Tinta Media - Di saat dapur tak lagi mengepul, tulang rusuk pun ikut menanggung. Kondisi kemiskinan yang tak kunjung selesai membuat para perempuan membanting tulang demi uang jajan anak kesayangan. Menjadi PMI yang digadang-gadang, tetapi jauh dari kenyataan.
Korban Meriace Kabu, PMI asal NTT yang mengadu nasib di Malaysia bekerja sebagai pembantu rumah tangga, hampir setiap hari dipukuli majikannya. Sampai-sampai wajahnya menghitam, tubuhnya diseterika panas, alat vitalnya dicederai hingga memar-lebam, lidah-telinganya robek, tulang hidungnya juga patah.
Pun yang dialami Adelina yang ditemukan di rumah majikannya, tubuhnya penuh luka. Sampai akhirnya, ia tidak terselamatkan nyawanya. Kondisi Adelina tersebut masuk angka tujuh ratus lebih dari pekerja asal NTT yang mengalami nasib tragis, pulang tinggal namanya saja (BBC,01/03/2023).
Dilansir dari Data KBRI Malaysia, Februari 2023, Hermono, Dubes RI-Malaysia mengatakan bahwa ada lima ribu PMI yang ditimpa kasus di Malaysia. Di antaranya ada ratusan jumlah penganiayaan, penyiksaan fisik, gaji yang tak terbayarkan, dll. Ada 2300 PMI yang gajinya belum terbayarkan sejak lima tahun terakhir. Kondisi PMI yang miris ini bahkan mencapai 66.000 pekerja dan terus meningkat. Mereka bekerja di ranah rumah tangga.
Seperti fenomena gunung es, data di atas hanyalah yang sudah diketahui. Untuk yang tidak diketahui, angkanya jauh lebih besar karena banyaknya penganiyaan yang tak kunjung selesai. Para majikan yang tidak bisa dijerat hukum menjadikan mereka memperlakukan PMI bak hewan.
Apa Solusi Pemerintah RI?
Menteri tenaga kerja, Ida Fauziah mengeluarkan PERMENAKER No 4 tahun 2023 yang berisi Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia dengan menambah peningkatan dan pelayanan untuk PMI karena risiko sosial, kecelakaan kerja, kematian dan hari tua. Permen tersebut Untuk mengubah PERMENAKER No 18 tahun 2018 yang dikira memberikan solusi atas kondisi yang menimpa PMI.
Dilansir dari BBC 03/03/2023, pemerintah menetapkan iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) sebesar RP370.00 dengan masa kerja 2 tahun, pun iuran Jaminan Hari Tua (JHT) berkisar antara Rp50.000-Rp600.000.
Sungguh aneh, pahlawan devisa yang dipuja-puja, tidak ada jaminan keselamatan jiwa dan keamanan kerja. Padahal, mereka dinobatkan sebagai pahlawan yang berjasa sebagai penambah devisa negara. Solusi yang diberikan hanya berupa PERMEN yang harus membayar. Yang tidak membayar tidak mendapatkan tunjangan. Sungguh ironis, kondisi ini jauh dari harapan.
Kata Jaminan sesungguhnya jauh dari fakta yang diterapkan. Ini menjadikan persoalan yang terus berulang, dan tidak menyelesaikan akar pesoalan. Sistem demokrasi sekuler-kapitalis, menjadikan pemerintah hanya sebagai regulator bagi rakyatnya saja, nukan bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan jiwa rakyat. Padahal, kekayaan SDA di Indonesia sangat melimpah ruah, tetapi hanya dinikmati para pemilik modal besar. Rakyat yang sejatinya adalah pemilik aslinya hanya gigit jari. Akhirnya, banyak korban jiwa berjatuhan demi mengais rupiah di negeri orang.
Islam Solusi Mengatasi PMI
Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki untuk memenuhi nafkah keluarganya sampai tataran makruf (sesuai gaya hidup masyarakat di daerah tempat tinggalnya).
Dalam Islam, pendapatan negara yang berasal dari kepemilikan umum dan kepemilikan negara dapat mengatasi PMI karena mampu memenuhi nafkah keluarga tanpa harus menjadi PMI. Ini karena pengelolaan SDA oleh negara membutuhkan tenaga kerja yang besar. Hal tersebut tentu saja dapat menyerap tenaga kerja yang besar pula. Ditambah dengan biaya hidup yang murah menjadikan kehidupan rakyatnya sejahtera.
Begitu juga dengan nasib para ibu. Mereka tidak lagi direpotkan untuk mencari nafkah agar dapur tetap mengepul. Ini karena kesejahteraan sudah didapatkan. Para ibu akan fokus pada tugasnya yang utama, yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, dan pendidik yang pertama dan utama generasi bangsa. Mereka mencetak generasi pemimpin bangsa, yang meneruskan tongkat estafet kepemimpinan bangsa.
Para perempuan akan sejahtera dalam sistem ekonomi Islam karena nafkah menjadi tanggung jawab suami. Jika suami tidak mampu, maka kewajiban nafkah dibebankan kepada walinya, dan jika tidak mampu, maka kewajiban menafkahi perempuan menjadi tanggung jawab negara untuk mengurusinya. Dengan demikian, perlakuan tidak manusiawi pada PMI akan tersolusi dengan diterapkan sistem ekonomi Islam dalam bingkai khilafah.
Wallahu ‘alam Bishshawab
Oleh: Ida Lum’ah
Aktivis Muslimah Peduli Generasi dan Peradaban