Tinta Media - Manusia pada dasarnya memiliki peran dalam menjalankan kehidupan, termasuk dalam menjalankan kewajibannya sebagai individu dan masyarakat, serta tuntutan hak asasinya sebagai manusia. Apalagi ketika manusia tersebut hidup dalam kondisi bernegara, tentulah ada jaminan dari negara yang memiliki pemimpin untuk melakukan riayah kepada rakyat untuk memastikan kewajiban dan hak mereka terpenuhi secara baik dan benar.
Namun, kondisi bernegara di bawah kendali ideologi kapitalis sekuler menjadikan kehidupan masyarakat menjadi berantakan dan rusak. Hak-hak yang harusnya terpenuhi kadangkala terdiskriminasi oleh kepentingan-kepentingan orang tertentu. Walau negara memberikan solusi melalui kebijakan yang dikeluarkan, nyatanya kebijakan tersebut mampu dipelintir semaunya dengan alasan wewenang dan juga sogokan. Sehingga, hidup dengan dipimpin oleh kepala negara atau tidak dipimpin sama sekali serasa tak memiliki perbedaan yang besar.
Munculnya masalah-masalah pelanggaran HAM berat yang tak usai, kemudian penanganan masalah sampai pemenuhan hak dari pihak korban menjadi salah satu alasan ragunya masyarakat untuk menggantungkan harapan pada negara. Hal ini karena banyak dari mereka yang bahkan tak mendapatkan keadilan.
Seperti inikah negara yang adil itu? Rakyat sendiri tidak boleh memiliki harapan dalam pemenuhan hak. Mereka harus berdiri di atas telapak kaki sendiri, seakan perkara hidup dan mati itu hanya urusan individu belaka, tanpa dipikirkan dan diusut penyebab terjadinya masalah.
Sungguh miris kehidupan bernegara ketika masyarakatnya hidup hanya semaunya sendiri. Wajar jika kita mendapati bahwa perbuatan-perbuatan yang melanggar HAM merajalela di negeri ini karena asas kebebasan dan semaunya menjadi salah satu pegangan dalam bernegara.
Dikutip dari katadata.co.id, Presiden Joko Widodo memberikan janji, pada masa jabatannya akan melakukan penuntasan masalah HAM.
Wahyu Djafar, sebagai salah satu penggiat hak asasi manusia menilai bahwa Inpres ini seakan menempatkan korban sebagai penerima bantuan sosial, bukan korban pelanggaran HAM berat yang patut diberikan pemulihan (BBC news Indonesia)
Hal di atas menunjukkan bahwa masalah pelanggaran HAM bukan hanya sekadar bentuk dari masalah individu saja. Ada faktor eksternal yang memengaruhi kehidupan, sehingga terbentuk masyarakat yang tak kenal takut ketika melakukan pelanggaran HAM, bahkan negara sekalipun.
Hal ini dipicu oleh kesalahan cara pandang hidup yang digunakan sebagai landasan, yaitu sekuler. Selain itu, terciptanya perasaan individualis yang tidak mementingkan hak orang lain serta peraturan yang cenderung mengikuti kepentingan sebagian pihak, menjadikan terbentuknya kondisi masyarakat yang rusak dengan berbagai masalah yang include di dalamnya.
Lebih miris lagi, upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia yang dilakukan pada akhir masa jabatan presiden lebih banyak menunjukkan adanya pencitraan. Seharusnya sejak awal bisa diselesaikan, apalagi menjadi janji saat pencalonan. Ini lebih seperti menutup kebobrokan di berbagai bidang.
Lebih dari itu, hal tersebut juga menunjukkan jahatnya sistem demokrasi yang membiarkan pelanggaran HAM terjadi tanpa segera penyelidikan dan penyelesaian agar korban mendapatkan keadilan.
Sungguh berbeda dengan Islam yang sangat menghormati dan menghargai nyawa manusia. Islam memiliki sistem sanksi yang adil, yang ditegakkan oleh penguasa, dengan mengusut segala kasus pelanggaran tanpa terpengaruh oleh kepentingan, sehingga keadilan yang diharapkn akan tercapai.
Selain itu, penghormatan Islam atas nyawa manusia juga nampak pada hukum qishas. Pelaku yang menghilangkan nyawa atau membuat kerusakan pada tubuh individu tersebut akan dihukum sama dengan yang diderita oleh korbannya. Jika keluarga korban memaafkan, maka pelaku wajib membayar diyat kepada pihak keluarga korban, yakni setara dengan 100 ekor unta dan 40 di antaranya sedang hamil.
Penerapan sanksi dalam Islam akan menghasilkan dua efek, yakni sebagai jawabir (pengampun dosa) dan sebagai zawajir (yang menjerakan) sehingga menimbulkan ketakutan kepada pihak pelaku dan setiap orang yang melihat sanksi tersebut.
Hal ini akan kita rasakan ketika hukum Islam secara kaffah diterapkan oleh negara dengan sistem pemerintahan yang bernama khilafah. Di dalamnya akan diterapkan seluruh aturan Islam dalam berkehidupan, sedang para pelaksananya merupakan orang yang betul-betul mampu menerima amanah tanpa pamrih dan tidak berada di bawah tekanan seorang pun. Sehingga, penerapan aturannya murni berasal dari Islam, tanpa adanya intervensi atau bahkan manipulasi. Wallahua'lam bissawab.
Oleh: Erna Nuri Widiastuti S.Pd.
Sahabat Tinta Media