Tinta Media - Dalam hitungan hari, Ramadan akan kita temui. Persiapan belanja kebutuhan dapur pun sudah mulai dipersiapkan. Namun sayang, setiap momen hari besar menjelang, kenaikan harga kebutuhan pokok terus berulang, seolah sudah menjadi tradisi yang tidak bisa diingkari.
Dilansir katadata.co.id (3/3/2023), harga sejumlah komoditas bahan pangan pokok naik, seperti cabai, minyak goreng, gula pasir kualitas premium, dan daging ayam ras segar. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, rata-rata harga cabai merah besar secara nasional mencapai Rp42.200 per kilogram, pada Jumat (3/2), dibandingkan pada bulan lalu mencapai Rp36.250 per kilogram. Sementara itu, untuk rata-rata harga minyak goreng bermerek mencapai Rp21.750 per kilogram, dibandingkan posisi bulan lalu yang mencapai Rp20.100 per kilogram.
Kenaikan harga kebutuhan pokok menjelang Ramadan tak bisa dimungkiri. Sebab, masyarakat Indonesia memang seolah terbiasa menyambut dan menyiapkan Ramadan dengan menu khusus daripada hari biasanya. Karena itu, bahan pokok lebih banyak diburu, sehingga stok sejumlah bahan pokok menipis.
Ketua DPP Ikappi (Ikatan Pedagang Pasar Indonesia) Abdullah Mansuri mengimbau kepada pemerintah untuk menjaga pasokan dan distribusi dengan baik dan lancar. Sebab, ia menilai kenaikan permintaan kebutuhan pokok ini bisa mencapai 50 persen (kontan.co.id, 12/3/2023).
Dalam sistem kapitalisme, kenaikan harga menjelang hari besar memang sudah menjadi hal yang biasa. Hal ini karena pada saat permintaan di pasar tinggi, pemerintah kurang maksimal dalam menjaga pasokan dan melakukan distribusi.
Selain itu, para pedagang yang curang juga banyak melakukan penimbunan, agar barang langka dan naik harga. Setelah naik harga, mereka baru berbondong-bondong mengeluarkan stok yang mereka timbun. Maka, hal ini juga menjadikan ketersediaan barang dan kenaikan harga tidak stabil.
Kurangnya hukuman bagi pelaku penimbunan mungkin masih menjadi pemicunya, sehingga setiap tahun dan menjelang hari-hari besar, kasus serupa masih berulang. Para pelaku penimbunan masih mencari untung besar-besaran dari cara tersebut. Padahal, itu justru merugikan masyarakat.
Hal ini sangat berbeda dalam sistem Islam. Dalam Islam, distribusi merupakan hal penting dan prioritas dalam menjaga kestabilan harga di pasar. Pemerintah dalam Islam akan membentuk posko-posko di seluruh kota dan pelosok negeri untuk menampung stok barang, sehingga ketika permintaan naik, maka tidak perlu jauh-jauh mengambil dari kota lain dan telat distribusinya. Dengan demikian, kelangkaan barang bisa diatasi segera dan tidak nerimbas pada kenaikan harga.
Sedangkan untuk barang-barang yang tidak bisa tahan lama, seperti sayuran dan sejenisnya, maka pemerintah dalam Islam akan memaksimalkan produksi di daerah sekitar, tidak perlu mengambil dari luar wilayah karena beresiko busuk. Ataupun jika wilayah sekitar tidak memungkinkan untuk produksi, maka akan tetap melakukan distribusi dan mengambil dari wilayah lain dengan menggunakan sistem khusus, agar barang tetap terjaga kualitasnya. Misalnya dengan pengemasan khusus yang bisa tahan lama.
Selain itu, pemerintah dalam Islam juga tegas menindak penimbun barang. Selain menguatkan pemahaman agar seluruh lapisan masyarakat terikat dengan aturan Allah Swt, hukuman bagi pelaku pun tegas dan membuat jera yang lainnya. Pemerintah akan terus mengingatkan terkait larangan Allah Swt. bagi penimbun. Sebagaimana hadis dari Ma'mar bin Abdullah, Rasulullah bersabda,
“Tidaklah seseorang melakukan penimbunan melainkan dia adalah pendosa.” (HR. Muslim).
Selain itu, dalam riwayat lain Rasulullah saw. bersabda,
“Para pedagang yang menimbun barang makanan (kebutuhan pokok manusia) selama 40 hari, maka ia terlepas dari (hubungan dengan) Allah, dan Allah pun melepaskan (hubungan dengan)-nya.” (HR. Ibnu Umar).
Dengan bersandar pada dalil-dalil di atas, maka pemerintah dalam Islam juga akan memberi sanksi tegas bagi para penimbun, yaitu sanksi yang akan memberikan efek jera dan tidak diikuti yang lainnya. Dengan demikian, ketersediaan barang di saat kebutuhan meningkat akan tetap terjaga. Wallahu 'alam Bishawab.
Oleh: Anita Ummu Taqillah
Pegiat Literasi Islam