Tinta Media - Ki Hajar Dewantara memiliki cita-cita luhur untuk menjadikan rakyat Indonesia merdeka dari penindasan, kebodohan, kezaliman, penghambaan, perbudakan, dan dari segala hal yang menjajah manusia. Salah satu upaya beliau untuk mewujudkan mimpi tersebut adalah dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa.
Atas jasa-jasanya tersebut pemerintah menetapkan hari kelahiran Ki Hajar Dewantara, yaitu 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 316 tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959. Dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional, diharapkan rakyat Indonesia mewarisi semangat dan meneruskan cita-cita luhur Ki Hajar Dewantara.
Namun, mampukah cita-cita luhur tersebut terealisasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang sekuler saat ini?
Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional yang ke-64 kali ini, ternyata masih banyak fakta menyedihkan mengenai pendidikan di Indonesia yang kita temukan. Artinya, cita-cita luhur Ki Hajar Dewantara belum bisa diwujudkan.
Potensi Besar Indonesia
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, baik dari segi sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Sayangnya, potensi yang besar ini tidak dikelola secara optimal, sehingga untaian zamrud khatulistiwa tersebut belum bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat. Bahkan, bisa dikatakan bahwa negara kita ini masih tergolong miskin dengan berbagai persoalan yang menyelimutinya.
Besarnya sumber daya manusia yang ada ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemajuan dan kesejahteraan. Salah satu penyebabnya adalah tingkat pendidikan di Indonesia yang masih tergolong rendah.
Potret Buram Pendidikan di Indonesia
Pada tahun 2011, UNESCO melaporkan Indeks Pengembangan Pendidikan di dunia. Dalam laporan itu, Indonesia menempati posisi ke-69 dari 127 negara. Tentu ini bukan prestasi yang membanggakan. Padahal, pendidikan merupakan salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa. Karena itu, wajar jika kekayaan alam yang dimiliki oleh negeri ini belum tergarap secara optimal.
Fakta miris lainnya juga bisa kita lihat dari pernyataan yang disampaikan oleh Kementerian Pendidikan, bahwasanya setiap menit ada 4 anak mengalami putus sekolah di Indonesia. Fakta ini semakin memperburuk citra pendidikan di Indonesia.
Kalau kita cermati, ada banyak faktor yang menyebabkan tingginya angka putus sekolah. Yang terbesar adalah karena faktor ekonomi. Tingginya biaya pendidikan menyebabkan mayoritas masyarakat tidak mampu membayarnya. Karena itu, mereka lebih memilih putus sekolah dan mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin sulit didapat. Hal ini berkaitan erat dengan sistem ekonomi kapitalistik yang diterapkan di Indonesia yang menyebabkan si kaya makin kaya, si miskin makin miskin.
Faktor lain yang menyebabkan putus sekolah adalah gaya hidup hedonis dan permisif yang sudah merasuk dalam diri sebagian masyarakat sehingga banyak yang memilih jalan mudah dan mencari kesenangan semata tanpa mau bekerja keras. Orang-orang seperti ini hanya menganggap sekolah sebagai beban. Itu sebabnya mereka memilih untuk tidak sekolah.
Dari sisi jenjang pendidikan, jumlah masyarakat Indonesia yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi hanya 7,2 persen. Ini bisa dilihat dari survei Sumber Daya Manusia di Indonesia, yaitu 70 persen untuk sekolah dasar, 22,40 persen untuk lulusan sekolah menengah, dan 7,2 persen untuk perguruan tinggi. Dibandingkan dengan Malaysia, sumber daya manusia di Indonesia cukup jauh tertinggal. Malaysia memiliki 20,3 persen lulusan perguruan tinggi.
Fakta lain yang menjadi penyebab rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia adalah sebaran guru di Indonesia yang tidak merata. Data Ketenagakerjaan & Penempatan Guru menunjukkan bahwa distribusi guru di Indonesia tidak menyebar dengan baik.
Dari sisi kualitas, beberapa guru di Indonesia dinilai kurang kompeten. Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia menunjukkan bahwa 1,3 juta dari total 1,6 juta guru Indonesia mendapat skor di bawah 60 untuk tingkat skor 0-100. Pergantian kurikulum yang terus berulang dinilai sebagai salah satu penyebabnya.
Indonesia telah mengalami perubahan kurikulum sejak 1949 hingga saat ini sebanyak 10 kali. Hal ini menyebabkan guru kesulitan memahami dan mengaplikasikan kurikulum tersebut. Ketika mereka sudah mulai paham dan berupaya menerapkan, kurikulum sudah berubah lagi. Begitu seterusnya, terjadi secara berulang-ulang hingga tidak ada satu pun yang berhasil.
Belum lagi output yang dihasilkan. Kita bisa melihat tingkah polah anak-anak muda zaman sekarang. Tingginya kriminalitas yang dilakukan oleh remaja, rendahnya empati dan buruknya tingkah laku mereka, bahkan mengarah pada krisis adab dan moral menunjukkan buruknya kualitas pendidikan di Indonesia. Belum lagi keterlibatan mereka dalam narkoba, sek bebas, dan berbagai tindak kejahatan lainnya. Semua itu merupakan potret buram buruknya sistem pendidikan di Indonesia.
Terlebih, tidak ada contoh yang baik dari generasi tua dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, semboyan 'Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani yang dicanangkan oleh Ki Hajar Dewantara hanya sebagai jargon. Layak, kalau sampai saat ini pendidikan di Indonesia belum mengalami peningkatan.
Arah Pendidikan di Indonesia
Mayoritas masyarakat di Indonesia adalah muslim. Harusnya, dalam menjalani kehidupan sehari-hari, mereka bersandar pada syariat Islam, termasuk dalam hal pendidikan. Ketika generasi muslim dijauhkan dari Islam, maka sudah sewajarnya jika mengalami kehancuran.
Faktanya, sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan di negeri ini berimbas pada jauhnya kaum muslimin dari nilai-nilai agama. Akibatnya, generasi muslim tidak merasa wajib menjalankan syariat Islam.
Secara fakta, pendidikan di Indonesia memang diarahkan untuk memisahkan agama dari kehidupan (sekularisasi). Seperti saat ini, profil yang ditonjolkan dalam pendidikan karakter bukanlah terbentuknya kepribadian Islam melalui pembentukan pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan Islam
Di sisi lain, kurikulum yang ditetapkan hanya menonjolkan sisi materi. Dalam artian, bagaimana mencetak lulusan yang mampu bekerja sehingga semakin menopang dominasi kapitalis di negeri ini. Aspek agama kurang diperhatikan sehingga wajar jika siswa tidak memahami nilai-nilai agama. Karena itu, mereka tidak memahami mana yang benar dan mana yang salah, sehingga tidak takut untuk melakukan kesalahan, justru mereka merasa bangga.
Sistem Pendidikan dalam Islam
Pendidikan di dalam Islam ditetapkan berdasarkan akidah Islam. Tidak boleh ada satu pun yang melenceng dari akidah Islam, termasuk dalam kurikulum.
Negara menjamin semua warga negara menerima pendidikan yang layak. Hal ini karena pendidikan merupakan salah satu dari kebutuhan mendasar masyarakat. Karena itu, negara membiayai mereka sehingga bisa mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki. Hal itu ditunjang dengan diterapkannya sistem ekonomi Islam sehingga mampu menopang seluruh operasional di bidang pendidikan.
Pendidikan berbasis akidah dengan tujuan mencetak generasi yang berpola pikir dan pola sikap sesuai dengan Islam ini tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah. Karena itu, negara juga memiliki kewajiban untuk menciptakan kehidupan yang kondusif di lingkup keluarga dan masyarakat, sehingga terjadi sinkronisasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Di lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat inilah prinsip 'Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani ini bisa diterapkan dengan landasan iman dan takwa.
Dengan begitu, generasi muda dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dengan memaksimalkan potensinya. Tidak hanya gemilang dalam ranah personal, tetapi juga memahami peran sosialnya di tengah masyarakat, sehingga mampu berperan aktif dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Dari sini jelas, bahwasanya karakter generasi unggulan ini tidak akan pernah ditemukan dalam sistem kehidupan yang sekuler seperti saat ini. Generasi muda yang unggul hanya mampu dicetak dalam sistem yang sempurna dan paripurna, yaitu sistem Islam dalam naungan daulah Islam. Karena itu, sudah saatnya kaum muslimin mencampakkan sekularisme kapitalisme di negeri ini untuk diganti dengan sistem Islam. Karena hanya dengan cara itulah tujuan untuk menjadikan kaum muslimin sebagai generasi yang unggul bisa tercapai, bukan dengan peringatan hari tertentu sebagai hari pendidikan. Wallahu a'lam bisshawwab.
Oleh: Ida Royanti
Novelis, Founder Komunitas Aktif Menulis