Tinta Media - Aparat kenegaraan ibarat mantel bagi rakyat. Besar harapan rakyat ada di tangan para pengampu jabatan kenegaraan untuk mengayomi kehidupan mereka agar menjadi layak, tidak hanya cukup kebutuhan pangan, tetapi juga memadai dalam kehidupannya. Dengan begitu, tidak akan terbentuk masyarakat pesuruh, melainkan menjadi masyarakat yang berkualitas dalam kehidupan dan segala macam aktivitasnya.
Salah satu penyebab masyarakat mengalami keterbelakangan, baik dalam hal adab ataupun moral adalah adanya peraturan dan perasaan yang disesuaikan dengan kepentingan, sehingga terbentuk ketidaklayakan aparatur negara. Padahal, mereka adalah pengampu kebijakan yang harus menuntaskan masalah. Namun, yang terjadi justru mereka menelantarkan rakyat.
Upaya perbaikan yang dilakukan pun atas dasar citra, bukan kesadaran, sehingga sewaktu-waktu akan berubah sesuai kondisi dan situasi kepentingan yang diprioritaskan.
Maka, wajar jika masyarakat bagai pungguk merindukan bulan. Mereka meletakkan harapan, tetapi hanyalah harapan kosong.
Inilah cerdiknya pemahaman yang menopang kerakusan manusia, sehingga isi yang buruk pun mampu dicover dengan indah demi pembodohan pada masyarakat.
Pengkhianatan yang tak pernah berakhir pada masyarakat menjadikan mereka mulai melumpuhkan harapan kepada para pengurus negara. Hak dan kewajiban menjadi ambigu. Selama asas manfaat dijadikan sebagai landasan, tak ada yang namanya batasan atau standar.
Masalah korupsi yang kembali ditemukan, baik oleh pejabat, anggota dewan, atau ASN, bahkan dilakukan secara berjamaah. Ini menjadi cerminan langgengnya manipulasi kepentingan dengan alasan rakyat.
Karena itu, mereka memunculkan solusi berupa RUU perampasan aset tindak pidana guna mengatasi para manipulator kepentingan dengan kegiatan korupsinya yang sudah jelas menimbulkan kerugian dan ketidakpercayaan.
Pembahasan tentang RUU perampasan aset tindak pidana hingga kini belum ada kejelasan, padahal Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada 2003 dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006.
Sebagaimana yang dikabarkan oleh tirto.id bahwa Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S Bahat dan anggota DPR RI Fraksi Nasdem Ary Egahni Ben Bahat melakukan tindak korupsi demi kepentingan politik bukanlah hal yang baru. Zaenur selaku pegiat antikorupsi menilai bahwa dalih yang dilakukan oleh pasangan suami istri itu biasa juga dilakukan oleh pejabat lain dengan menyalahgunakan wewenangnya.
Melihat gurita kasus korupsi dan kuatnya sekulerisme merasuki negara ini, muncul pertanyaan, apakah penegsahan RUU perampasan aset mampu mencegah korupsi?
Nyatanya, sekalipun muncul undang-undang baru, maka masalah korupsi pun tak akan mungkin terselesaikan. Apalagi, negeri ini memiliki paham kebebasan yang dianut dari ideologi kapitalisme sekularisme yang memiliki asas manfaat dan kepentingan. Maka, akan menjadi suatu kemustahilan dan harapan kosong ketika kita masih meletakkan kepercayaan pada sistem kapitalisme sekularisme. Ini karena pemahaman tersebut tidak akan pernah meyakini bahwa tuhan haruslah mengatur masalah kehidupan mereka.
Sekulerisme adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan, sehingga mereka akan berupaya mengelompokkan masalah agama dengan masalah kehidupan. Maka keberadaan sebagai satu kesatuan ini mau tidak mau pasti akan dipisahkan. Mereka disetir oleh keegoisan, keserakahan, dan hawa nafsu yang memang hal tersebut berupaya diberikan oleh sistem sekuler.
Sedangkan Islam sendiri akan melakukan penyerahan total pengurusan seluruh aspek kehidupan kepada hukum syara' sehingga tidak akan ada kemungkinan celah manusia untuk saling mendominasi dan saling menyembah. Hal ini karena rasa takut hanya akan diletakkan kepada Allah saja.
Dalam menghadapi masalah korupsi, Islam memiliki berbagai mekanisme efektif untuk mencegahnya. Salah satunya adalah dengan penanaman akidah yang kuat sejak dini. Dari sini, akan terbentuk pada diri mereka kepribadian Islam melalui penanaman pola pikir dan pola sikap islami, sehingga terlahir manusia ideal sebagaimana janji Allah, yakni sebagai umat terbaik.
Terlebih, hal ini juga harus diperkuat dengan menjalankan sistem sanksi yang tegas bagi para pelaku kezaliman yang akan menimbulkan rasa jera dan memberikan efek ngeri, sehingga membuat orang lain tidak akan mau untuk melakukan perbuatan yang sama.
Beginilah Islam berupaya menjaga umatnya agar terhindar dari hal-hal yang akan membawa mereka pada jalan kesesatan dan kesempitan hidup. Karena itu, Islam rahmatanlil'alamin akan terasa dalam kehidupan ini. Maka, tidak ada cara lain selain kembali untuk terikat pada hukum-hukum Allah, sehingga Allah rida dan menurunkan keberkahan dari langit dan bumi.
Wallahua'lam bissawab.
Oleh: Erna Nuri Widiastuti S.Pd.
Aktivis