Kalimat lengkapnya adalah sebagai berikut : “Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua Muhammadiyah ? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda kalender islam global dari Gema Pembebasan ? Banyak bacot emang !!! Sini saya bunuh kalian satu-satu. Silahkan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan ! Saya siap dipenjara. Saya capek lihat pergaduhan kalian,”.
Cuitan yang sangat berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa ini tidak pantas diucapkan oleh ASN BRIN yang notabene adalah seorang peneliti. Peneliti adalah kaum intelektual yang biasa menerima perbedaan dalam hal apa saja dengan pandangan obyektif argumentatif. Dengan kasus ini semakin menandaskan paradoksalnya negeri ini.
Mengapa disebut paradoks, sebab negeri ini sedang giat-giatnya menebarkan paham moderasi beragama, yang menurut pemerintah bermakna beragama dengan penuh toleransi atas perbedaan dan tidak melakukan truth claim atas agamanya sendiri. Sekilas paham moderasi agama ini cukup indah dan bisa melenakan umat Islam. Secara teori dan maksud mungkin baik, namun pada faktanya, Islam justru sering menjadi sasaran program deradikalisasi.
Moderasi dan toleransi adalah setali mata uang, tak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Namun, lihatlah apa yang dilakukan oleh APH yang nota bene aparatur negara yang semestnya memberikan contoh yang baik bagaimana mplementasi sikap toleransi atas perbedaan itu. Satu sisi pemerintah mengobarkan spirit moderasi beragama dan toleransi, namun disisi lain kasus APH justru menunjukkan sebaliknya, yakni sikap intoleransi.
Apa yang ditulis oleh APH menegaskan bahwa toleransi itu omong kosong, sebab justru aparatur pemerintah sendiri yang sering tidak toleran. Banyak kejadian sebenarnya yang menunjukkan intoleransi di negeri ini semisal pembubaran pengajian, kriminalisasi ulama, islamofobia dan masih banyak lagi hal yang menunjukkan kondisi sebaliknya dari apa yang dipropagandakan pemerintah. Teorinya toleransi, namun prakteknya tololansi.
Terlepas dari kasus APH, sebenarnya istilah seperti moderasi, radikal, teroris, liberal dan sejenisnya merupakan istilah-istilah Barat yang dimaksudkan untuk memecah belah umat Islam sekaligus menghadang kebangkitan umat Islam di seluruh dunia. Genealogi perang pemikiran ini telah berlangsung sekitar 3 abad hingga hari ini. Perang asimetrsi ini terbukti efektif, buktinya banyak kalangan intelektual muslim yang terpapar sekulerisme, liberalisme dan pluralisme. Ketiga paham ini adalah produk epistemology barat untuk mendekonstruksi ajaran Islam. Itulah mengapa tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa haram atas ketiga paham di atas. Secara epistemologi, Islam adalah kebenaran, sedangkan moderasi agama (beragama) adalah kekacauan berfikir.
Karena itu tidaklah sama antara makna Islam washatiyah dengan Islam moderat, sementara propaganda moderasi agama adalah racun aqidah. Istilah washatiyah berasal dari Al Qur’an, sementara istilah moderat berasal dari epistemologi Barat. Meskipun banyak cendekiawan muslim memaksakan diri untuk menyamakannya. Menyamakan keduanya akan melahirkan epistemologi oplosan yang menyesatkan umat. Pengarusutamaan moderasi agama adalah sia-sia karena merupakan produk gagal paham, dan karenanya pasti akan gagal pula, setidaknya umat tidak boleh diam, terus bersuara untuk membungkam sesat pikir ini.
Tanpa diberikan embel-embel moderat, Islam adalah agama yang penuh perdamaian, toleransi, adil dan menebarkan kebaikan kepada seluruh alam semesta. Jangan pernah mengajari umat Islam tentang toleransi. Istilah lakum dinukum waliayadin yang diungkapkan Allah dalam Al Qur’an adalah konsep terbaik dibandingkan agama-agama lain.
Tanpa ada narasi moderasi agama, Islam adalah agama yang paling bisa memberikan ruang pembiaran kepada pemeluk agama lain, terlebih perbedaan yang ada di kalangan umat Islam. Hanya paham demokrasi sekuler yang diterapkan saat inilah yang justru menuduh Islam sebagai agama radikal dan anti keragaman, padahal penuduh radikal adalah ekspresi radikalisme. Islam memberikan ruang pengakuan atas fakta pluralitas sosiologis, namun tidak dengan pluralisme teologis.
Toleransi seagama [tasamuh] sejak awal dibangun oleh Rasulullah, Sahabat, tabiin, atba tabiin, imam mujtahid dan kekhilafahan. Toleransi antaragama dalam Islam terbangun indah saat, di Spanyol, lebih dari 800 tahun pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen hidup berdampingan dengan tenang dan damai. Di India sepanjang kekuasaan Bani Ummayah, Abbasiyah dan Ustmaniyah, muslim dan hindu hidup rukun selama ratusan tahun. Di Mesir umat Islam dan Kristen hidup rukun ratusan tahun sejak khulafaur Rasyidin.
Secara etimologi, makna al wasath adalah sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding, pertengahan [Mufradat al Fazh Al Qur’an, Raghib Al Isfahani jil II entri w-s-th]. Bisa bermakna sesuatu yang terjaga, berharga dan terpilih. Karena tengah adalah tempat yang tidak mudah dijangkau : tengah kota [At Tahrir wa At Tanwir jil II hal 17].
Umat wasath yang dimaksud adalah umat terbaik dan terpilih karena mendapatkan petunjuk dari Allah. Jalan lurus dalam surat al Fatihah adalah jalan tengah diantara jalan orang yang dibenci [yahudi] dan jalan orang sesat [nasrani] [Tafsir Al Manar jil. II hal 4]. Karakter umat washtiyah ada empat : Umat yang adil, Umat pilihan [QS Ali Imran : 110], Terbaik dan Pertengahan antara ifrath [berlebihan] dan tafrith [mengurangi] [Tafsir Al Rari, jil. II hal 389-390]. Makna washatiyah dalam perspektif tafsir ini tidak sama dengan makna moderat atau moderasi yang kini terus dipropagandakan.
Ironisnya, propaganda narasi moderasi beragama itu cenderung menyasar agama Islam, bukan agama lainnya. Indikator yang terus dipropagandakan terkait narasi moderasi beragama adalah soal komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan penerimaan atas tradisi.
Islam mengajarkan umatnya untuk mencintai negara karena Allah dengan cara mengelola berdasarkan hukum yang telah Allah turunkan. Islam jelas melarang umatnya untuk berhukum kepada selain hukum Allah.
Hal ini merupakan persoalan fundamental dalam ajaran Islam, sebab terkait dengan keimanan dan kekafiran, keadilan dan kezaliman, serta komitmen dan kefasikan. (lihat QS. Al Maidah :44, 45 dan 47, QS Al An’am : 57 dan121, QS At Taubah : 31, QS Yusuf : 40, QS Asy Syura : 21).
APH sesungguhnya telah menampar muka penguasa yang sedang berkuasa saat ini. Pemerintah getol meminta rakyat untuk toleransi, namun pihak aparatur negara sendiri justru yang tidak toleran. Apakah mungkin masih ada orang seperti APH ini di tubuh pemerintah, bisa jadi banyak, entahlah. APH memang layak dipenjara karena cuitan yang radikal, intoleran dan tendensius ini. APH ini layak disebut sebagai orang yang sekuler radikal karena telah menebarkan teror kepada anggota Muhammadiyah. APH menunjukkan bahwa toleransi yang selama ini dipropagandakan pemerintah adalah omong kosong belaka.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 01/05/23 : 23.00 WIB)
Oleh: Dr. Ahmad Sastra Ketua
Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa