Tinta Media - Ekonom Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Fahrur Ulum, M.E.I menyampaikan jika Islam memiliki kebijakan tersendiri terkait perdagangan internasional yang berbeda dengan kebijakan dalam ideologi Kapitalis dan Sosialis Komunis.
“Islam sebagai sebuah ideologi memiliki kebijakan perdagangan internasional yang berbeda dengan kebijakan ideologi Kapitalis dan Sosialis Komunis,” tuturnya dalam [LIVE]: ISLAMIC DIGEST - Kebijakan Khilafah dalam Perjanjian dan Perdagangan Internasional di kanal Youtube Kaffah Channel, Sabtu (8/4/2023).
Fahrur menjelaskan bahwa perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh dua negara atau antar negara, bisa juga beberapa negara, atau perdagangan yang dilakukan oleh individu-individu di dalam negara dengan individu-individu di negara yang lain. “Perdagangan internasional ini diikat dengan perjanjian dan merupakan sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Sejak ada bangsa dari dulu selalu akan ada perdagangan internasional,” ujarnya.
Dalam perdagangan internasional ini, menurutnya Islam tidak membiarkannya berjalan begitu saja namun mempunyai pengaturan yang jelas. Dalam ideologi Kapitalis, lanjutnya, yang paling dilihat dalam perdagangan internasional adalah komoditinya atau objek yang diperdagangkan sedangkan orang mengikuti komoditinya. “Ini berbeda secara diametrikal dengan Islam. Islam tidak sekedar melihat komoditi tetapi pelaku bisnisnya. Sifat komoditi yang diperjualbelikan tidak boleh yang membahayakan atau mendatangkan kemudharatan. Sedangkan pelaku di sini akan dilihat apakah muslim atau non muslim,” tambahnya.
Ia menandaskan dalam perdagangan internasional yang paling utama bagi negara adalah menjamin keamanan dari negara Islam. “Jangan sampai hanya gara-gara perdagangan internasional dan perdagangan antar negara kemudian faktor keamanan dalam negeri menjadi tidak tercapai,” ucapnya.
Ia menjelaskan status pelaku bisnis dalam perspektif Islam ada muslim, kafir dzimmi (yaitu kafir yang tunduk aturan Islam dan statusnya sama sebagai warga negara Islam), kafir muahid (yaitu kafir yang terikat perjanjian), dan kafir harbi. “Kafir harbi ini dibagi lagi menjadi dua yaitu harbi hukman atau de yure dan kafir harbi fi’lan atau de facto menentang negara Islam,” ulasnya.
Adanya penyifatan status pelaku bisnis, menurutnya akan membawa konsekuensi lebih lanjut dalam perdagangan internasional dimana tidak boleh sama sekali melakukan perdagangan hanya dengan kafir harbi. “Negara Islam juga akan campur tangan dalam perdagangan ini karena berkaitan dengan keamanan negara dan negara juga adalah benteng atau tameng untuk melindungi dan menjaga keamanan rakyatnya,” imbuhnya.
Ekspor dan Impor
Dalam penjelasan berikutnya, Fahrur menyampaikan pengaturan Islam terhadap ekspor dan impor. Pengaturan ekspor yaitu pertama, haram hukumnya bagi warga negara muslim dan kafir dzimmi untuk mengekspor barang-barang yang sifatnya strategis yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan. “Contohnya adalah persenjataan, amunisi, bahkan informasi-informasi strategis yang dugaan kuatnnya bisa memperkuat musuh,” jelasnya.
Kedua, komoditi yang tidak strategis boleh hukumnya untuk dijadikan komoditas ekspor semisal pakaian, minuman, dan lain-lain. “Ini seperti dijelaskan dalam QS al Maidah ayat 2 yang menyebutkan tidak boleh tolong menolong di dalam dosa dan permusuhan,” cetusnya.
Untuk kebijakan impor dalam Islam ia kaitkan dengan QS al Baqarah ayat 275. “Intinya dalam impor itu apa saja boleh selama barang-barangnya mubah dan tidak membahayakan,” tukasnya.
Terakhir, ia menegaskan ketika berbicara tentang perdagangan luar negeri tidak hanya, an sich hukumnya tetapi juga sekaligus kebijakannya yang akan diambil oleh Khalifah. “Semua kebijakan harus tetap bersumber kepada hukum syara. Ketika individu, masyarakat atau negara terikat dengan hukum syara, Insyaallah kemaslahatan akan hadir dan keberkahan akan diberikan Allah Swt,” pungkasnya. [] Erlina