Tinta Media - Salah satu alasan Presiden Jokowi memindahkan ibu kota negara (IKN) dari DKI Jakarta ke Kecamatan Sepaku Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) adalah karena Jakarta kerap kali dilanda banjir. Faktanya, IKN baru ternyata langganan banjir juga. Setidaknya, ada tujuh kawasan di IKN baru masuk daftar langganan banjir. Di antaranya Desa Karang Jinawi, Kelurahan Sepaku, Desa Suka, Desa Bukit Raya, Desa Tengin Baru, Desa Bumi Harapan dan Kelurahan Pemaluan.
Terbaru, pada Jum’at 17 Maret 2023, sejumlah kawasan di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, sedang dilanda banjir. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Penajam Paser Utara pun melaporkan, sejak pukul 03.00 Wita, banjir di Kecamatan Sepaku di Kelurahan Pemaluan melanda empat RT dan di Desa Binuang. Ada satu RT yang terdampak air bah.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa salah satu alasan kepindahan IKN ke Kalimantan Timur karena banjir hanyalah alibi (alasan yang dicari-cari). Faktanya, IKN baru malah langganan banjir. Apalagi, menurut data BNPB, Paser Penajam Utara memang memiliki potensi kerawanan terjadinya bencana banjir sesuai sifat dan kondisi masing-masing kecamatan. Sampai saat ini, sda 30 kejadian banjir yang terjadi dari 2010 sampai 2019.
Kalau memang salah satu alasan pindah IKN itu karena banjir, harusnya pemerintah sedari awal mencari wilayah atau kawasan yang memang bebas banjir. Bagaimana bisa, wilayah Kalimantan Timur yang langganan banjir malah dijadikan IKN baru? Apalagi, pemindahannya juga terkesan mendadak dan tanpa persiapan.
Pertanyaan itulah yang ada di benak saya. Bagaimana dengan pembaca? Bisa jadi, apa yang kita rasakan sama. Banyak yang menduga bahwa ada yang tidak beres dengan kepindahan IKN, apakah pindahnya IKN baru ini untuk kepentingan rakyat banyak ataukah ada kepentingan yang lainnya?
Jika dilihat faktanya, pemindahan IKN ini sarat dengan kepentingan para konglomerat/pengusaha yang memiliki kekuasaan di pemerintahan atau lebih tepatnya mereka itu disebut para oligarki. Pasalnya, pindahnya IKN tidak ada hubungannya dengan penyelesaian masalah, salah satunya banjir.
Bahkan, pindahnya IKN dilakukan saat utang negara kian hari kian menggunung, ditambah bunga utang tahun 2023 sudah tembus Rp441,4 triliun. Itu dihitung untuk bunganya saja, belum termasuk cicilan utangnya, seram. Coba bayangkan, jika bunga utang tiap tahunnya dialihkan untuk membangun daerah, maka setiap tahun akan bertambah satu daerah yang infrastrukturnya sebaik IKN.
Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dalam Final Report IKN yang terbit pada 2019 silam dengan judul Ibukota Untuk Siapa?, menyatakan bahwa megaproyek ini disinyalir akan menguntungkan segelintir korporasi lahan. Tatkala pemindahan IKN terealisasi, para oligarkilah yang akan menikmati hasilnya.
Adapun oligarki yang meraup untung dalam proyek IKN, di antaranya Sukanto Tanoto dan Hashim Djojohadikusumo (adik Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan) beserta pengusaha besar lainnya yang berhubungan dengan 158 konsesi tambang, sawit, serta hutan.
Hashim Djojohadikusumo tercatat sebagai Komisaris Utama PT. International Timber Corporation Indonesia Kartika Utama (PT. ITCI KU) yang diberikan izin usaha memanfaatkan hasil hutan kayu dan hutan alam dengan luas 173.395 hektar. Sementara itu, Sukanto Tanoto, pemilik PT. International Timber Corporation Indonesia Hutani Manunggal (PT. ITCI HM), dengan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan hutan tanaman dengan luas l61.127 hektar, dan seluruh kawasan inti IKN baru seluas 5.644 hektar.
Tak hanya itu, aset-aset yang ada di Jakarta, seperti tanah dan gedung-gedung akan dijual atau dikontrakkan untuk pembiayaan gedung kontrakan yang dibangun swasta atau asing di IKN. Meskipun sedari awal Presiden Jokowi mengatakan bahwa biaya pemindahan IKN tidak diambil dari APBN, tetapi nyatanya 53 persen biaya pemindahan diambil dari APBN. Itu artinya, separuh lebih uang itu adalah milik rakyat. Jika seperti itu, siapa coba yang diuntungkan, rakyat atau para oligarki?
Inilah yang terjadi di sistem kapitalis. Pindahnya IKN hanya demi kepentingan oligarki, bukan untuk kepentingan rakyat. Rakyat hanya dibuat menderita. Adapun alasan bahwa Jakarta tidak layak sebagai IKN karena banjir, semua itu hanya alibi saja.[]
Oleh: Siti Aisyah, S.Sos.
Koordinator Kepenulisan Komunitas Muslimah Menulis Depok