Tinta Media - Sobat. Dalam QS. Luqman secara garis besar disebutkan bahwa materi parenting yang disampaikan oleh Luqman Al Hakim, mencakup pendidikan tauhid, akhlak terhadap orang tua, amal shalih, ibadah dan pendidikan karakter.
Allah SWT berfirman :
وَلَقَدۡ ءَاتَيۡنَا لُقۡمَٰنَ ٱلۡحِكۡمَةَ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِلَّهِۚ وَمَن يَشۡكُرۡ فَإِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٞ
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".( QS. Luqman (31) : 12 )
Sobat. Ayat ini menerangkan bahwa Allah menganugerahkan kepada Lukman hikmah, yaitu perasaan yang halus, akal pikiran, dan kearifan yang dapat menyampaikannya kepada pengetahuan yang hakiki dan jalan yang benar menuju kebahagiaan abadi. Oleh karena itu, ia bersyukur kepada Allah yang telah memberinya nikmat itu. Hal itu menunjukkan bahwa pengetahuan dan ajaran-ajaran yang disampaikan Lukman itu bukanlah berasal dari wahyu yang diturunkan Allah kepadanya, tetapi semata-mata berdasarkan ilmu dan hikmah yang telah dianugerahkan Allah kepadanya.
Berdasarkan riwayat Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Ibnu Abi Dunya, Ibnu Jarir ath-thabari, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi hatim dari Ibnu 'Abbas bahwa Lukman adalah seorang hamba/budak dan tukang kayu dari Habasyah. Kebanyakan ulama mengatakan bahwa Lukman adalah seorang yang arif, bijak, dan bukan nabi.
Banyak riwayat yang menerangkan asal-usul Lukman ini, dan riwayat-riwayat itu antara yang satu dengan yang lain tidak ada kesesuaian. Said bin Musayyab mengatakan bahwa Lukman berasal dari Sudan, sebelah selatan Mesir. Zamakhsyari dan Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Lukman termasuk keturunan Bani Israil dan salah seorang cucu Azar, ayah Ibrahim. Menurut pendapat ini, Lukman hidup sebelum kedatangan Nabi Daud. Sedang menurut al-Waqidi, ia salah seorang qadhi Bani Israil. Ada pula riwayat yang menerangkan bahwa Lukman hanyalah seorang yang sangat saleh (wali), bukan seorang nabi.
Terlepas dari semua pendapat riwayat di atas, apakah Lukman itu seorang nabi atau bukan, apakah ia orang Sudan atau keturunan Bani Israil, maka yang jelas dan diyakini ialah Lukman adalah seorang hamba Allah yang telah dianugerahi hikmah, mempunyai akidah yang benar, memahami dasar-dasar agama Allah, dan mengetahui akhlak yang mulia. Namanya disebut dalam Al-Qur'an sebagai salah seorang yang selalu menghambakan diri kepada-Nya.
Sebagai tanda bahwa Lukman itu seorang hamba Allah yang selalu taat kepada-Nya, merasakan kebesaran dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini adalah sikapnya yang selalu bersyukur kepada Allah. Ia merasa dirinya sangat tergantung kepada nikmat Allah itu dan merasa dia telah mendapat hikmah dari-Nya.
Menurut riwayat dari Ibnu 'Umar bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda, "Lukman bukanlah seorang nabi, tetapi ia adalah seorang hamba yang banyak melakukan tafakur, ia mencintai Allah, maka Allah mencintainya pula."
Pada akhir ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang yang bersyukur kepada Allah, berarti ia bersyukur untuk kepentingan dirinya sendiri. Sebab, Allah akan menganugerahkan kepadanya pahala yang banyak karena syukurnya itu. Allah berfirman:
Barang siapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya, Mahamulia. (an-Naml/27: 40)
Sufyan bin Uyainah berkata, "Siapa yang melakukan salat lima waktu berarti ia bersyukur kepada Allah, dan orang yang berdoa untuk kedua orang tuanya setiap usai salat, ia telah bersyukur kepada keduanya."
Orang-orang yang mengingkari nikmat Allah dan tidak bersyukur kepada-Nya berarti ia telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri, karena Allah tidak akan memberinya pahala bahkan menyiksanya dengan siksaan yang pedih. Allah sendiri tidak memerlukan syukur hamba-Nya karena syukur hamba-Nya itu tidak akan memberikan keuntungan kepada-Nya sedikit pun, dan tidak pula akan menambah kemuliaan-Nya. Dia Mahakuasa lagi Maha Terpuji.
Sobat. Nasihat Luqman kepada anaknya mengenai sikap tauhid, diceritakan oleh Allah SWT dalam Q.S Luqman ayat 13 yang berbunyi:
وَإِذۡ قَالَ لُقۡمَٰنُ لِٱبۡنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَيَّ لَا تُشۡرِكۡ بِٱللَّهِۖ إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٞ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".( QS. Luqman (31): 13 )
Sobat. Allah mengingatkan kepada Rasulullah nasihat yang pernah diberikan Lukman kepada putranya ketika ia memberi pelajaran kepadanya. Nasihat itu ialah, "Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan sesuatu dengan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah itu adalah kezaliman yang sangat besar."
Mempersekutukan Allah dikatakan kezaliman karena perbuatan itu berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu menyamakan sesuatu yang melimpahkan nikmat dan karunia dengan sesuatu yang tidak sanggup memberikan semua itu. Menyamakan Allah sebagai sumber nikmat dan karunia dengan patung-patung yang tidak dapat berbuat apa-apa adalah perbuatan zalim. Perbuatan itu dianggap sebagai kezaliman yang besar karena yang disamakan dengan makhluk yang tidak bisa berbuat apa-apa itu adalah Allah Pencipta dan Penguasa semesta alam, yang seharusnya semua makhluk mengabdi dan mengham-bakan diri kepada-Nya.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Mas'ud bahwa tatkala turun ayat:
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk. (al-An'am/6: 82)
timbullah keresahan di antara para sahabat Rasulullah saw. Mereka berpendapat bahwa amat berat menjaga keimanan agar tidak bercampur dengan kezaliman. Mereka lalu berkata kepada Rasulullah saw, "Siapakah di antara kami yang tidak mencampuradukkan keimanan dengan kezaliman?" Maka Rasulullah menjawab, "Maksudnya bukan demikian, apakah kamu tidak mendengar perkataan Lukman, 'Hai anakku, jangan kamu menyekutukan sesuatu dengan Allah, sesungguhnya memper-sekutukan Allah adalah kezaliman yang besar."
Dari ayat ini dipahami bahwa di antara kewajiban ayah kepada anak-anaknya ialah memberi nasihat dan pelajaran, sehingga anak-anaknya dapat menempuh jalan yang benar, dan terhindar dari kesesatan. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (at-Tahrim/66: 6)
Jika diperhatikan susunan kalimat ayat ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Lukman melarang anaknya menyekutukan Tuhan. Larangan ini adalah sesuatu yang memang patut disampaikan Lukman kepada putranya karena menyekutukan Allah adalah perbuatan dosa yang paling besar.
Anak adalah generasi penerus dari orang tuanya. Cita-cita yang belum dicapai orang tua selama hidup di dunia diharapkan dapat tercapai oleh anaknya. Demikian pula kepercayaan yang dianut orang tuanya, di samping budi pekerti yang luhur, anak-anak diharapkan mewarisi dan memiliki semua nilai-nilai yang diikuti ayahnya itu di kemudian hari. Lukman telah melakukan tugas yang sangat penting kepada anaknya, dengan menyampaikan agama yang benar dan budi pekerti yang luhur. Cara Lukman menyampaikan pesan itu wajib dicontoh oleh setiap orang tua yang mengaku dirinya muslim.
وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٖ وَفِصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” ( QS. Luqman (31): 14 )
Sobat. Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada manusia agar berbakti kepada kedua orang tuanya dengan berusaha melaksanakan perintah-perintahnya dan mewujudkan keinginannya. Pada ayat-ayat lain, Allah juga memerintahkan yang demikian, firman-Nya:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. (al-Isra'/17: 23)
Hal-hal yang menyebabkan seorang anak diperintahkan berbuat baik kepada ibu adalah:
1. Ibu mengandung seorang anak sampai ia dilahirkan. Selama masa mengandung itu, ibu menahan dengan sabar penderitaan yang cukup berat, mulai pada bulan-bulan pertama, kemudian kandungan itu semakin lama semakin berat, dan ibu semakin lemah, sampai ia melahirkan. Kekuatannya baru pulih setelah habis masa nifas.
2. Ibu menyusui anaknya sampai usia dua tahun. Banyak penderitaan dan kesukaran yang dialami ibu dalam masa menyusukan anaknya. Hanya Allah yang mengetahui segala penderitaan itu.
Dalam ayat ini yang disebutkan hanya alasan mengapa seorang anak harus taat dan berbuat baik kepada ibunya, tidak disebutkan apa sebabnya seorang anak harus taat dan berbuat baik kepada bapaknya. Hal ini menunjukkan bahwa kesukaran dan penderitaan ibu dalam mengandung, memelihara, dan mendidik anaknya jauh lebih berat bila dibandingkan dengan penderitaan yang dialami bapak dalam memelihara anaknya. Penderitaan itu tidak hanya berupa pengorbanan sebagian dari waktu hidupnya untuk memelihara anaknya, tetapi juga penderitaan jasmani dan rohani. Seorang ibu juga menyediakan zat-zat penting dalam tubuhnya untuk makanan anaknya selama anaknya masih berupa janin di dalam kandungan.
Sesudah lahir ke dunia, sang anak itu lalu disusukannya dalam masa dua tahun (yang utama). Air susu ibu (ASI) juga terdiri dari zat-zat penting dalam darah ibu, yang disuguhkan dengan kasih sayang untuk dihisap oleh anaknya. Dalam ASI ini terdapat segala macam zat yang diperlukan untuk pertumbuhan jasmani dan rohani anak, dan untuk mencegah segala macam penyakit. Zat-zat ini tidak terdapat pada susu sapi. Oleh sebab itu, susu sapi dan yang sejenisnya tidak akan sama mutunya dengan ASI. Segala macam susu bubuk atau susu kaleng tidak ada yang sama mutunya dengan ASI.
Seorang ibu sangat dihimbau untuk menyusui anaknya dengan ASI. Janganlah ia menggantinya dengan susu bubuk, kecuali dalam situasi yang sangat memaksa. Mendapatkan ASI dari ibunya adalah hak anak, dan menyusukan anak adalah suatu kewajiban yang telah dibebankan Allah kepada ibunya.
Dalam ayat ini, Allah hanya menyebutkan sebab-sebab manusia harus taat dan berbuat baik kepada ibunya. Nabi saw sendiri memerintahkan agar seorang anak lebih mendahulukan berbuat baik kepada ibunya daripada kepada bapaknya, sebagaimana diterangkan dalam hadis:
Dari Bahz bin hakim, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, "Aku bertanya ya Rasulullah, kepada siapakah aku wajib berbakti?" Rasulullah menjawab, "Kepada ibumu." Aku bertanya, "Kemudian kepada siapa?" Rasulullah menjawab, "Kepada ibumu." Aku bertanya, "Kemudian kepada siapa lagi?" Rasulullah menjawab, "Kepada ibumu." Aku bertanya, "Kemudian kepada siapa lagi?" Rasulullah menjawab, "Kepada bapakmu. Kemudian kepada kerabat yang lebih dekat, kemudian kerabat yang lebih dekat." (Riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Adapun tentang lamanya menyusukan anak, Al-Qur'an memerintahkan agar seorang ibu menyusukan anaknya paling lama dua tahun, sebagaimana yang diterangkan dalam ayat ini, dengan firman-Nya, "dan menyapihnya dalam masa dua tahun." Dalam ayat lain, Allah menentukan masa untuk menyusukan anak itu selama dua tahun. Allah berfirman:
Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. (al-Baqarah/2: 233)
Firman-Nya lagi:
Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan. (al-Ahqaf/46: 15)
Pengertian ayat di atas adalah waktu yang dibutuhkan seorang ibu mengandung anaknya minimal enam bulan, dan masa menyusui dua puluh empat bulan atau dua tahun. Jika keduanya dijumlahkan akan ketemu bilangan 30 bulan.
Al-Qur'an mengajarkan bahwa seorang ibu hendaknya menyusui anaknya dalam masa dua tahun. Pada ayat 233 surah al-Baqarah diterangkan bahwa masa menyusui dua tahun itu adalah bagi seorang ibu yang hendak menyusukan anaknya dengan sempurna. Maksudnya, bila ada sesuatu halangan, atau masa dua tahun itu dirasakan amat berat, maka boleh dikurangi.
Masa menyusui dua tahun mengandung hikmah lainnya, yaitu untuk menjarangkan kelahiran. Dengan menjalankan pengaturan yang alami ini, seorang ibu hanya akan melahirkan paling cepat sekali dalam masa tiga tahun, atau kurang sedikit. Sebab dalam masa menyusui, seorang perempuan pada umumnya sukar untuk hamil kembali.
Kemudian Allah menjelaskan bahwa maksud dari "berbuat baik" dalam ayat ini adalah agar manusia selalu bersyukur setiap menerima nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan kepada mereka, dan bersyukur pula kepada ibu bapak karena keduanya yang membesarkan, memelihara, dan mendidik serta bertanggung jawab atas diri mereka, sejak dalam kandungan sampai mereka dewasa dan sanggup berdiri sendiri. Masa membesarkan anak merupakan masa sulit karena ibu bapak menanggung segala macam kesusahan dan penderitaan, baik dalam menjaga maupun dalam usaha mencarikan nafkah anaknya.
Ibu-bapak dalam ayat ini disebut secara umum, tidak dibedakan antara ibu bapak yang muslim dengan yang kafir. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa anak wajib berbuat baik kepada ibu bapaknya, apakah ibu bapaknya itu muslim atau kafir.
Di samping apa yang disebutkan di atas, masih ada beberapa hal yang mengharuskan anak menghormati dan berbuat baik kepada ibu bapak, antara lain:
1. Ibu dan bapak telah mencurahkan kasih sayangnya kepada anak-anaknya. Cinta dan kasih sayang itu terwujud dalam berbagai bentuk, di antaranya ialah membesarkan, mendidik, menjaga, dan memenuhi keinginan-keinginan anaknya. Usaha-usaha yang tidak mengikat itu dilakukan tanpa mengharapkan balasan apa pun dari anak-anaknya, kecuali agar mereka di kemudian hari menjadi anak yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.
2. Anak adalah buah hati dan jantung dari ibu bapaknya, seperti yang disebutkan dalam suatu riwayat bahwa Rasulullah bersabda, "Fatimah adalah buah hatiku."
3. Sejak dalam kandungan, lalu dilahirkan ke dunia hingga dewasa, kebutuhan makan, minum, pakaian, dan keperluan lain anak-anak ditanggung oleh ibu bapaknya.
Dengan perkataan lain dapat diungkapkan bahwa nikmat yang paling besar yang diterima oleh seorang manusia adalah nikmat dari Allah, kemudian nikmat yang diterima dari ibu bapaknya. Itulah sebabnya, Allah meletakkan kewajiban berbuat baik kepada kedua ibu bapak, sesudah kewajiban beribadah kepada-Nya.
Pada akhir ayat ini, Allah memperingatkan bahwa manusia akan kembali kepada-Nya, bukan kepada orang lain. Pada saat itu, Dia akan memberikan pembalasan yang adil kepada hamba-hamba-Nya. Perbuatan baik akan dibalas pahala yang berlipat ganda berupa surga, sedangkan perbuatan jahat akan dibalas dengan azab neraka.
Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Buku The Power of Spirituality