Tinta Media - Kata perceraian itu memiliki kesan yang pahit, sedangkan membangun rumah tangga bukan hal yang main-main. Pernikahan merupakan sebuah ikatan yang kuat, yang akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah.
Perlu kelapangan hati, ilmu, kesiapan mental, dan kedewasaan dalam menjalaninya.
Menikah bukan berarti tanpa masalah, karena selama masih hidup, maka ujian hidup akan terus menerpa. Tak sedikit yang akhirnya kandas, dan perceraian sebagai solusi akhir untuk menyelesaikan permasalahan rumah tangga.
Semua fase manusia sesungguhnya proses menjalani takdir yang sudah Allah gariskan. Ke mana saja manusia melangkah, seungguhnya dia sedang menjalani takdir hidupnya. Kita memandang perceraian sebagai menjalani sebuah takdir dari Allah, akan lebih menenangkan hati. Apa pun juga yang sudah ditetapkan oleh Allah, itu yang terbaik untuk manusia, dan pasti sesuai dengan takaran kemampuannya.
Tujuan kita beriman pada takdir Allah agar kita tak terlalu sedih dalam menjalani sebuah permasalahan hidup seperti perceraian. Apa yang hilang dari kita seungguhnya memang bukan milik kita. Apa yang kita miliki sekarang semata titipan. Masih berada di tangan kita semata Allah yang berkehendak kita masih memilikinya.
Perceraian bagian dari syariat yang Allah berikan sebagai solusi dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga. Perceraian dikategorikan ibadah ketika dijalankan dengan niat yang benar dan dilaksanakan dengan jalan yang sesuai syariat. Bercerai dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mengharapkan keridaan Allah dibanding manusia. Perceraian yang dilakukan untuk menyelamatkan keimanan lebih baik daripada perceraian yang dilakukan demi orang ketiga atau untuk menzalimi pasangan.
Hadits terkait dengan perceraian, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah bahwa perbuatan halal yang dibenci oleh Allah adalah thalaq (cerai). Hadits ini termasuk hadits yang lemah. Dalil ini sering kali dijadikan hujjah dalam membangun paradigma hukum perceraian. Idealnya sesuatu yang dibenci Allah maka diharamkan.
Ada beberapa kondisi yang harus kita perhatikan dalam menerapkan hukum cerai. Hukum perceraian wajib ketika sudah menjalani proses mediasi, dan tak ada kesepakatan untuk rujuk lagi setelah masa iddah. Perceraian menjadi sunnah ketika pasangan hidup meremehkan kewajibannya kepada Allah dan tidak bisa lagi diajak kepada jalan yang benar. Perceraian menjadi mubah saat sebuah rumah tangga mendatangkan kemanfaatan walau dengan pasangan yang berakhlak buruk tanpa mendapatkan tujuan dari penikahan. Hukum perceraian menjadi makruh saat perceraian dilakukan tanpa sebab syar’i. Perceraian menjadi haram ketika menceraikan istri dalam kondisi haid atau suci, tapi sudah melakukan hubungan suami istri.
Kita harus membangun paradigma positif terkait dengan perceraian. Memandang sebuah proses perceraian sebagai bagian dari jalan menuju ketakwaan pada Allah. Bagi manusia yang bertakwa pada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar dan kemudahan dalam segala urusan.
“Barang siapa yang bertakwa pada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.” (TQS At Thalaq : 2).
Allah meletakkan ayat ini untuk memberikan motivasi bagi yang sedang mengalami atau sudah mengalami perceraian. Perceraian bukan akhir kehidupan, bahkan seharusnya kita memandang dan mempersiapkan masa depan agar tetap dalam koridor menggapai rida Allah, tidak terbelenggu pada kenangan masa lalu yang membuat sedih.
Perceraian menjadi ajang muhasabah diri. Sebuah permasalahan yang terjadi pada hidup kita sesungguhnya karena kemaksiatan yang kita lakukan sendiri. Ketika datang sebuah masalah, seharusnya yang dikoreksi adalah diri sendiri terlebih dahulu, bukan menyalahkan orang lain atau pun keadaan.
Efek dosa itu akan membekas pada diri, keluarga, bahkan pada rumah dan kendaraan yang kita pakai sehari-hari. Selanjutnya berniat untuk memperbaiki diri, menambah ilmu, dan mulai meluruskan niat dalam menjalani kehidupan hanya untuk beribadah kepada Allah.
Oleh : Hayyin
Sahabat Tinta Media