Pengertian Baiat
Makna Bahasa (Etimologi)
Makna bahasa (lughawi / etimologi) dari kata “al-baiat” ada beberapa makna antara lain :
Pertama, baiat bermakna (اَلْمُبَايَعَةُ عَلىَ الطَّاعَةِ) “al-mubâya’ah ‘alâ at-thâ’ah” (saling berjanji untuk mentaati)
Kedua, baiat bermakna (اَلصَّفْقَةُ مِنْ صَفَقَاتِ الْبَيْعِ) “ash-shafqah min shafaqât al-bai’ “ (kesepakatan dalam berjual beli). (Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 9/274).
Adapun makna syar’i dari “al baiat”, ada beberapa definisi, yang dirumuskan dari berbagai hadis Nabi SAW, walaupun redaksi haditsnya yang berbeda-beda, namun maknanya sama. Definisi baiat menurut Ibnu Khaldun adalah sebagai berikut :
إِنَّ البَيْعَةَ هِيَ العَهْدُ عَلَى الطّاعَةِ ، كَأَنَّ اَلْمُبايِعَ يُعاهِدُ أَميرَهُ عَلَى أَنْ يُسَلِّمَ لَهُ النَّظَرَ فِي أَمْرِ نَفْسِهِ ، وَأُمورِ المُسْلِمِيْنَ ، لَا يُنَازِعُهُ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ وَيُطيْعُهُ فِيمَا يُكَلِّفُهُ بِهِ مِنْ الأَمْرِ عَلَى المَنْشَطِ وَاَلْمَكْرَهِ .مقدمة ابن خلدون، ج 2ص 549
“Sesungguhnya pengertian baiat adalah janji untuk mentaati, seakan-akan pihak yang membaiat itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan urusan dirinya dan urusan kaum muslimin kepada pemimpin tersebut, serta berjanji untuk tidak membangkang kepadanya dalam urusan itu, dan berjanji untuk mentaati pemimpin itu pada segala perkara yang dibebankan pemimpin itu baik pada hal yang menyenangkan maupun pada hal yang dibenci.” (Muqaddimah Ibnu Khaldûn, 2/549).
Berdasarkan definisi baiat dalam kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun (2/549) tersebut jelaslah bahwa yang dimaksud dengan baiat menurut istilah syariah Islam adalah :
البَيْعَةُ هِيَ عَهْدٌ بَيْنَ الأُمَّةِ وَالحَاكِمِ عَلَى الحُكْمِ بِالشَّرْعِ وَطاعَتِهِمْ لَهُ
“Baiat adalah perjanjian antara umat dan penguasa untuk menerapkan hukum berdasarkan syariah Islam dan untuk mentaati penguasa itu.” (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm Al-Hukm fi Al-Islâm, hlm. 105).
Definisi baiat Ibnu Khaldun sesungguhnya diambil dari hadis-hadis Nabi SAW tentang baiat, misalnya sabda Rasulullah SAW :
مَن بايَعَ إمامًا فأعطاهُ صَفقةَ يَدِهِ وثَمَرةَ قَلبِه، فليُطِعْه ما استَطاعَ، فإنْ جاءَ آخَرُ يُنازِعُه فاضرِبوا عُنُقَ الآخَرِ
“Barangsiapa yang membaiat seorang Imam (Khalifah) lalu memberikan genggaman tangannya kepadanya, dan memberikan buah hatinya kepadanya, maka wajiblah dia mentaati Imam itu sekuat kemampuan dia. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaan Imam itu, maka penggalah orang tersebut.” (HR Muslim no. 1844).
Hukum Baiat
Baiat hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin, dan sekaligus merupakan hak bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan. Yang demikian itu dikarenakan baiat itu merupakan metode satu-satunya untuk mengangkat Khalifah sebagai kepala negara dari Negara Khilafah Islamiyah. (Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawâ’id Nizhâm Al-Hukm fi Al-Islâm, hlm. 106).
Dalil wajibnya baiat untuk mengangkat seorang Khalifah (Imam) ada dua :
Pertama, hadis-hadis Nabi SAW.
Kedua, Ijma’ Shahabat (Konsensus Para Shahabat Nabi SAW).
Adapun dalil dari hadis-hadis Nabi SAW di antaranya misalnya sabda Rasulullah SAW :
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ ميتَةً جاهِليَّةً
“Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak tersdapat baiuat (kepada Khalifah) maka matinya adalah mati Jahiliyyah.” (HR Muslim no. 1851).
Wajhul Istidlâl (cara penarikan hukum dari dalilnya) :
Hadis ini telah mencela orang yang tidak punya baiat kepada Khalifah, dengan celaan yang berat, sebagai mati jahiliyah. Celaan berat yang ditujukan untuk perbuatan yang ditinggalkan, tidak memiliki makna lain, kecuali perbuatan yang ditinggalkan itu (yaitu baiat), hukumnya wajib. (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm Al-Hukm di Al-Islâm, hlm. 102).
Namun perlu dipahami, bahwa yang dimaksud dengan “mati jahiliyah” bukanlah mati dalam keadaan kafir, melainkan mati dalam keadaan bermaksiat (tidak taat) kepada Allah SWT, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani :
وَلَيْسَ المُرادُ يَموتُ كَافِرًا بَلْ يَموتُ عَاصِيًا
“Yang dimaksud “mati jahiliyah” dalam hadis itu bukanlah mati dalam keadaan kafir, melainkan mati dalam keadaan bermaksiat.” (Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bârî Syarah Shahîh Al-Bukhârî, 16/112)
Adapun dalil wajibnya baiat dari Ijma’ Shahabat, nampak dalam peristiwa yang terjadi setelah wafatnya Nabi SAW, para shahabat dari golongan Anshar dan Muhajirin berkumpul di Saqifah Bani Saidah untuk memilih pemimpin umat pengganti Rasululullah SAW. Para shahabat Nabi SAW akhirnya sepakat (ijma’) untuk membaiat Abu Bakar Ash Shiddiq RA sebagai khalifah yang menggantikan Rasulullah SAW dalam urusan kepemimpinan umat. (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm Al-Hukm fi Al-Islâm, hlm. 111).
Dua Macam Baiat : Baiat In’iqad Dan Baiat Taat
Baiat ada dua macam :
Pertama, baiat in’iqâd, atau disebut baiat khusus, yaitu baiat dari wakil umat untuk mengangkat seseorang menjadi khalifah. Hukum baiat in’iqad adalah fardhu kifayah.
Kedua, baiat tâat, atau disebut baiat umum, yaitu baiat dari seluruh umat Islam untuk menyatakan ketaatan kepada Khalifah yang telah dibaiat sebelumnya. Hukum baiat taat adalah fardhu ‘ain.
(Ahmad Mahmûd Âlû Mahmûd, Al-Bai’ah fi al-Islâm, hlm. 164-165, hlm. 164-165)
Dalil adanya dua macam baiat tersebut adalah Ijma’ Shahabat yang terjadi setelah Abu Bakar Shiddiq RA dibaiat secara khusus oleh para shahabat di Saqifah Bani Saidah sebagai Khalifah. Keesokan harinya, setelah sholat Shubuh, Abu Bakar RA dibaiat lagi secara umum oleh kaum muslimin yang hadir di masjid. Baiat di Saqifah Bani Saidah itu merupakan baiat in’iqad (baiat khusus). Sedangkan baiat di masjid merupakan Baiat Taat (baiat umum). (Ahmad Mahmûd Âlû Mahmûd, Al-Bai’ah fi al-Islâm, hlm. 164-165).
Syarat untuk pihak yang dibaiat (khalifah/imam), ada 7 (tujuh) syarat :
(1) Muslim.
(2) Laki-Laki.
(3) Aqil (Berakal)
(4) Baligh.
(5) Adil (bukan orang fasik).
(6) Merdeka (bukan budak)
(7) Mampu. (Abdul Qadim Zallum, Nizhâmul Hukm fi al–Islâm, hlm. 50-53).
Adapun syarat-syarat untuk pihak yang membaiat (wakil-wakil umat Islam) ada 4 (empat) syarat sebagai berikut :
(1) Muslim.
(2) Aqil (Berakal).
(3) Baligh.
(4) Ridha dan Ikhtiyar (tidak Dipaksa). (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm Al-Hukm fi Al-Islâm, hlm. 128-137).
Mengenai redaksi baiat, bagi umat intinya adalah : membaiat khalifah dan mentaati khalifah. Sedangkan redaksi baiat bagi Khalifah : menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Mengenai cara (kaifiyat) membaiat, dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
(1) Dengan ucapan langsung.
(2) Dengan surat.
(3) Dengan berjabatan tangan.
(4) dll. (Abdul Qadim Zallum, Qawâ’id Nizhâm Al-Hukm fi Al-Islâm, hlm. 120-128).
Kesimpulan
Baiat merupakan akad politik antara umat Islam di satu sisi, dengan Khalifah di sisi lain, dengan kewajiban atas Khalifah untuk menjalankan Al-Kitab dan As-Sunnah. Sedang bagi umat Islam baiat merupakan komitmen untuk mentaati dan mendengar Khalifah yang dibaiat, selama Khalifah tidak memerintahkan berbuat maksiat.
Baiat dalam pengertian syariahnya, hanya ada bagi Khalifah (Imam) dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Istilah baiat dalam makna syariahnya ini tidak boleh disalahgunakan untuk baiat kepada seorang pemimpin dari sebuah kelompok (jamaah) atau ketua sebuah organisasi, atau kepada kepala negara di luar sistem-sistem pemerintahan Islam, seperti seorang presiden atau raja. Baiat dalam makna syar’i hanya diberikan oleh umat Islam kepada Khalifah sebagai pemimpin tertinggi dari negara Khilafah, bukan yang lain.
Wallahu a’lam.
Oleh: KH M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fikih Kontemporer