Tinta Media - Setiap berakhirnya Ramadan, kaum muslimin bergembira menyambut hari raya Idul Fitri atau lebaran. Saat terjadi pandemi Covid-19 tahun 2020, kaum muslimin di Indonesia tidak diperbolehkan mudik oleh pemerintah karena ada pembatasan jarak dan larangan berkumpul. Padahal, mudik atau pulang kampung merupakan tradisi muslim Indonesia yang sulit untuk ditinggalkan. Setelah tiga kali puasa tidak boleh mudik, baru lebaran tahun 2023 ini pemerintah melonggarkan protokol kesehatan di tengah masyarakat dan mengizinkan pulang kampung.
Akibatnya, terjadi lonjakan arus kendaraan di setiap ruas jalur mudik di seluruh Indonesia. Arus lalu lintas dari barat ke timur atau sebaliknya, padat sepanjang waktu cuti bersama. Di mana-mana banyak terjadi kerumunan dan banyak orang yang sudah tidak memakai masker. Padahal, sudah 3 tahun ini masker menjadi pelengkap berpakaian masyarakat.
Saat salat Idul Fitri pun, kaum muslim banyak yang tidak memakai masker. Mereka beranggapan bahwa sekarang sudah aman, tidak perlu takut ketularan virus Covid-19 karena pemerintah pun sudah melonggarkan protokol kesehatan. Buktinya, masyarakat boleh mudik, bahkan dicanangkan libur panjang lebaran selama seminggu.
Sekolah-sekolah dan kantor-kantor sudah melakukan tatap muka (offline). Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sudah jarang terlihat di tempat-tempat umum.
Padahal, WHO pada tanggal 22/4/2023 secara resmi melaporkan bahwa telah ditemukan Covid-19 varian baru dengan daya tular yang lebih cepat dan berbahaya dari Covid-19 sebelumnya, yaitu Covid Varian Acturust. Varian ini terdeteksi pertama kali di India dan menjadi penyebab naiknya kasus Covid-19 di 29 negara. Masyarakat dunia diminta waspada dan tidak meremehkan virus Covid-19 ini.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia mengimbau agar masyarakat kembali menggunakan masker dan menjalankan protokol kesehatan. Namun, kepala negara berpendapat bahwa naiknya kasus Covid-19 tidak perlu dibesar-besarkan, yang penting divaksin sampai tahap booster dan jaga kebersihan.
Ini adalah suatu tanggapan yang tidak serius, seperti meremehkan keganasan Covid-19 varian Acturus. Akhirnya, masyarakat harus berusaha sendiri agar tidak tertular dengan vaksinasi yang kadang tidak gratis dan dirasa mahal bagi rakyat.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa seperti itulah watak pemimpin dalam sistem demokrasi kapitalis yang tidak bersungguh-sungguh dalam memenuhi kebutuhan akan kesehatan rakyat. Pemerintah seperti tidak siap bila terjadi lonjakan kasus pandemi, makanya rakyat disuruh tenang. Sebab, politik demokrasi berasas manfaat dan keuntungan. Sehingga, di saat rakyat sudah dibebani dengan harga sembako naik, harga tiket kendaraan dan tol naik, masih harus melakukan tes usap covid atau vaksinasi. Rakyat bukan dilindungi dan dilayani, tetapi dijadikan obyek untuk membeli produk hasil industri. Pemerintah hanya berperan sebagai pembuat peraturan saja.
Sungguh berbeda dengan sistem Islam yang dipimpin oleh seorang khalifah. Fokus utama pemimpin adalah riayah suunil ummah atau mengurusi urusan ummat/rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. bahwa khalifah adalah pengurus ururan rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya (HR Muslim dan Ahmad).
Kebijakan yang dilakukan oleh khalifah saat terjadi pandemi, antara lain:
Pertama, melakukan karantina dan pembatasan kedatangan orang-orang dari luar wilayah pandemi (lockdown total).
Kedua, melakukan seleksi kesehatan kepada masyarakat sehingga diketahui mana yang sakit dan mana yang sehat, lalu dipisahkan lokasinya.
Ketiga, mengobati yang sakit dengan obat terbaik dan mewajibkan diterapkannya protokol kesehatan bagi yang sehat.
Keempat, melakukan edukasi kepada masyarakat tentang pandemi. Hal ini dilakukan secara terus-menerus agar masyarakat tidak lupa dan abai terhadap kesehatan diri dan keluarganya.
Kelima, akan banyak petugas di lapangan yang mengawasi dan menjaga perilaku masyarakat dalam penerapan protokol kesehatan.
Seandainya para pemimpin negara ini orang-orang yang menerapkan syariah Islam dalam setiap kebijakannya, tentu pandemi akan segera berakhir dan rakyat dapat hidup tenang di bawah naungan khilafah.
Wallahu a'lam bis shawaab
Oleh: Wiwin
Sahabat Tinta Media