peran itu diambil oleh negara, karena akan memiliki legitimasi dan otoritas yang kuat. Tetapi yang terjadi hari ini juga justru sebaliknya, seperti halnya Arab Saudi yang sebelumnya melarang dengan tegas hal-hal semacam globalisasi, yang ada sekarang ini justru membolehkan.
"Karena itu kita sekarang ini seperti kehilangan referensi. Mana negara yang melarang? Hampir tidak ada, bahkan di Kualalumpur pun katanya juga akan diselenggarakan. Sehingga praktis hal ini menjadi suara yang sangat minor," pungkasnya. [] Fatikh Catur