Tinta Media - Merantau jauh ke luar negeri tentu menjadi sebuah tantangan menyenangkan yang diimpikan banyak orang. Mereka mengusahakan yang terbaik agar bisa mendapatkan pengalaman berharga itu bagaimanapun caranya. Tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan yang sama. Maka, banyak di antara para perantau ini membagikan pengalaman berharganya melalui sosial media. Kali ini, saya mendapatkan kehormatan untuk membagikan pengalaman Ramadan di negeri rantau melalui Tinta Media. Semoga ada sedikit hikmah yang bisa dipetik dari secuil pengalaman ini.
Kami sekeluarga untuk sementara menetap di Bangkok, untuk menemani suami dalam perjalanan dinas. Tak ada yang begitu jauh berbeda, di negeri gajah putih ini tidak begitu banyak perubahan yang dirasakan. Mungkin salah satunya karena Thailand merupakan negara tropis yang memiliki iklim mirip dengan Indonesia. Namun bedanya, di sini musim hujan hanya berlangsung sebentar. Sebaliknya, musim panas berlangsung lama hingga suhunya mencapai 39 derajat celsius.
Serunya, tepat di bulan Ramadan inilah puncak musim panas sedang dialami bumi Thailand. Terdapat perayaan songkran di pertengahan bulan April yang dirayakan sejak tanggal 13. Perayaan inilah yang menjadi perayaan terpenting dan terbesar di negeri dengan sistem monarki konstitusional ini. Di saat songkran dirayakan, umat Islam yang hidup di Thailand banyak yang memutuskan untuk berada di dalam rumah. Bukan karena panasnya yang terik, tetapi pada perayaan itu, warga lokal akan berbondong-bondong turun ke jalan, kemudian saling menyemprot air pada satu sama lain. Tentu saja mayoritas dari mereka akan mengenakan pakaian yang sangat minim di tengah matahari yang sedang tinggi-tingginya. Maka, menjaga pandangan akan jauh lebih baik daripada terlibat pada dosa mata di bulan yang suci ini.
Namun, banyak hal yang patut disyukuri di sini. Salah satunya adalah kemudahan dalam mencari makanan halal. Sertifikasi halal pada makanan-makanan produksi pabrik sudah dilakukan secara terstruktur. Maka dari itu, kaum muslimin di negara ini bisa dengan mudah memfilter makanan halal hanya dengan melihat label.
Edukasi tentang makanan halal pun sudah dipahami banyak orang, terutama warga lokal. Banyak di antara mereka mengerti bahwa makanan haram bukan hanya tentang babi saja. Bisa ditemui gerai-gerai dengan cap banner halal di berbagai tempat. Namun, bila ragu tentang itu, untuk kudapan berbuka puasa bisa ditemukan di perkampungan muslim yang tinggalnya terkonsentrasi di satu tempat. Salah satu yang mahsyur dinamakan 103. Disebut demikian karena pertokoan dan gerai makanan halal itu tepat berada di KM 103. Semua makanan yang disajikan di sana bisa dipastikan kehalanannya.
Tempat kedua yang sangat memudahkan untuk mencari makanan halal terdapat di KM 107. Di tempat yang berlokasi dekat masjid megah berwarna biru itu biasanya dijual makanan-makanan lezat khas Thailand dan sekitarnya. Bahkan, di 107 ini dilengkapi dengan pasar yang menjual aneka bahan mentah. Tempat ini layak menjadi alternatif variasi makanan untuk berbuka puasa.
Selain tentang kemudahan mencari makanan halal, hal yang patut diacungi jempol adalah inisiatif hebat untuk tetap menjaga syiar Islam di negeri gajah putih ini. Bila Budha menjadi agama mayoritas di Thailand, maka Islam adalah agama kedua yang paling banyak dipeluk oleh warganya. Ini menandakan bahwa perkembangan Islam di Thailand -walau masih minoritas- mengalami perkembangan yang signifikan.
Yang saya alami secara langsung adalah kajian MMIT yang rutin digelar di Mesjid Asy-Syafiir KBRI. Ramadan atau tidak, kajiannya tetap rutin dilaksanakan selama seminggu dua kali. Para pengisinya pun beragam. Ada dari kalangan mahasiswa, ataupun para ustaz yang memang sudah lalu-lalang di dunia perdakwahan.
Sejak tahun 2004, kajian ini semula bernama MMIB (Masyarakat Muslim Indonesia Bangkok). Namun, kajian ini berkembang hingga mendatangkan masyarakat dari provinsi lain di Thailand. Maka, diubahlah nama tersebut menjadi MMIT (Masyarakat Muslim Indonesia-Thailand) yang berjalan hingga kini.
Bermula dari kajian yang hanya digelar dari rumah ke rumah, para ibu yang anaknya sama-sama bersekolah di SIB (Sekolah Indonesia Bangkok) itu menggelar pertemuan rutin untuk kajian Islam. Lalu, kajian itu menjadi terpusat dilakukan di Masjid KBRI dan boleh untuk dikunjungi siapa saja yang hendak belajar agama. Sebuah gerakan sederhana yang berdampak hebat ini wajib untuk dilanjutkan jejak perjuangannya.
Walau berada di negera tetangga yang sangat berbeda budaya dan agamanya, bukan berarti kita mengikuti arus dan berleha-leha. Saya pribadi sangat bersyukur dipertemukan dengan banyak saudara yang berasal dari negara yang sama, saling bahu-membahu untuk menjadikan kondisi hidup di perantauan tetap nyaman dan sesuai dengan koridor agama. Ramadan kali ini pun menjadi sangat istimewa. Walau penuh perjuangan, tetapi kehadiran saudara seiman di sini menjadikannya sangat bermakna.
Oleh: Dinar Khair
Sahabat Tinta Media