Tinta Media - Kebebasan berpendapat adalah slogan khas dari sistem demokrasi. Dalam sistem ini, setiap individu diberi kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi. Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi.
Namun, ada banyak hal yang nyatanya tidak sesuai dengan fakta. Mereka yang berpendapat ataupun berekspresi malah mendapatkan ancaman. Padahal, kritik yang disampaikan adalah demi kebaikan bersama.
Salah satunya adalah seperti yang dialami oleh seorang tiktokers muda Bima Yudho Saputro alias @awbimaxreborn. Pada kontennya, ia menyampaikan bahwa kampung halamannya, yakni Lampung, dinilai tidak ada kemajuan. Yang bisa dilihat adalah masalah infrastruktur yang buruk, salah satunya jalan yang amat rusak (CNN Indonesia, April 2023).
Kritik yang disampaikan Bima dilaporkan ke Polda Lampung tentang pelanggaran UU ITE. Ia dituduh menyampaikan informasi hoax. Dian Wahyu K selaku Ketua AJI Bandar Lampung menegaskan bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini, UU ITE dijadikan sebagai celah dan pembenaran bagi para penguasa untuk membungkam orang-orang yang mengkritik kebijakan atau kesalahan-kesalahan para penguasa/pemerintah.
Jika kita amati fakta sebenarnya dengan mengunjungi daerah Lampung, kondisi jalan memang sangatlah memprihatinkan. Hanya wilayah-wilayah tertentu yang sudah dalam kondisi baik. Namun, sisanya adalah jalan yang dipenuhi lubang-lubang besar dan ini sangatlah berbahaya bagi para pengendara. Terlebih, banyak truk besar yang mengangkut hasil kelapa sawit dsb. Hal ini sangatlah berbahaya, terlebih kondisi jalanan sangat rusak.
Seharusnya kritik yang disampaikan dijadikan sebagai evaluasi dari kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan, untuk dijadikan sebagai perbaikan, bukan malah diancam atau bahkan dikenakan pasal UU ITE.
Sekali lagi, bukankah slogan demokrasi itu bebas berpendapat? Jika setiap pribadi yang memberi kritik pada penguasa dibungkam, bagaimana kita bisa mengevaluasi dan melakukan perbaikan untuk menjadi Indonesia yang lebih baik dan maju? Tentu kita akan semakin tertinggal jauh dari Negara-negara lain. Wajar, apabila banyak kecurigaan yang muncul kepada para penguasa, seperti ke mana dana untuk memperbaiki jalan, sedangkan kita selalu bayar pajak?
Ya, tentu sangat wajar. Apalagi, sering kita lihat berita-berita para penguasa yang korupsi hingga milyaran, bahkan trliyunan, sedangkan utang negara tak terlunaskan.
Ya aneh bukan? Padahal, rakyat tidak minta yang muluk-muluk. Minimal kita bisa merasakan jalan yang aman dan nyaman.
Dalam Islam, para penguasa sejatinya mendapatkan amanah untuk mengurusi rakyat, memenuhi apa yang menjadi hak-hak rakyat. Hal ini karena pemimpin adalah pelayan umat, sedangkan rakyatnya adalah sebagai pengoreksi ketika pemimpin tersebut melakukan kesalahan.
Tercatat dalam sejarah pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, beliau membuat sebuah kebijakan tentang mahar pernikahan yang harus dibatasi. Namun, salah seorang wanita angkat bicara dan mengkritik Khalifah Umar bahwasanya Allah tidak memberikan batasan apa pun pada mahar. Maka, tidak sepatutnya dibuat kebijakan seperti itu.
Mendengar kritik dari wanita tersebut, tentu Khalifah Umar tidak mengeksekusi atau membungkam wanita itu, melainkan menjadikannya sebagai evaluasi dan menerima kritik untuk perbaikan kebijakan yang telah ia buat. Dengan demikian, sistem pemerintahan tetap bisa berjalan dengan saling memberikan hak dan kewajiban satu sama lain di antara para penguasa maupun rakyatnya. Dari situ, terciptalah negara yang damai dan sejahtera.
Maka, jangan hanya sekadar 'slogan elit' tetapi nyatanya 'terima kritik, sulit'. Namun, seharusnya jadikan kritik untuk perbaikan agar Indonesia menjadi lebih baik.
Oleh: Rizuki
Sahabat Tinta Media