Pejabat Glamor, Produk Tamak Demokrasi Kapitalisme - Tinta Media

Minggu, 05 Maret 2023

Pejabat Glamor, Produk Tamak Demokrasi Kapitalisme

Tinta Media - Pamer gaya hidup mewah di kalangan pejabat bukan hal yang asing lagi, bahkan sudah menjadi tren. Usai beredar di berbagai media cetak dan online berita tentang Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo mengendarai motor gede (moge) bersama klub Blasting Rijder DJP, kini kembali menjadi sorotan perihal ia buka-bukaan terkait pendapatannya paling mahal di Indonesia sebagai aparatur sipil negara (ASN). Tak sungkan, ia juga mengatakan bahwa bayaran sebesar itu masih saja ngiler saat melihat penerimaan pajak yang jauh lebih besar mencapai hampir Rp1.600 triliun di tahun 2022 (cnbcindonesia.com/12/12/22).  

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) diketahui sebagai salah satu instansi yang memiliki tunjangan tertinggi di Kementrian Keuangan. Bahkan, pimpinan nomor 1 DJP, yaitu Dirjen Pajak menerima gaji lebih dari Rp100 juta. Ini adalah angka yang cukup fantastis bagi pejabat pajak yang katanya bekerja untuk menegakkan integritas dan profesionalitas dalam bekerja. 

Integritas dan Profesionalitas Dipertanyakan

Menyoal aspek integritas dan profesionalitas, kinerja DJP masih sangat dipertanyakan. Apalagi saat ini sedang tersandung kasus dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh anak dari salah satu pejabat pajak. Begitu pula kasus lain yang melanggar integritas seperti halnya penganiayaan.  Sebelumnya DJP terlibat kasus dugaan pemukulan yang dilakukan pejabat pajak kepada bawahannya (cnnindonesia.com/23/02/23).

Sedangkan aspek profesionalitas, sangat jauh dari harapan. Masih ingat kasus paling fenomenal di dunia perpajakan, Gayus Tambunan, Si Mafia Pajak 2010 yang terus menjadi icon buruknya perpajakan dalam sistem demokrasi?

Kasus yang dilakukan Gayus Tambunan berlapis-lapis, mulai dari memanipulasi pajak, menyuap hakim, menyuap petugas lapas hingga membuat paspor palsu. Akibat ulah ketamakannya akan harta, ia memiliki akumulasi vonis 29 tahun penjara. Anehnya, setiap tahun malah mendapatkan remisi atau pengurangan masa hukuman. 

Hingga saat ini, ‘pemain’ layaknya Gayus Si Mafia Pajak terus berdatangan, mulai dari Denok Taviperiana dan Totok Hendriyatno yang keduanya terlibat kasus kepemilikan rekening gendut tahun 2012-2013, Dadan Ramdani terlibat kasus suap tahun 2017, Angin Prayitno Aji terlibat kasus suap tahun 2019. Masih banyak lagi daftar aktor tamak pajak yang namanya tidak akan kering dari pena perpajakan Indonesia selama terbingkai dalam sistem demokrasi kapitalisme. 

Watak Pejabat dalam Sistem Demokrasi Kapitalisme

Berbagai kasus yang ada semakin memperlihatkan watak para pejabat sesungguhnya dalam sistem demokrasi kapitalisme. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dirjen Pajak, “Ngiler” saat melihat uang. Padahal, gaji dan tunjangan mereka sudah berlebih. 

Akhirnya, mereka menghamba kepada uang, tanpa memedulikan bahwa uang tersebut merupakan nafkah yang akan diberikan kepada keluarga. Nafkah tersebut justru bersumber dari hal yang haram. Meliarkan hawa nafsu akan harta, menjadikan mereka buta akan halal dan haram.

Di saat pajak menjadi sumber utama pendapatan negara, pantaslah jika pajak ditengarai sebagai alat pemerintah untuk ‘memalak’ rakyat. Ini terlihat dari pengaturan pajak yang tajam ke bawah (rakyat), tumpul ke atas (pengusaha/korporasi). Tidak ada ampun bagi rakyat yang tidak bisa membayar pajak. 

Lain halnya dengan pengusaha kelas kakap yang omzetnya triliunan rupiah. Mereka justru dengan mudah mendapatkan ampunan pajak meskipun mangkir dari kewajiban bayar pajak.

Para pejabat pemerintah yang seharusnya berperan untuk melayani rakyat, nyatanya justru menghamba pada korporasi. Jabatan disalahgunakan sebagai alat untuk memperkaya diri dan memuaskan ambisi, bukan untuk mengabdi. Bahkan dijadikan sebagai lahan subur untuk korupsi. Inilah watak pejabat dalam sistem demokrasi.

Penguasa Harus Memiliki Paradigma Riayah (Pengurusan)

Penguasa memiliki paradigma riayah adalah mutlak adanya. Tanpanya, negeri ini akan sengsara karena diatur oleh sistem yang meliarkan manusia dalam memenuhi ambisi demi harta dan tahta, yakni demokrasi kapitalisme. Penguasa yang memiliki paradigma riayah akan menjadikan pelayanan terhadap urusan umat menjadi landasan berpikirnya dalam menetapkan keputusan. 

Rasulullah saw. bersabda, "Imam (Khalifah) atau negara adalah pengurus (urusan umat/rakyat), dan hanya dia yang bertanggungjawab terhadap rakyatnya."

Sebagaimana kisah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Beliau adalah pemimpin yang adil dan memiliki paradigma riayah (pemikiran untuk mengurusi urusan umat). Diriwayatkan, pada suatu malam Umar melakukan kebiasaan rutin, melakukan patroli bersama pengawalnya untuk melihat kondisi rakyat. Sampailah umar di sebuah dusun kecil. Terdengar tangisan anak kecil yang bersumber dari rumah gubuk sederhana. Di dalamnya tampak seorang ibu tengah duduk di depan tungku yang seolah sedang memasak. Ternyata, yang dimasak si ibu adalah batu untuk menghibur anaknya seolah-olah ibunya sedang membuat makanan.
Setelah Umar mengetahui hal memilukan ini, tanpa pikir panjang, Umar segera pulang dan mengambil sekarung gandum. Ia membawa sendiri karung gandum di punggungnya dan menuju ke rumah ibu tersebut. 

Pengawal Umar yang melihat pemimpinnya tergopoh-gopoh membawa karung gandum menawarkan diri untuk membantu, tetapi Umar menolaknya. Beliau berkata, “Apakah kalian mau menggantikanku menerima murka Allah akibat membiarkan rakyatku kelaparan? Biar aku sendiri yang memikulnya, karena ini lebih ringan bagiku dibandingkan siksaan Allah di akhirat nanti.” 

Masyaallah, hanya penguasa yang memiliki paradigma riayah-lah yang mampu memberikan jawaban tersebut. Bahkan, di saat sang ibu menerima karung gandum dari Umar, sang ibu tak mengetahui bahwa sosok yang memberikannya gandum adalah amirul mukminin (khalifah).

Kisah tersebut memberikan pesan penting betapa besar tanggung jawab seorang pemimpin atas rakyatnya dan Allah akan memintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Boro-boro seorang penguasa pamer kekayaan dan berdandan bak artis, sudahlah rakyat terzalimi, ditambah lagi harta yang bukan menjadi haknya dirampas. Hisab di hadapan Allah tidaklah ringan. 

Rasulullah saw. bersabda, ”Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhori).
[Wallahua’lam]

Oleh: Azimatur Rosyida
Pegiat Literasi
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :