Kasus Bunuh Diri Meningkat; Kesehatan Mental Generasi, Tanggung Jawab Siapa? - Tinta Media

Selasa, 11 April 2023

Kasus Bunuh Diri Meningkat; Kesehatan Mental Generasi, Tanggung Jawab Siapa?

Tinta Media - Baru-baru ini, beredar banyak kabar kasus bunuh diri di tanah air. Salah satunya adalah kasus bunuh diri seorang mahaisiswi UI di sebuah apartemen di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (Kompas.com, 12/03/2023). 

Korban bunuh diri diduga melompat dari lantai 18 dengan motif yang belum diketahui. Kasus bunuh diri juga dilaporkan terjadi di Dusun Wirokerten RT 02 Kelurahan Wirokerten Kapanewon Banguntapan, Bantul pada 9 Maret 2023 (Sindonews, 10/03/2023). Seorang laki-laki berinisial NS berumur 38 tahun ditemukan gantung diri di dapur rumahnya. Belum lagi banyak laporan berbagai kasus percobaan bunuh diri di berbagai tempat yang lain seperti Seleman (sindonews, 18/03/2023), Humbang Hasundutan, Sumatera Utara (sindonews, 10/03/2023), dan sebagainya. 

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Sandersan Onnie (Onnie) dan timnya pada tahun 2022 menemukan bahwa angka bunuh diri di Indonesia bisa jadi empat kali lebih besar dari data resmi (bbc.com, 25/01/2023). 

Onnie, sebagai peneliti utama dalam penelitian tersebut menyampaikan bahwa di setiap alur pencatatan data, memungkinkan terjadinya error dengan berbagai alasan, misalnya keluarga tidak melaporkan kepada polisi karena malu, atau pihak kepolisian ingin melindungi keluarga sehingga investigasi lebih lanjut tidak dilakukan. Bahkan, dokter di rumah sakit juga tidak menyampaikan bahwa itu adalah kasus bunuh diri karena ingin melindungi keluarganya. 

Hasil penelitian lain ditulis oleh Idham beserta timnya (https://journal.unnes.ac.id, 29/11/2019). Idham memfokuskan penelitiannya pada ide dan upaya bunuh diri pada mahasiswa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebanyak 36 dari 62 mahasiswa memiliki tingkat ide bunuh diri (suicide ideation) dan upaya bunuh diri (suicide attempt) yang tinggi. 

Melihat semakin seriusnya permasalahan ini, berbagai kalangan memberikan analisis mereka tentang penyebab kasus bunuh diri yang semakin meningkat di Indonesia. Arist Merdeka Sirait, Ketua umum Komnas Perlindungan Anak menyampaikan bahwa dari 20 peristiwa kasus anak bunuh diri pada bulan Januari hingga Juli 2012, penyebab terbanyak adalah permasalahan putus cinta remaja, frustasi karena ekonomi, keluarga yang tidak harmonis, serta masalah sekolah (kyotoreview.org, 10/2012). 

Berdasarkan hasil surveillance yang dilakukan pada Mei 2020 oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), tercatat bahwa 69 persen dari 2.364 responden mengalami masalah psikologis pasca pandemic covid-19 (indopos.co.id, 23/02/2022). 

Abdur Rozaki, seorang peneliti Institue for Research and Empowerment (IRE) menyampaikan pendapatnya bahwa motif bunuh diri yang terjadi pada remaja selain ekonomi adalah bahwa seorang anak dipaksa untuk berdinamika dengan realistas kompleks di luar kemampuan nalar dan kontrol emosinya sehingga dia akan memilih jalan pintas untuk memecahkan kompleksitas itu (kyotoreview.org, 10/2012). 

Tentu kita miris dan sedih melihat fakta ini. Sudah sekritis inikah kondisi masayarakat kita hari ini? Di sisi lain, melihat kompleksitas permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat hari ini, seakan-akan kita “mewajarkan” fenomena ini. 

Ambil saja permasalahan ekonomi sebagai contoh. Di sebuah keluarga, seorang ayah harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seluruh anggota keluarga, ditambah lagi dengan biaya sekolah anak-anak yang hari ini semakin mahal.  Persaingan ekonomi tak sehat yang terjadi di dunia kerja juga bisa membuat seorang ayah semakin tertekan, apalagi jika ternyata hasil kerja kerasnya msih tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. 

Pada gilirannya, kondisi ini akan memunculkan permasalahan ikutan, yaitu ibu yang terpaksa harus bekerja mencari nafkah. Peran ibu bagi anak-anak di rumah menjadi berkurang. Sebagai konsekuensinya, perhatian terhadap anak-anak menjadi berkurang. Anak-anak menjadi sibuk mencari perhatian di luar rumah.

Lingkungan sosial yang rusak hari ini menambah permasalahan yang sudah rumit. Generasi yang tumbuh tanpa pengawasan orang tua menjadi lebih bebas mengatur hidupnya sendiri tanpa batasan. Berbagai media menyuguhkan tontonan yang mengajarkan generasi untuk hidup dengan standar materi, bukan yang lain. 

Sebagai akibatnya, generasi hari ini menjadi sangat mudah “patah” ketika mereka tidak memiliki barang branded yang sama dengan teman-teman yang mereka anggap keren. Mereka menjadi mudah minder ketika mereka tidak good looking dengan standar yang dibuat oleh para kapitalis. Mereka juga mudah merasa “tidak laku” karena tidak memiliki pacar.

Melengkapi keruwetan yang sudah ada, kita tidak bisa memungkiri bahwa sistem pendidikan hari ini tidak mampu melahirkan pribadi-pribadi dengan mentalitas yang kokoh. Kurikulum yang semakin tidak jelas mengarahkan dunia pendidikan hanya sebagai pabrik pencetak teknokrat-teknokrat materealis. Produk-produk pendidikan hari ini diupayakan bisa memenuhi kebutuhan industri komersial. 

Berbagai kasus bullying di sekolah marak terjadi. Sekolah dan kuliah dijadikan ajang untuk bersaing secara materi. Sebagai akibatnya, pelajar hanya tahu bagaimana mendapatkan nilai yang tinggi agar kelak mendapatkan pekerjaan dengan mudah, tanpa memahami bagaimana pentingnya proses dan bersabar dalam belajar. 

Bagaimanapun, rapuhnya mental masyarakat ini tidak terjadi begitu saja. Kesemuanya terjadi dan terakumulasi dalam waktu yang lama dalam sistem kehidupan yang jelas tidak sesuai dengan fitrah mereka, yaitu sistem kapitalis. 

Bagaimana tidak, manusia yang secara fitrah memiliki kebutuhan tidak hanya fisik, tapi juga nonfisik, termasuk mental, dipaksa untuk hidup dalam sistem yang hanya menyandarkan semua pada materi. Kerusakan pasti terjadi di mana-mana, memicu terjadinya tekanan mental yang luar biasa kepada semua manusia, tidak hanya mereka yang miskin, tetapi juga yang kaya. Tidak hanya yang tidak good looking, yang good looking pun banyak yang tertekan dan bunuh diri karena eksploitasi terhadap diri mereka. Inilah sistem kapitalis yang buruk. 

Permasalahannya telah jelas, yaitu kerusakan sistem. Maka, apple-to-apple jika permasalahan ini juga diselesaikan dengan sistem pula. Islam menjadi satu-satunya sistem yang masuk akal sebagai solusi karena memiliki aturan menyeluruh pada aspek kehidupan manusia, baik fisik maupun nonfisik. Ia berasal dari Allah Yang Mahatahu kehidupan manusia, potensi dan kelemahannya. 

Islam mengatur sistem pendidikan yang berasaskan akidah sehingga manusia akan memiliki landasan yang kokoh tentang kehidupan. Mereka memahami tujuan dan standar hidup. Mereka tidak mudah underestimate terhadap diri mereka sendiri hanya karena berbeda dengan lingkungan secara materi, karena memang mereka tidak menjadikan materi sebagai standar hidup. 

Seluruh aturan Islam ditegakkan oleh institusi negara yang juga berlandaskan pada akidah Islam, yaitu khilafah. Khilafah memiliki tanggung jawab besar atas terlaksananya seluruh aturan Islam yang menyempurnakan kehidupan masyarakat. 

Sistem ekonomi bertujuan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan setiap individu, terselenggaranya kebutuhan dasar publik, termasuk pendidikan dan kesehatan dalam batasan hukum syariat, sehingga akan sangat minimal tekanan hidup masyarakat. Dengan demikian, mereka tetap memiliki porsi waktu untuk memberikan asupan ruhiah pada diri mereka, serta waktu istirahat fisik yang cukup. 

Tidak seperti hari ini, individu-individu sibuk siang malam membanting tulang tanpa memperhatikan kesehatan fisik dan mental mereka. 
Allah telah dengan sempurna mengatur kehidupan manusia dengan aturan yang sesuai dengan fitrahnya. Kesehatan fisik dan mental generasi jelas akan terjaga dengan tegaknya aturan-aturan-Nya, maka seharusnya kita segera kembali kepada aturan yang sempurna ini. Wallahu a’lam bish-shawab. 

Oleh: Fatmawati
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :