Tinta Media - Berbicara tentang masalah korupsi, ibarat dihadapkan pada hidangan basi, berbau, dan penuh belatung. Jijik dan ngin muntah rasanya. Pemandangan itu terus disajikan pada rakyat secara berulang. Hal itu terjadi di semua instansi negara, mulai dari pejabat daerah, aparat keamanan, praktisi pendidikan, penegak hukum, dinas pajak, dan instansi lain. Pelakunya bisa individu atau berjamaah.
Sungguh, rakyat sudah eneg disuguhi hidangan basi itu. Bisakah para aparat negara menyajikan pemandangan yang indah untuk rakyatnya? Bisakah penguasa melayani hak rakyat dengan sepenuh hati tanpa melakukan korupsi?
Sistem Demokrasi Menyuburkan Tindak Korupsi
Santer dibicarakan publik tentang transaksi janggal di kementerian keuangan senilai Rp349 triliun. Buntutnya, muncullah polemik pengesahan undang- undang perampasan aset (asset recovery). Wacana itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD kepada Komisi III DPR RI. Menurut Mahfud MD, untuk memberantas kasus tindak pidana, termasuk korupsi, perlu segera disahkan undang-undang perampasan aset negara. Ini karena negara mengalami kerugian yang besar dari tindak tipikor tersebut
Kompas.Com Sabtu (1/4/2023)
Berbicara tentang pemberantasan korupsi, ibarat mengobati penyakit kanker stadium 4 yang sudah mengakar dan menjalar, sangat sulit sekali. Buktinya, kasus perolehan harta yang diharamkan syariat itu terus berulang terjadi.
Masih lekat dalam ingatan, kasus korupsi di lembaga pendidikan yang dilakukan rektor Universitas Lampung ( Unila), Prof Karomaini, yakni penerimaan suap mahasiswa baru 2022. Mirisnya, ia tertangkap komisi pemberantasan korupsi (KPK) saat mengikuti pelatihan pembentukan karakter yang menegaskan zona perguruan tinggi bebas dari korupsi. Kompas.Com, Jum'at (19/8/2022)
Kasus korupsi pun terjadi pada penegak hukum. Hakim Sudrajad Dimyati terlibat suap penanganan peradilan di Mahkamah Agung. Fakta ini semakin menambah panjang daftar penegak hukum yang terjerat kasus korupsi. Miris! lembaga negara yang harusnya menetapkan keadilan, telah menjadikan hukum tawar- menawar dalam hukum.
Dampak korupsi
Negara dirugikan dari tindakan aparat yang melenceng dari syariah. Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa akibat korupsi di sektor pendidikan, negara merugi senilai Rp1,6 Triliun sepanjang tahun 2016 hingga 2021..
Fakta ini memang tidak aneh dalam sistem sekuler-kapitalisme. Masyarakat telah menjadikan tolok ukur materi dalam menimbang segala sesuatu. Makna kebahagian manusia diukur dengan keberadaan materi yang berlimpah. Hal ini melahirkan sifat tamak dan rakus terhadap harta. Mendapatkannya pun tanpa melihat lagi halal-haram. Hati nurani seakan telah mati. Uang rakyat yang dengan susah payah diperoleh, tega dikorupsi. Parahnya lagi, hukum yang diberlakukan tidak menimbuhalal-lkan efek jera, bahkan terkesan sangat longgar.
Tidak dimungkiri, sistem pendidikan sangat berkaitan erat dengan sistem pemerintahan suatu negara. Dalam pemerintahan sekuler, kapitalisme pendidikan disinergikan dengan tujuan dagang dan politik. Produk pendidikan diselaraskan dengan pesanan industri kapitalis, sehingga orientasi pendidikan telah bergeser pada tujuan materialistik semata.
Bandingkan dengan sistem Islam! Dalam negara khilafah, sistem pendidikannya akan dibuat bebas bea karena merupakan hak dasar publik, di samping layanan kesehatan, sarana dan prasarana umum, dan lain-lain. Siapa pun berhak mendapatkannya, baik laki-laki maupun wanita, muslim atau kafir zimmi.
Tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk kepribadian yang Islami (syakhsiyah Islamiah) dan menguasai IPTEK. Maka tidak heran, dalam sistem khilafah akan lahir sosok generasi yang tangguh, yakni yang mempunyai keimanan yang kokoh dan Pemikiran Islam yang mendalam. Mereka adalah pribadi yang senantiasa terikat dengan hukum syarak dan gemar beramar makruf nahi mungkar.
Bagaimana khilafah menyelesaikan masalah korupsi?
Khilafah punya seperangkat aturan yang mampu mencegah terjadinya tindakan korupsi. (solusi preventif). Selain itu, khilafah juga mampu menyelesaikan kasus korupsi yang telah terjadi (solusi kuratif).
Syeh Abdul Qadim Zallum dalam kitab al Amwal Fi Daulah Khilafah( Sistem Keuangan Negara Khilafah) menyatakan bahwa untuk mengantisipasi terjadinya penyimpangan harta negara, khalifah membentuk badan pengawasan keuangan.
Beberapa tindakan yang dilakukan Khalifah antara lain:
Pertama, memberi gaji yang cukup kepada para pegawai negara, sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhanya, baik kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier.
Kedua, larangan menerima suap
Ketiga, biaya hidup yang ringan atau terjangkau, yang terealisasi dengan murahnya harga kebutuhan pokok.
Keempat, kebutuhan kolektif yang merupakan hak publik gratis, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, dsb.
Kelima, jika masih ada yang melakukan korupsi, maka akan menerima sanksi yang tegas dan menimbulkan efek jera. Di antaranya, publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, bahkan hukuman mati.
Maka, jelas wacana sanksi perampasan aset hanya solusi parsial yang tidak akan efektif menyelesaikan kasus korupsi.
Apa yang dilakukan oleh Amirul Mukminin, Umar bin Khattab patut dijadikan teladan. Beliau selalu menghitung dan mencatat kekayaan para wali atau amil sebelum dan sesudah diangkat sebagai pejabat. Jika ada harta yang meragukan, yakni kelebihan dari apa yang sudah ditetapkan, maka beliau akan menyitanya atau membagi dua. Selanjutnya harta itu akan dimasukkan ke baitul mal.
Jelas, hanya sistem Islam yang mampu mengatasi persoalan korupsi sampai ke akar-akarnya, bukan solusi hasil rekaan manusia. Hanya sistem Islam juga yang bisa melahirkan aparat negara yang punya nurani tehadap rakyat. Sudah seharusnya negeri ini mengambil syariat Islam secara kaffah, jika ingin terbebas dari masalah akut ini. Sepatutnya para pejabat negara takut dengan firman Allah surat Ali Imran ayat 161:
"Barang siapa berbuat curang, pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya."
Wallahu a'lam
Oleh: Dyah Rini
Aktivis Muslimah Jember