PENINJAUAN KEMBALI, UPAYA HUKUM YANG DAPAT DITEMPUH HIZBUT TAHRIR INDONESIA (HT1) AGAR BISA BERDAKWAH & EKSIS SEPERTI SEDIA KALA - Tinta Media

Rabu, 12 April 2023

PENINJAUAN KEMBALI, UPAYA HUKUM YANG DAPAT DITEMPUH HIZBUT TAHRIR INDONESIA (HT1) AGAR BISA BERDAKWAH & EKSIS SEPERTI SEDIA KALA

Tinta Media - Pada 3 Maret 2023, KSP Moeldoko yang juga menjabat sebagai Ketum Partai Demokrat kubu kepengurusan hasil Kongres Luar Biasa (KLB), mengajukan peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA) atas putusan sengketa kepengurusan dengan kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). PK diajukan dengan dasar adanya klaim ditemukan bukti baru (novum).

AHY menyebut upaya yang ditempuh KSP Moeldoko adalah manuver untuk menggagalkan pencapresan Anies Rasyid Baswedan (ARB). Mengingat, pengajuan PK dilakukan sehari setelah Partai Demokrat secara resmi mengusung ARB sebagai Capres pada 2 Maret yang lalu.

Sebenarnya, secara hukum pengajuan PK mungkin saja ditempuh oleh siapapun, termasuk KSP Moeldoko. Namun, upaya PK Moeldoko ini disinyalir memiliki muatan politis tertentu, ketimbang ikhtiar untuk mempertahankan status KSP Moeldoko sebagai Ketum Partai Demokrat.

Terpisah, sesungguhnya Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga dapat mengajukan permohonan PK kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, dimana perkaranya pada tingkat pertama disidangkan.

Sebagaimana diketahui, pada tanggal 2 Juli 2014 lalu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah terdaftar secara resmi menjadi Ormas Islam yang berbadan hukum perkumpulan dengan nomor registrasi AHU-00282.60.10.2014. Pendaftaran ini dilakukan setahun sejak terbitnya UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Lalu pada tanggal 10 Juli 2017, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan terhadap UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Tepat pada hari Rabu, tanggal 19 Agustus 2017, pemerintah melalui Kemenkum HAM menerbitkan SK Nomor AHU-30.A.01.08 Tahun 2017 tentang pencabutan SK Nomor AHU-00282.60.10.2014, tentang pengesahan status badan hukum HTI.

Atas pencabutan tersebut, pada tanggal 13 Oktober 2017, HTI menggugat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktur Jendral Administrasi Hukum Umum ke PTUN Jakarta, dengan registerasi gugatan bernomor 211/G/2017/PTUN.JKT. Pengadilan menolak Gugatan yang diajukan HTI.

Pada tanggal 16 Mei 2018 HTI mengajukan Banding terhadap putusan nomor 211/G/2017/PTUN.JKT, ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta (PTTUN Jakarta) dengan nomor perkara : 196/B/2018/PT.TUN.JKT.

Selanjutnya, pada tanggal 13 September 2018, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta, mengeluarkan putusan nomor : 196/B/2018/PT.TUN.JKT, yang isinya menolak Banding yang diajukan HTI.

Pada tanggal 19 Oktober 2018, HTI mengajukan Kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta nomor : 196/B/2018/PT.TUN.JKT. Dan akhirnya, pada tanggal 14 Februari 2019, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Nomor: K/KTUN/2019, yang isinya menolak Kasasi yang diajukan HTI.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, PK dapat diajukan dengan alasan-alasan sebagai berikut:

*Pertama,* apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

*Kedua,* apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan (novum);

*Ketiga,* apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;

*Keempat,* apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

*Kelima,* apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

*Keenam,* apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Salah satu dari enam alasan diatas dapat dijadikan dasar untuk mengajukan PK. HTI dapat mengajukannya, dalam rangka untuk mendapatkan kembali hak hukumnya sebagai Ormas yang berbadan hukum.

Walaupun, tanpa badan hukum HTI tetap dapat eksis berdakwah sebagaimana biasa. Mengingat, dalam UU Ormas, Ormas dapat berbadan hukum juga boleh tanpa badan hukum. Yang tak terbadan hukum, bisa terdaftar bisa juga tidak terdaftar.

Artinya, pengajuan PK ini lebih kepada untuk menunjukan kepada umat bahwa HTI ada dan terus melawan kezaliman. HTI ada dan umat tidak bertanya-tanya, dimana dan kemana HTI. HTI ada, dan sambil mengajukan PK HTI dapat eksis kembali dan dapat mengklarifikasi secara resmi fitnah-fitnah dan framing jahat kepada HTI.

Saat ini, HTI tak dapat mengklarifikasi berbagai fitnah dan tujuan keji uang beredar dan ditujukan kepada HTI. Tuduhan-tuduhan terhadap HTI beredar secara sepihak, tanpa ada informasi berimbang dari HTI.

Lagipula, pengajuan PK oleh HTI ini akan berbeda responsnya dengan PK yang diajukan KSP Moledoko. KSP Moeldoko dikenal sebagai begal partai, pengkudeta partai Demokrat.

Sementara HTI, mengajukan PK untuk membela hak hukumnya yang dizalimi rezim. Membela aktivitas dakwah yang dipersoalkan rezim. Membela ajaran Islam Khilafah, yang merupakan bagian dari Islam, jauh sebelum HTI mendapat SK BHP dari Kemenkumham. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :