Tinta Media - Pupus sudah harapan Indonesia sebagai tuan rumah di Piala Dunia (PD) FIFA U- 20. Pembatalan ini tentunya menuai banyak respon dari berbagai kalangan. Kita ketahui bahwa penggemar sepak bola di negeri ini sangatlah besar. Antusiasme masyarakat dan persiapan untuk perhelatan piala dunia pun tentu tak dapat dimungkiri.
Salah satunya Bupati Bandung, yang menyayangkan keputusan FIFA soal pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Ini karena venue perhelatan kompetisi sepak bola kelas dunia yang akan dilaksanakan di Stadion Jalak Harupat telah dipersiapkan. Kendati demikian, Bupati menghormati keputusan FIFA. (JPNN.Com, 30/03/2023)
Tentu banyak yang menyayangkan, tetapi tidak sedikit juga yang mendukung. Narasi-narasi akibat pembatalan pun kian ramai dibincangkan. Narasi yang menjadi sorotan publik yang mengakibat batalnya indonesia menjadi tuan rumah adalah karena ideologi dan politik.
Keberadaan Israel dalam ajang sepak bola internasional ini menuai pro dan kontra di Indonesia yang notabenenya adalah negara berpenduduk muslim. Penolakan itu didasari alasan yang sangat kuat, yaitu penjajahan Israel atas tanah Palestina.
Menilik pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas menolak segala bentuk penjajahan di atas dunia karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan, maka penolakan terhadap keikutsertaan Israel dalam Piala Dunia U-20 jika diselenggarakan di Indonesia, adalah tepat, karena Israel sebagai negara penjajah atas negara Palestina.
Namun ironinya, jika benar pemerintah menjadikan UUD 1945 sebagai konstitusi atau sumber hukum tertinggi yang berlaku di Republik Indonesia, mengapa tidak melarang juga setiap atlet Israel yang masuk ke Indonesia?
Melansir dari BolaSport.com, beberapa atlet Israel yang telah mendapat panggung di negeri ini, adalah sebagai berikut:
1. Mikhail Yakovlev dan Rotem Tene, atlet cabang olahraga balap sepeda (UCI Track Nations Cup 2023)
2. Yuval Shemla dan Noa Shiran, atlet panjat tebing profesional (IFSC Climbing World Cup 2022 di Jakarta)
3. Misha Zilberman. atlet bulu tangkis (Ajang Kejuaraan Dunia 2015)
Deretan atlet Israel yang lolos tersebut menunjukkan sikap plin-plan pemerintah Indonesia. Apa karena cabang olahraga yang digeluti tidak terlalu ter-ekpos oleh publik? Berbeda dengan cabang olahraga sepak bola, yang populer dan digandrungi oleh masyarakat besar Indonesia, hingga hal ini dikhawatiri dapat ter-ekspos secara besar-besaran?
Publik pun mengaitkan penolakan yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur Bali I Wayan Koster terhadap tim Israel, karena ada titah "juragan" parpol yang mencari panggung untuk pilpres mendatang, karena sebelumnya semua gubernur itu menyetujui perhelatan Piala Dunia U-20 di Indonesia.
Jika benar, hal tersebut bukanlah sesuatu yang mengherankan, karena asas perbuatan dalam sistem kapitalisme hanyalah manfaat semata. Berbagai kebijakan yang dibuat akan kembali kepada manfaat besar yang ingin didapat. Jika manfaat dalam ranah politik dipandang lebih besar daripada pagelaran Piala Dunia U-20, maka mereka tidak masalah untuk mengubah keputusan awal mereka.
Begitu pun dengan dunia olahraga, termasuk sepak bola, yang awalnya hanya permainan atau olahraga untuk kesehatan tubuh, disulap menjadi ajang bisnis besar untuk meraih ambisi materi, duniawi, dan popularitas. Melalui pengorganisasian sepakbola secara mendunia, bisnis ini sangat menggiurkan bagi para konglomerat dunia, bahkan bagi para bandar judi, baik lokal maupun dunia.
Selain itu, peristiwa perhelatan Piala Dunia atau kompetisi sepak bola internasional pertama kali yang dilaksanakan di Uruguay pada tahun1930 M, telah memunculkan antusias masyarakat terhadap sepak bola yang memancing berbagai kompetisi di berbagai tempat, baik di tingkat desa hingga mancanegara. Tak ayal, pertandingan antar-club daerah atau negara telah melahirkan fanatisme antar-suporter.
Fanatisme serupa juga terjadi di berbagai negara besar yang memiliki club-club besar sepak bola, seperti Inggris, Spanyol, Brazil, Argentina, dan lain-lain. Fanatisme terhadap club sepakbola begitu besar hingga sering memicu kericuhan atau tawuran antar-suporter di negara-negara tersebut. Hal yang sama juga sering terjadi di Indonesia.
Walaupun fanatisme ini dianggap wajar karena ekspresi dari cinta atas dasar tanah air, sebangsa-senegara atau sedaerah, bahkan se-komunitas, tetapi jika sampai menghantarkan pada perusakan, maka sudah tidak dapat ditolelir. Dalam konteks sepak bola sebagai salah satu bentuk olahraga, fanatisme tersebut telah mencabut ruh olahraga dari sepak bola, sebagai salah satu permainan yang dapat menghantarkan pada kesehatan tubuh.
Sebagai seorang muslim, tentu kita harus mengembalikan standar segala sesuatu kepada akidah dan syari'at Islam. Terkait sepak bola sebagai bentuk olahraga, haruslah dikembalikan kepada fungsinya, yaitu untuk kesehatan tubuh, yang dilakukan sesekali saja, tidak sampai melenakan dari pelaksanaan kewajiban sebagai seorang muslim.
Maka, menjadikan sepak bola diorganisir hingga menjadi bentuk bisnis besar, sehingga menjadi orientasi besar dalam kehidupan yang dapat memalingkan kaum muslimin dari Rida Allah untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin, adalah haram. Maka, tak heran jika penguasa pada masa Khilafah Ustmaniyah, yakni Sultan Abdul Hamid II tidak mengizinkan umat Islam untuk ikut berkompetisi dalam ajang sepak bola.
Seiring antusiasnya masyarakat pada sepak bola tersebut, Sultan membolehkan berdirinya klub sepak bola muslim dengan catatan, bahwa sepak bola sama seperti cabang olahraga lainnya. Sepak bola boleh dilakukan sebagai olahraga untuk menjaga kebugaran tubuh, bukan permainan yang diorganisir (lahwun munadhomun), yang dapat menjerumuskan kaum muslimin kepada hal-hal haram, seperti terabaikannya pelaksanaan kewajiban, juga terjerumus kepada hal-hal haram semisal perjudian dan fanatisme ( 'ashobiyah).
Persepakbolaan hari ini digunakan untuk memperkuat nasionalisme. Kompetisi sepak bola hanya dimanfaatkan oleh para kapital untuk mendulang keuntungan dan memecah belah kaum muslimin hanya karena membela tim negaranya masing-masing.
Hanya negara Islamlah yang mampu mewujudkan sepak bola dan olahraga lainnya dengan tujuan yang benar, yang bernilai ruhiah dan membawa kemaslahatan.
WalLaahu a'lam bi ash-shawwab
Oleh: Nia Kurniasari
Sahabat Tinta Media