Tinta Media - Penunjukan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai calon presiden 2024 oleh Megawati, menurut sebagian kalangan dirasa aneh.
"Ini dirasa aneh oleh sebagian kalangan," tutur Direktur Indonesian Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana dalam Program Aspirasi: Ganjar Pranowo, Fenomena Simulacra? Ahad (23/4/2023) di kanal Youtube Justice Monitor.
Ia mengungkap, lantaran beberapa hari sebelumnya Megawati tegas tidak akan memilih calon yang hanya bermodal pencitraan, namun nyatanya Megawati justru menunjuk Ganjar Pranowo yang selama ini aktif di media sosial.
Ia mengatakan, sebagian kalangan mengaku heran dengan tindakan Megawati tersebut. "Di satu sisi track record dari Ganjar di Jawa Tengah juga tidak terlalu menonjol. Di samping sosok ini tidak memiliki kepemimpinan yang konsepsional dan operasional serta miskin integritas dan prestasi," ujarnya.
Ia membeberkan pernyataan dan perilaku Ganjar yang kontroversial tahun 2017 Ganjar Pranowo menerbitkan surat izin bernomor 660.1/4/2017 untuk penambangan PT Semen Indonesia, gara-gara izin pembangunan pabrik tersebut Ganjar banjir gugatan dari lembaga pelestarian lingkungan hidup.
"Ganjar juga pernah blak-blakan mengaku menonton film porno, ia melihat bahwa hal itu wajar sebab seseorang sudah dewasa wajar nonton porno. Pengakuan ganjar ini menjadi kontroversi dan mendapat kritikan dari berbagai kalangan," bebernya.
"Ganjar juga pernah mendapat kecaman publik setelah dirinya mengunggah bantuan dari baznas untuk melakukan renovasi rumah kader PDI Perjuangan," imbuhnya.
Agung menyebut, sementara itu banyak kekhawatiran bahwa Indonesia memasuki episode politik simulacra. "Episode politik yang diproduksi oleh sebuah industri komunikasi massa yang mengaburkan fakta melalui kontruksi realitas semu secara masif yang menghadirkan pemimpin melalui proses pencitraan yang masif dalam konteks manipulasi opini publik," sebutnya.
Agung menilai, kebudayaan industri saat ini menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, antara informasi dan entertainment, dan antara entertainment dan kepentingan politik.
"Masyarakat tidak sadar akan pengaruh citra simulacra, hal ini membuat masyarakat jerapah mencoba hal baru yang ditawarkan simulacra untuk membeli, bekerja dan lain-lain termasuk misalnya memilih presiden, gubernur, walikota maupun bupati," ucapnya.
Agung melihat, di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dahsyat saat ini realitas telah hilang dan kebenaran seringkali menguap.
"Realitas tidak hanya diceritakan, direpresentasikan, disebarluaskan, tetapi kini dapat direkayasa dimanipulasi dan dicitrakan. Dinamika manusia bertopeng simulacra telah mengaburkan dan mengikis perbedaan antara yang nyata dengan imajiner, yang benar dengan palsu," pungkasnya. [] Robby Vidiansyah Prasetio