Tinta Media - Beberapa hari terakhir, harga telur kembali merangkak naik, seolah sudah menjadi hal yang lazim, tatkala permintaan suatu barang meningkat, sementara pasar tak mampu memenuhi permintaan konsumen. Hal itu memberi dampak melonjaknya harga suatu barang. Demikianlah yang terjadi pada harga telur belakangan ini.
Menurut Ketua Asosiasi Paguyuban Peternak Rakyat Nasional (PPRN) Blitar, Rofi Yasifun, permintaan akan telur meningkat akibat dua faktor, pertama, permintaan di luar kebiasaan, dan kedua, faktor produksi akibat harga pakan ternak yang tinggi (Kumparan.com, 18/05/2023).
Wajar jika kebutuhan akan telur terasa kian mendesak, mengingat telur adalah komoditas pangan bagi berbagai lapisan masyarakat, dari kelas atas hingga bawah. Selain itu, kenaikan telur ini juga mampu memberi efek domino pada ekonomi nasional. Sebab, tidak hanya dirasakan berat oleh konsumen akhir, tetapi juga para produsen yang memiliki usaha berbahan baku telur, seperti produsen roti dan makanan olahan lainnya.
Oleh karena itu, sepatutnya pemerintah segera mengambil peran dalam menyelesaikan persoalan ini dan lebih jeli dalam mencari akar persoalan ini, mengingat tugas negara adalah menjamin kesejahteraan rakyat serta menjadikan pangan selalu tersedia bagi rakyat.
Sejatinya, dalam paradigma ekonomi Islam, pasokan dan permintaan pasar relatif sama. Namun, ekonomi syariah memiliki batasan-batasan norma berperilaku dalam interaksi pasokan dan permintaan. Guna memastikan semua norma tersebut berjalan, maka diperlukan campur tangan negara melalui kebijakan terkait harga, sehingga dapat mengendalikan kegiatan ekonomi.
Hal ini jelas berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis saat ini, yaitu peran negara dalam ekonomi harus diminimalisir sebatas regulator. Ini karena menurut konsep ekonomi kapitalis, pasar yang paling baik adalah persaingan bebas (free competition).
Oleh karena itu, wajar saja jika liberalisasi perdagangan juga semakin gencar pasca bergabungnya Indonesia dengan Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). Indonesia dipaksa untuk mengimpor melalui rekomendasi WTO. Hal ini jelas mengganggu kedaulatan pangan di negara ini sehingga sulit untuk mandiri.
Hal itu pula yang menyebabkan ketergantungan Indonesia pada impor, karena terus mengandalkan impor pada beberapa bahan baku untuk pemenuhan pakan ternak. Terlebih, 80%-85% biaya produksi pakan ternak saat ini dipengaruhi oleh bahan baku. Sementara itu, kontribusi pakan terhadap biaya produksi peternakan adalah 60%-70%, tergantung pada jenis ternak. Hal ini jelas memberi dampak pada peningkatan harga biaya produksi peternak dan pakan di dalam negeri.
Rasulullah saw. bersabda,
"Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya." (HR Muslim dan Ahmad).
Oleh karena itu, di dalam institusi Islam, wajib bagi negara untuk menjamin kebutuhan pangan rakyat dengan menata secara adil sejak aktivitas produksi hingga distribusi, serta membatasi keterlibatan aktor asing, serta jaminan terpenuhinya pangan bagi seluruh rakyat, baik untuk konsumsi sehari-hari maupun menjaga cadangan pangan untuk mitigasi bencana/kelaparan, termasuk peran asosiasi negara. Jika saat ini seperti BERDIKARI (persero) anak perusahaan BUMN Holding Pangan ID Food Group sektor Peternakan, perlu berkerja sama bersama Bulog untuk mengatur stok dan stabilitas harga pangan hasil ternak. Cara ini tentunya sangat efektif. Selain bisa membantu para peternak lokal, juga mampu menjaga cadangan pangan saat terjadi musibah atau pun untuk menstabilkan harga pasar.
Tentunya dengan memastikan lembaga-lembaga tersebut dijalankan berdasarkan fungsi pelayanan serta wajib menghilangkan aspek komersial, sehingga mampu mengatasi permasalahan sektor peternakan saat ini. Dengan demikian, masyarakat pun benar-benar dapat merasakan peran pemerintah dalam menjaga kebutuhan dan harga pangan.
Demikianlah jika urusan pangan dikelola dengan sistem Islam, yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunah, maka ketahanan dan kedaulatan pangan bagi negara maupun setiap individu rakyat akan segera terwujud.
Namun, semua ini tidak akan terealisasi selama sistem kapitalisme masih bercokol, bahkan digunakan sebagai asas negara ini. Oleh karena itu, sudah sepatutnya bagi kita untuk meninggalkan sistem rusak ini dan kembali kepada sistem yang sahih, yaitu sistem Islam.
Wallahu alam bissawab.
Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang