Tinta Media - Meletakkan garis lurus di samping garis bengkok. Ya, kalimat ini selalu terngiang-ngiang di benak penulis, suatu nasehat yang amat dahsyat, yang disampaikan oleh al Alamah Asy Syaikh al Qadly Taqiyuddin an Nabhani, rahimahulloh. Sebuah metode penyampaian dakwah yang membekas, berpengaruh dan membangkitkan.
Dalam sebuah ilustrasi dakwah digambarkan, saat Palestina diserang oleh tentara Yahudi Israel Laknatullah, maka materi dakwah yang tepat adalah menyampaikan kewajiban jihad fi sabilillah dan keutamaan meraih syahadah, dalam rangka mengusir Israel. Bukan malah menyampaikan materi keutamaan I'tikaf di dalam masjid.
Hari ini pun, penulis mulai melihat para pengecut itu bersembunyi dalam keramaian. Mereka tidak pernah bicara tentang masalah umat, mereka malah asyik bermetafora tentang keindahan surga.
Saat ada heboh tentang pencucian uang Rp 349 triliun, fitnah keji densus 88, adu kuat di KPK terkait kasus Formula E, artis terlibat cuci uang, saat Masjid al Aqso dinodai kesuciannya oleh tentara Yahudi, saat sejumlah aktivis dan ulama dikriminalisasi, saat eksistensi dakwah dibutuhkan secara terbuka untuk mendapatkan dukungan dan himayah dari umat, saat dakwah perlu fokus untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar kepada penguasa, saat banyak aktivis yang menjadi yatim karena kosongnya narasi perlawanan pada kezaliman, para pecundang dan pengecut tidak hadir dalam masalah itu, mereka justru asyik bermetafora tentang keindahan surga dan kebahagiaan ber ramadhan bersama keluarga.
Seolah, hidup sudah gemah ripah loh jinawi, tak ada masalah, tinggal 'Ngancik Suwargo' (Jawa: Tinggal memasuki pintu Surga). Lupa dan abai pada realitas, yang sejatinya terjadi Ghazwul Fikri yang luar biasa dahsyat. Serangan-serangan bengis terhadap aktivitas dakwah dan para pengembannya, tuduhan jahat pada Syariah Islam dan Khilafah, tak mendapatkan perlawanan. Dakwah tidak lagi dimaknai sebagai perjuangan, melainkan cenderung menjadi hiburan yang melalalikan. Dakwahtaintment, ya dakwah yang sudah berubah menjadi kontestasi hiburan.
Padahal, di sisi lain ada yang berjibaku di parit-parit perjuangan, terus menyuarakan perlawanan pada kezaliman, menyambung nyawa untuk terus bertarung agar esok masih dapat terus melihat mentari bersinar, "toh nyowo" siang dan malam demi himayah dan kemuliaan untuk dakwah. MasyaAllah, janganlah narasi keamanan menjadi dalih untuk lari dari medan pertarungan.
Kapal yang berlabuh di dermaga memang aman. Tapi bukan untuk itu tujuan kapal dibuat. Kapal dibuat dan dipersiapkan, untuk menaklukan ombak dan samudera, untuk mencapai pulau idaman.
Sifat pengecut, pecundang, tidak boleh hadir dalam jiwa pengemban dakwah. Seorang pengemban dakwah harus lah seorang ksatria.
Ia harus membakar semua kapal, yang dapat mengembalikannya pada motivasi dunia. Ia harus seperti Thoriq Bin Ziyad, yang membakar kapal untuk menghapus mimpi pulang, dan fokus pada penaklukan Andalusia. Meninggalkan urusan istri dan keluarga, serta pernak pernik dunia, demi mencapai derajat yang agung, yakni Izzul Islam Wal Muslimin.
Kita semua membutuhkan para pemimpin yang siap menjadi junnah, pasang badan melindungi dakwah dan jama'ah. Bukan mencari aman dengan bersembunyi dalam keramaian jama'ah.
Kita semua membutuhkan pemimpin yang meri'ayah, yang memimpin dan mengatur pertarungan melawan segala bentuk kezaliman. Bukan yang asyik dengan fantasi kemenangan, dengan mengulang motivasi dan nasehat yang berulang dan menjemukan.
Ya Allah, jadikanlah kami semua ksatria-ksatria Islam. Yang siap menjemput Syahadah dan Kemenangan Islam, yang meletakkan ketakutan hanya kepada-Mu, amien. [].
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik