Tinta Media - Direktur Siyasah Institute Iwan Januar mengatakan, sistem demokrasi sejatinya mempersoalkan penggunaan identitas Islam hadir mewarnai kontestasi politik.
“Namun, dalam dunia politik, penggunaan identitas agama, Islam khususnya, di sini saya soroti itu jadi persoalan,” ujarnya dalam acara Catatan Peradaban: Inkonsistensi Politik Identitas, Kamis (30/3/2023) di kanal YouTube Peradaban ID.
Iwan menjelaskan, demokrasi mestinya terbuka terhadap segala gagasan, termasuk semua identitas apapun, tetapi justru inkonsistensi dengan politik identitas yang marak terjadi.
“Jadi kalau hari ini umat Islam di tanah air itu dipaksa secara opini umum juga secara yuridis untuk menerima pemimpin non muslim misalnya, lantas kenapa pandangan terkait orang atau kelompok yang mengusung pemimpin Islam yang membawa aspirasi umat dan suasana perubahan Islam justru mendapat pertentangan?" tanya Iwan.
Menurutnya, inkonsistensi politik identitas terjadi atas beberapa alasan. Pertama, secara historis, identitas Islam dalam politik pernah dihapuskan saat masa Soekarno pada zaman orde lama, memberangus partai Islam, Masyumi, adanya kriminalisasi terhadap para tokoh Masyumi, Buya Hamka dan Mohammad Natsir.
“Hal itu berlangsung sampai ada penghapusan dan pencabutan eksistensi Partai Masyumi. Soekarno melihat Masyumi sangat vokal di dalam penolakan keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ini yang jadi ganjalan besar bagi Soekarno untuk mewujudkan gagasan nasionalisme, agama dan komunisme (nasakom) sehingga keberadaan Islam sebagai identitas politik yang diusung Masyumi ini menjadi satu persoalan,” urai Iwan.
Ia juga mengatakan, kondisi pada masa orde baru pun tak jauh beda. Rezim orde baru pada saat itu juga melihat keberadaan Islam ketika tampil sebagai identitas politik dianggap menjadi ‘ancaman’, baik bagi prinsip demokrasi dalam negeri, maupun kepentingan global.
Kedua, para politisi di negara demokrasi justru menggunakan identitas untuk mendapatkan keuntungan politik atau political gain. Menurut Iwan, hampir semua politisi, baik di Timur maupun di Barat memanfaatkan identitas untuk mendulang suara. Perubahan cara berpakaian para politisi menjadi lebih agamis ialah salah satu yang paling nampak terlihat.
“Artinya memang ada political gain yang ingin diambil oleh partai politik, politisi bahkan negara sekalipun dengan menggunakan pendekatan-pendekatan identitas di tengah-tengah masyarakat,” pungkasnya. [] Rizki MP