Tinta Media - Bisnis impor pakaian bekas atau biasa disebut thrifting memang merupakan tren saat ini. Mendapat pakaian brand luar negeri dengan harga miring tentu menjadi pertimbangan konsumen untuk lebih memilih pakaian bekas impor, terutama kalangan generasi muda. Mereka ingin menceburkan diri dalam lifestyle ala luar negeri, yang produk-produknya bisa didapatkan dengan harga lebih murah dari barang original, tetapi kualitas masih terbilang oke. Karena itu, adanya pelarangan bisnis thrifting oleh pemerintah baru-baru ini menimbulkan protes dari berbagai kalangan yang merasa dirugikan dengan pelarangan ini.
Pada Maret lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan adanya larangan melakukan bisnis pakaian bekas impor atau thrifting. Pasalnya, karena bisnis thrifting tersebut mengganggu industri tekstil dalam negeri, mengakibatkan kerugian negara, dan menurunkan angka ekspor (Tempo.co, 17/03/23).
Larangan tersebut sebelumnya telah tertuang pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Tidak hanya membawa kerugian yang besar bagi negara dan industri tekstil dalam negeri, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan juga mengingatkan bahaya kesehatan yang dapat dialami masyarakat akibat menggunakan produk pakaian hasil thrifting. Salah satunya, dapat menularkan penyakit kulit dari pemakai sebelumnya, karena meskipun produk impor dari luar negeri, pakaian bekas tetaplah pakaian bekas. (kompas.com, 16/03/23).
Larangan thrifting ini memang berangkat dari upaya penyelamatan ekonomi negara. Dikatakan bahwa bisnis ini dapat mengganggu industri tekstil dalam negeri, termasuk UMKM. Bisnis ini juga membawa kerugian pendapatan bagi negara karena impor pakaian bekas masuk tanpa membayar bea cukai.
Fenomena thrifting ini terlihat seakan-akan mendukung rakyat karena dikatakan mengganggu bisnis UMKM. Namun, jika ditelisik lebih mendalam, terlihat bahwa pelarangan thrifting bukan karena kepentingan rakyat, tetapi karena kepentingan pengusaha besar.
Menurut data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), pada tahun 2022 impor pakaian dari Cina sebesar 51.790 ton. Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS), impor pakaian bekas hanya sebesar 66 ton saja (TVOne news, 18/03/23).
Impor pakaian bekas tidak sebanding dengan besarnya impor pakaian dari Cina. Wajarlah, pelarangan thrifting ini menimbulkan pertanyaan, terutama di kalangan para pedagang pakaian, karena bukan thrifting yang mengganggu UMKM, tetapi produk-produk luar negeri, seperti produk pakaian Cina yang menjadi saingan mereka.
Fenomena thrifting juga menampakkan kondisi kemiskinan di negeri ini. Untuk memenuhi lifestyle hedonistik dan brand-minded yang dimiliki anak muda saat ini, pakaian bekas impor menjadi pilihan karena tidak mampu untuk membeli produk original.
Budaya konsumtif dan shopaholic yang menerkam berbagai kalangan dengan pendapatan mereka yang terbatas, bahkan belum dijamin cukup untuk memenuhi kebutuhan, menjadikan pakaian bekas impor yang bermerek lebih dipilih daripada produk baru dari industri lokal.
Inilah yang terjadi ketika mindset dan lifestyle ala Barat dan luar negeri masuk memengaruhi masyarakat. Akhirnya, masyarakat seakan memaksakan diri untuk tampil dengan lifestyle tersebut, meskipun harus dengan pakaian bekas.
Fenomena thrifting ini menunjukkan akar dari masalah, yaitu absennya negara dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Negara lebih memilih kepentingan segelintir pengusaha besar yang notabenenya mereka adalah pengusaha luar negeri, dibandingkan berdiri mandiri dengan engembangkan industri lokal. Melekatnya budaya dan lifestyle Barat yang merusak, malah menambah buruk permasalahan ini.
Sebagai muslim, harusnya kita menjadikan Islam sebagai rujukan. Islam menunjukkan akar penyelesaian dengan memulai dari menjamin sandang pangan papan setiap individu rakyat. Negara harus mandiri dengan sistem ekonomi yang dapat melindungi industri tekstil dan pedagang-pedagang lokal yang berbisnis untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Negara berorientasi pada kepentingan rakyat, yaitu kesejahteraan rakyat, dan menghapus budaya-budaya yang dapat merusak tatanan kehidupan tersebut. Di dalam Islam, berpakaian bukanlah demi lifestyle atau flexing, tetapi karena memang merupakan kebutuhan primer sehingga ketersediaannya akan dijamin oleh negara.
Wallaahu a'lam bish shawwab.
Oleh: Fadhila Rohmah
Aktivis Muslimah