Tinta Media - Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) dinilai makin memberatkan beban rakyat.
"Lahirnya UU Cipta Kerja ini akan memberatkan rakyat. Ini menunjukkan bahwa negara bukan meringankan beban rakyat, tapi negara justru menambah beban rakyat," ujar Direktur Pamong Institute Wahyudi Almaroky dalam acara Kabar Petang: DPR Sahkan Perpu Cipta Kerja menjadi UU, Simak Potensi Bahayanya di kanal YouTube Khilafah News, Kamis (23/3/2023).
Menurutnya, rakyat masih jauh dari kata sejahtera baik dari segi pendidikan, maupun kesehatan, belum lagi rakyat tetap dibebani berbagai macam pajak.
"Ukuran masyarakat sejahtera itu kan paling sederhana bisa dilihat itu dari pendidikan, dari daya beli dan dari kesehatan. Tapi sekarang banyak yang putus sekolah. Kemudian untuk kesehatan masih bergantung pada iuran BPJS sudah bayar pun masih tidak dilayani, bahkan ditolak hingga ada yang meninggal, lalu rakyat juga masih harus membayar pajak, PPH, PPN, pajak retribusi dan macam-macam," bebernya.
Sementara itu dengan disahkannya Perpu Cipta Kerja menjadi UU yang kemudian akan menjadi payung hukum bagi oligarki dan para kapitalis untuk lebih mengeksploitasi sumber daya alam negeri ini bahkan juga sumber daya manusia nya. "Ya tentu dengan Perpu Cipta Kerja yang kemudian disahkan oleh DPR menjadi undang-undang ini akan menjadi payung hukum buat mereka tentang kebijakan-kebijakan yang lebih jauh untuk mengeksploitasi negeri ini bukan sekedar mengeksploitasi sumber daya alamnya tapi juga mengeksploitasi juga sumber daya manusianya," jelasnya.
Hal ini membuatnya mempertanyakan keberpihakan DPR, apakah sebagai wakil dari rakyat atau justru wakil dari para pengusaha, oligarki dan para kapitalis. Dengan disahkan Perppu Cipta Kerja menjadi UU, yang dulu ditolak oleh banyak orang karena bahkan dinyatakan inkonstitusional.
"Kenapa sekarang bisa disahkan oleh DPR. Ini juga yang kita pertanyakan, DPR ini wakil rakyat atau wakil para pengusaha atau para pebisnis atau para konglomerat?" pungkasnya.[] Muhammad Ikhsan Rivaldi