Tinta Media - Baru-baru ini negeri ini telah dihebohkan dengan harga tiket konser musik Coldplay yang begitu mahal, bahkan mungkin menguras dompet masyarakat yang ingin menonton.
Berbagai pertanyaan muncul terkait pembelian tiket konser grup band Coldplay yang diserahkan ini. Bahkan, tidak hanya melalui laman media BCA saja, tapi juga bisa melalui pesen pribadi ke pegawainya.
Bahkan ada paparan dari seorang pegawai BCA di Yogyakarta yang mengaku bahwa sudah tidak terhitung berapa banyak nasabah BCA yang bertanya tentang harga tiket konser Coldplay grup band asal London Inggris. (Kompas.com, 12 mei 2023)
Sungguh miris keadaan masyarakat saat ini yang rela melakukan segala cara untuk mendapatkan sebuah tiket yang harganya begitu tinggi. Mulai harga 800rb sampai yang termahal, yaitu 11 juta. Bahkan, sampai ada masyarakat yang rela meminjam uang lewat pinjol untuk membeli sebuah tiket. Mereka tidak berpikir panjang ketika meminjem uang dari pinjol, apalagi mereka menghabiskan uangnya hanya sehari, tapi bayarnya bertahun-tahun.
Padahal sudah sangat jelas, menikmati sebuah konser bukanlah bagian dari kebutuhan asasi manusia. Bahkan, yang lebih memprihatinkan, konser ini menunjukan matinya empati dari penyelenggara dan berbagai pihak pemberi izin terhadap problem kehidupan masyarakat yang dihadapi saat ini.
Problem yang dihadapi saat ini yaitu, mulai dari kemiskinan, stunting, pengangguran, dan berbagai persoalan lainnya. Sudah jelas, ketika masyarakat berantusias membeli sebuah tiket konser dengan harga selangit, maka hal itu menjadi bukti tingginya kesenjangan sosial yang terjadi di negeri ini.
Inilah bukti dari gambaran sebuah negeri yang menerapkan sistem kapitalisme. Ini adalah paradigma liberal yang telah dijungjung oleh negara. Di sistem ini, negara tak lebih dari sekadar regulator atau pembuat kebijakan. Kebijakan yang diterapkan pun hanya untuk memenuhi kepentingan para kapitalis industri hiburan saja.
Sebab, ekonomi kapitalisme memandang bahwa selama ada permintaan yang mendatangkan keuntungan, maka produksi atau pengadaan permintaan tersebut harus diberikan ruang, meskipun pengadaanya merusak moral masyarakat, bahkan ada unsur keharaman di dalamnya. Negera yang menganut kapitalisme tetaplah akan memberikan ruang yang seluas-luasnya.
Dari sini sudah terbukti bahwa negara yang menerapkan sistem kapitalis sudah gagal dalam membentuk masyarakat yang memahami hakikat hidupnya sebagai hamba Allah, beramal sesuai dengan aturan Allah, sampai dengan terbentuknya terbentuknya empati atas nasib sesama. Sistem kapitalisme liberal telah berhasil menjatuhlan taraf berpikir umat ke taraf yang sangat rendah.
Ini berbeda dengan negara yang menerapkan sistem Islam. Dalam Islam, negara harus melayani urusan rakyat. Negara wajib memenuhi kebutuhan asasi warga negaranya, seperti kebutuhan sandang, pangan, dan papan dengan berbagai mekanisme.
Tidak hanya itu. Negara akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyat yang mampu bekerja. Sementara, untuk rakyat yang terkendala lemah secara fisik, maka negara akan memberikan santunan.
Negara juga wajib memberikan layanan, seperti kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan fasilitas publik. Negara wajib memenuhi semua itu dengan standar pelayanan terbaik, dengan cepat, mudah, profesional, serta gratis.
Tidak hanya memenuhi kebutuhan yang bersifat asasi saja, negara pun akan memenuhi kebutuhan lainnya, seperti kebutuhan sekunder dan tersier. Semua ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup warga negara, yaitu sebagai khairu ummah. Karena itu, rakyat berhak mendapatkan pelayanan dengan kualitas terbaik. Namun, kebutuhan sekunder dan tersier tersebut tetap dibatasi oleh syariat Islam.
Selain itu, negara tidak akan membiarkan barang atau aktivitas haram beredar luas di masyarakat, meskipun semua itu mendatangkan keuntungan. Ini karena negara Islam hanya bersandar pada akidah Islam. Nei memahami bahwa sebuah keharaman hanya akan menjauhkan hidup dari keberkahan.
Oleh: Widdiya Permata Sari
Komunitas Muslimah Perindu Syurga